logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

bab 6

Ponsel Bella bergetar, panggilan dari nomor Nayla masuk saat ia sedang berada di atas motor Rafael.
"Ponsel lo bunyi tuh, angkat si! Siapa tahu penting!" ucap Rafael.
Bella diam dan membiarkan ponsel itu sampai senyap dengan sendirinya. Motor berhenti tepat di depan rumah Bella. Bella turun dan hendak masuk dengan segera. Namun, Rafael menarik tangan Bella untuk menjelaskan hal tadi di taman.
"Lo kenapa?" tanya Rafael lembut saat melihat Bella yang masih terisak. Diam adalah cara ampuh meredam kesedihan, Bella sama sekali tak bisa berucap membuat Rafael bingung dibuatnya.
"Di rumah ada orang?" Bella menggeleng dan Rafael menarik Bella untuk kembali naik ke motornya.
"Kamu ikut gue ya, kita ke suatu tempat yang bisa membuat lo lebih baik!" Bella memundurkan langkahnya menolak Rafael ajak pergi.
"Aku mau sendiri!" tolak Bella.
"Baiklah, jika lo tak mau gue ajak pergi. Gue ingin lo jelaskan sekarang, lo kenal Abang gue?" Bella menggeleng. Rafael tak percaya jika Bella tak mengenal abangnya, tadi bahkan mereka terlihat sedang berbicara serius.
"Lo gak bisa bohong, mata lo mengatakan jika kalian sudah mengenal lama."
"Raf, aku mau masuk! Jangan paksa aku menjelaskan hal yang tidak aku ketahui. Aku kenal baru tadi karena nggak sengaja bertemu di taman." Bella masuk begitu saja tanpa melihat lagi ke arah Rafael.
Rafael merasa ada yang aneh, tadinya ia sangat tak berminat bersahabat dengan Bella. Namun, setelah dua minggu mereka dekat, rasanya ia ingin sekali tahu masalah pribadinya. Bella memang terlihat cupu dan sangat tak menarik, tapi setelah mengenalnya lebih dalam, Rafael jadi tahu sifat baik dari wanita yang biasa ia panggil KuSu ini. Banyak yang melihat perubahan sikap Rafael sejak berteman dengan Bella, ia sekarang jarang jalan dengan pacar-pacarnya dan memilih bermain musik dengan para gengnya atau diam di rumah bersama mamanya.
Bella membaringkan tubuhnya di atas kasur. Pertemuannya dengan Arki akhir-akhir ini membuatnya khawatir, jika tiba-tiba dia datang ke rumah dan mengatakan ini semua pada kedua orangtuanya. Ia masih ingin meraih cita-citanya, tapi ia bingung bagaimana ia bisa hidup sendiri dalam keadaan hamil tanpa suami. Tak mungkin ia mengatakan jika ia hamil pada ayah ibunya, apa kata tetangga nanti. Bahkan, orang tuanya pasti akan malu menanggung aib akibat dirinya ini.
Waktu berputar dengan cepat, Bu Nita yang baru pulang setelah bekerja seharian ini memilih membersihkan badan dan langsung berbaring di kamar. Ayahnya juga baru sampai di rumah setelah bu Nita selesai mandi.
"Kopi, Yah?" tawar Bella pada ayahnya.
"Tumben nawarin Ayah kopi?" Bella tersenyum dan melangkah ke dapur untuk menyiapkan satu cangkir kopi dan satu gelas teh hangat untuk ibunya.
Ibu Nita tersenyum juga melihat Bella yang sudah memberikan teh hangat sepulang ia bekerja. Ibunya tahu, jika anaknya ini pasti akan berbincang hal penting kepadanya dan suaminya. Sejak dulu, Bella selalu membuatnya bangga. Tak pernah sedikitpun anaknya ini membuatnya bersedih dan kesulitan. 
Di saat kondisi ekonomi yang tak baik-baik saja, Bella mau mengalah tidak membawa uang saku ke sekolah. Dengan berjalan kaki setiap hari ke sekolah, ia tampak senang menjalaninya. Bella juga mendapatkan beasiswa masuk SMA ternama tanpa sedikitpun membebaninya.
Sebenarnya dirinya begitu iba ingin membelikan motor untuknya. Namun, ayahnya mengatakan akan membelikannya nanti setelah ia lulus sekolah karena tabungannya belum cukup. Suaminya, Arya, tak mau membeli motor dengan cara kredit. Karena ia berpikir, jika membeli secara kredit takut tak dapat mencicilnya. Jika menabung sedikit demi sedikit, mungkin bisa terbeli motor. Walaupun bekas tapi jika bagus dan murah tak masalah.
Pak Arya dan Bu Nita duduk di ruang depan televisi. Rumah ini adalah rumah kecil yang hanya terdapat dua kamar dan juga satu ruang tamu yang tergabung menjadi ruang menonton tv. Tak ada ruang makan, hanya ada dapur yang terdapat meja kecil untuk menaruh makanan yang hendak di santap.
Walau sederhana, keluarganya terlihat bahagia. Tak mengeluh sedikitpun pada Sang Pencipta tentang takdir mereka yang kekurangan. Ayah Bella juga selalu mengajarkan anak dan istrinya tata krama dan juga ilmu agama sebagai dasar hidup yang harus diterapkan sehari-hari.
"Bel, duduk sini!" Ayah Bella melambaikan tangan pada Bella yang sedang memainkan ponselnya di depan tv untuk mendekat.
Bella meletakkan ponselnya dan beranjak duduk di samping ayahnya.
"Gimana hasil ujian kamu? Lulus?" Bella menarik sudut bibirnya tersenyum, menggambarkan ia akan memberitahu kabar baik.
"Hm, lulus nggak ya?" ucap Bella meletakan dua jari di dagunya.
"Kamu ini, di tanya malah tanya!" ucap Bu Nita tak sabar.
"Kalau aku lulus Ayah mau kasih apa?"
"Ada nanti hadiah buat kamu, udah Ayah siapkan!" jawab ayah Bella sambil melinting rokoknya. Jaman sudah modern, tapi ayah Bella terbiasa merokok dengan tembakau racikan sendiri, digulung dengan kertas papir yang terkesan sangat jadul. Hanya di rumah, jika di luar Pak Arya tidak merokok.
"Bella lulus! Dan Bella dapat peringkat pertama di sekolahan dengan nilai akhir yang tertinggi!" Wajah Bu Nita dan Pak Arya tampak bahagia, tampak senyum mengembang dari wajah tua yang kini tak tahu jika kebahagiaan mereka akan terhalang oleh kehamilan Bella.
"Selamat, Nak! Kamu memang selalu bisa membuat Ayah sama Ibu bangga!" ucap Bu Nita memeluk Bella erat.
"Ayah punya tabungan 15juta, niatnya mau belikan kamu motor. Kamu pakai ya, buat daftar kuliah. Jika lebih, nanti Ayah Belikan motor seken. Nggak papa kan?" ucap Arya.
"Terimakasih, Yah. Bella nggak usah dibelikan motor juga nggak papa. Bella juga udah ada usulan dari sekolah mau kuliah di mana. Kata kepala sekolah, bagi yang mendapat peringkat tertinggi bisa dapat beasiswa masuk kuliah gratis. Besok Bella ke sekolah sekalian tanya tentang itu," ucap Bella.
"Terserah kamu saja, kalau bisa jangan jauh-jauh kuliahnya. Di sini kan banyak universitas bagus!" ucap ayah.
"Kalau pihak sekolah kasih rekomendasi beasiswanya di tempat yang jauh, gimana, Yah?" Ayah Bella tampak diam sambil berpikir.
"Itu tergantung kamu. Bisa jaga diri atau tidak di luar sana, tapi jika bisa menawar sama pihak sekolah ya cari yang dekat saja. Biar Ayah nggak khawatir!" ucap ayah.
"Baiklah, Yah! Besok aku tanyakan sekalian. Ayah, Ibu, terimakasih sudah jadi orang tua yang baik buat Bella. Bella bangga punya orangtua seperti kalian." 
Pak Arya tersenyum begitu pula Bu Nita. Setelah permusyawaratan ini, mereka kemudian ke masjid dekat rumah untuk melakukan sholat jamaah.
Selepas dari masjid, Bella langsung masuk kamar. Banyak chat yang masuk dari Nayla dan panggilan dari nomor tak dikenal. Bella penasaran, siapa pemilik nomor itu.
Tak selang lama, terdengar pintu rumahnya diketuk. Bella yang sedang di kamar mendengar Ibunya menjawab salam dan membukakan pintu.
Tak selang lama, Bu Nita memanggil namanya untuk segera keluar.
"Iya, Bu!" sahut Bella. Bella terpatung melihat Arki yang sudah duduk di kursi tamu ditemani ayahnya.
"Oh, Bel! Bikinin minum buat tamu kita!" perinta ibu Nita. Namun, Bella masih berdiri mematung di sana menatap keberadaan Arki di rumahnya.
"Bell? Malah bengong! Kamu buatkan teh sana buat Den Arki!" 
Bella yang tersadar langsung pergi ke belakang untuk membuatkan teh. Bella benar-benar terkejut melihat Arki, ia sampai melamun saat membuatkan teh untuknya. Ia mengambil sesendok garam yang ia kira gula karena tak fokus dengan pikirannya.
Bella membawa teh ke depan dan hendak masuk lagi ke kamar.
"Bel, mau kemana? Ada tamu kok di tinggal?" ucap ibunya.
"Mau istirahat, Bu. Bella lelah pengen tidur lebih awal." Bella melangkah memasuki kamar, ia tak peduli akan tatapan Arki yang mendalam.
Di dalam, Bella duduk di samping tembok. Hendak menguping pembicaraan Arki dan kedua orang tuanya. Ia ingin tahu, hal apa yang akan dibicarakan olehnya.
"Nak Arki, silahkan di minum tehnya!"
"Maaf, Bu, Pak! Jika kedatangan saya mengganggu malam-malam."
"Oh, tidak sama sekali! Nak Arki sudah mau mampir ke tempat saya juga sudah sangat bersyukur. Maaf jika hanya bisa menjamu minuman saja, keluarga kita memang begini keadaannya," ucap ayah Bella.
Jantung Bella mulai tak beraturan, ada rasa khawatir jika Arki berbicara tentang perbuatannya pada kedua orang tuanya. 
Ia belum siap melihat orang tuanya kecewa, rasa takutnya lebih besar dari pada rasa kecewanya.
"Nak Arki ada perlukah mampir ke sini?" tanya ibu Nita.
"Iya, Bu. Kedatangan saya kemari hendak menawarkan pekerjaan pada Bella. Bukankah dia sudah lulus sekolah?" ucap Arki.
"Kok Nak Arki bisa tahu?" tanya Ibu.
"Adik saya satu kelas dengan anak Ibu, kebetulan saya baru tahu kemarin saat adik saya belajar bersama," jelas Arki.
"Oh, gitu ya. Memang tadi Bella baru bilang katanya sudah dapat pengumuman kelulusan sekolahnya. Tapi Bapak sih maunya, Bella kuliah. Soalnya dia anak pintar, bahkan tadi dia juga mengatakan kemungkinan dapat beasiswa karena  meraih peringkat tertinggi di sekolahnya. 
Bapak nggak tega kalau dia harus bekerja. Tapi sepertinya, biaya kuliah juga tidak murah, semua keputusan ada pada Bella. Bapak tak mau memaksakan, bagaimana maunya  Bella saja. Karena Bella anak satu-satunya kami, dia anak kebanggan kami. Kalau boleh tahu, mau bekerja di mana Nak?" tanya ayah Bella.
"Aku membutuhkan pegawai accounting untuk perusahaan saya, kebetulan pegawai yang lama mengundurkan diri karena suaminya pindah kota. Jika Bella berkenan, bisa dia bekerja sambil kuliah. Saya tidak akan melarangnya, bahkan saya senang jika dia mau menerima tawaran saya ini," ungkap Arki.
"Besok akan coba Ibu bicarakan pada Bella. Ibu juga senang jika Bella mau bekerja di tempat Nak Arki, selain dekat dengan rumah juga tenang karena Ibu sudah kenal bagaimana Nak Arki ini. Bagaimanapun, Nak Arki sudah banyak membantu keluarga kami," papar Bu Nita.
Bella yang mendengar percakapan Arki dan orang tuanya, merasa lega. Ternyata kedatangannya bukan untuk membicarakan perbuatan nya pada orang tuanya melainkan mengajaknya bekerja. Namun, Bella tak mungkin bekerja dengannya. Itu sama saja ia membahayakan dirinya sendiri jika ia tahu bahwa dirinya tengah hamil. Bella ingin bekerja di tempat yang jauh dari orang tuanya, agar ia tak membuat malu mereka.
Terdengar suara mobil Arki yang meninggalkan rumah Bella. Bella yang memang belum tidur, memilih keluar kamar.
"Kamu belum tidur, Bel? Katanya tadi mau istirahat?" tanya Bu Nita.
"Bella haus, mau ambil minum. Tamunya sudah pulang, Bu?" 
"Sudah barusan. Kamu kenapa nggak ikut duduk tadi? Sebenarnya dia itu ada urusan sama kamu."
"Urusan?" sahut Bella sembari duduk di samping ibunya dengan memegang gelas di tangannya. Sebenarnya ia sudah mendengarnya tadi, tapi ia ingin mendengar pendapat orang tuanya dahulu.
"Iya, bos Ibu itu nawarin kerjaan di kantornya. Dia juga ngebolehin kamu kuliah sambil kerja. Menurut Ibu sih, bagus juga. Jarang-jarang ada orang baik kaya Nak Arki itu, Ibu aja betah kerja di rumahnya. Selain baik, dia juga nggak perhitungan. Kamu terima saja tawarannya ya?" harap Ibu.
"Bos? Jadi selama ini Ibu kerja dengan dia?" tanya Bella.
"Iya, kenapa? Kamu kenal Nak Arki?"
"Oh, Ti_tidak! Aku tak mengenalnya."
"Jadi, gimana Bel? Mau terima tawaran kerja di perusahaan Nak Arki?" ujar Bu Nita.
"Bu, jangan paksa Bella. Biar dia pilih keputusannya sendiri, kita dukung saja semua keinginannya nanti. Yang penting, dia betah dan nyaman," timpal ayah Bella.
"Ya Ayah, kan siapa tahu jadi Rezeki anak kita. Udah kuliah gratis, kerja juga gampang. Yang terpenting, nggak jauh dari kita," sahut Ibu.
"Bella akan pikirkan nanti ya, Bu, Yah! Bella mau ke kamar lagi! Mau sambung tidur."
Bella berdiri dan masuk ke kamarnya lagi. Ia tampak berpikir keras tentang langkah apa yang harus diambil untuk merancang masa depannya sendiri. Ia juga tak bisa lari dan menghindar terus dari Arki, anaknya nanti juga butuh sosok ayah. Tapi ia belum siap untuk menikah. Lagipun, apa Arki akan mau menerima, jika ia tengah hamil anak hasil perbuatannya saat mabuk dulu.
Sebuah pesan masuk dalam ponsel Bella, ia membuka dan membaca isi dari pesan dari nomor yang tak dikenalnya.
"Maaf, Bell. Ini saya, Arki. Maaf juga jika kedatanganku tadi mengusik ketenanganmu. Saya hanya ingin meminta maaf denganmu. Niatku tadi ke rumah ingin mengajakmu bekerja denganku. Terimalah, agar saya tak begitu merasa berdosa atas perbuatanku padamu. Aku akan menebusnya dengan hal apapun, asal kau memaafkanku.
Mendengar ucapan orang tuamu tadi yang tampak sangat menyayangimu, aku jadi merasa berdosa telah merusak gadis sebaik dirimu. Tolong, terimalah permintaan maafku ini!"
Bella tampak melipat keningnya bingung, mungkinkah Arki dapat nomor dari Rafael? Jika ia, maka Rafael juga akan terlibat dengan masalahnya ini. Bella tak ingin membalasnya, ia blokir nomor Arki agar hidupnya sedikit tenang beberapa waktu.

Komentar Buku (466)

  • avatar
    RustikaJuju

    suka bngt dengan cerita nya ,menarik ,danbikin kangen lg cerita nya cuma sayang nya 😅😅😅say gk ada kuata😭😥😥

    16/01/2022

      3
  • avatar
    Selly Janting

    semakin lama baca novel ini semakin menarik..setiap kali membaca sepertinya melihat drama ..

    14/01/2022

      3
  • avatar
    DwiTyani

    lanjut Thor... semangat... ceritanya seru, jadi pengen baca trus, lg semangat baca udh end.. ditunggu lanjutan nya... sehat sehat ya... biar bisa lanjut troosss

    13/01/2022

      2
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru