logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Chap 3

"Dimana saudara-saudaramu yang lain?"
Mendengar pertanyaan tiba-tiba dari sang ayah, Shinta yang tengah menonton acara di tv dengan sepiring buah-buahan yang sudah dipotong akhirnya bangkit dari duduknya.
"Kakak sama Abang lagi di teras belakang yah." Si bungsu menjawab lirih, sedikit gugup karena takut ayahnya nanti menanyakan keberadaan kakak ketiganya. Karena setelah pembicaraan panjang di kantin tadi, Chandra memutuskan untuk langsung mengikuti acara kumpul di ekstrakurikuler musiknya tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada sang ayah.
"Chandra?" Pradipta bertanya dengan sedikit memiringkan kepalanya, menatap penuh selidik kearah si bungsu.
"Mas Chandra.....belum pulang." Ucapan si bungsu semakin melirih, bahkan lebih lirih dari jawaban pertamanya.
"Belum pulang? Ini sudah jam lima dan kamu bilang dia belum pulang?"
"Ayah?" Seruan dari arah teras belakang membuat atensi dua orang berbeda generasi itu teralihkan, di sana Rendika tengah berdiri dengan Rohma yang berada di belakangnya.
"Ayah sudah pulang?" Lanjut Rendika, remaja itu lalu berjalan mendekat. Berniat menggamit tangan kanan ayahnya untuk ia cium.
"Kenapa memangnya kalau ayah pulang? Kamu takut kalau ayah tau adikmu itu nggak ada di rumah?"
Rendika terdiam, lalu pandangannya tak sengaja melihat Shinta yang sudah menunduk dalam. "Bang, bawa Shinta keatas." Ucapnya kepada rohma.
Setelah kepergian kedua adiknya, Rendika memberanikan diri menatap sang ayah. Bisa Rendika lihat bahwa sang ayah saat ini memang benar-benar marah, mungkin efek dari rasa lelahnya seharian di kantor. Lalu harus ditambah lagi dengan fakta bahwa Chandra telah melanggar peraturan yang sudah ditetapkan, seolah memang perpaduan yang pas untuk membangkitkan amarahnya.
"Chandra....."
"Aku pulang..." Ucapan Rendika terpotong karena seruan Chandra yang juga tercekat sebab melihat sosok ayahnya tengah berdiri berhadapan dengan sang kakak.
Seolah sinyal yang langsung terhubung, Chandra yang awalnya pulang dengan wajah ceria akhirnya hanya bisa memasang wajah datar. Matanya sempat melirik sang kakak yang ternyata juga tengah melakukan hal serupa kepadanya.
"Dari mana kamu?"
"Ada urusan di sekolah." Sahut Chandra datar.
Jika ketiga saudaranya akan langsung menunjukkan wajah takut dengan menunduk dalam, maka hal itu tak akan pernah terjadi pada Chandra. Remaja itu pantang menunjukkan ketakutannya pada siapapun, bahkan kepada ayahnya sendiri. Bukan tak menghargai, tapi kalian bisa menyebutnya sebagai bentuk pertahanan diri.
Mendengar jawaban tidak memuaskan dari sang putra, Pradipta hanya bisa tersenyum smirk. Lalu mengubah posisinya hingga menghadap sepenuhnya kearah Chandra.
"Sepenting itukah urusanmu sampai berani melanggar peraturan yang sudah ayah tetapkan?"
"Yah, aku cuma telat pulang beberapa jam. Bukan melakukan dosa besar yang bisa mencoret nama baik ayah."
Rendika hanya bisa menghela nafas lelah. Karena yang ia tahu, ketegangan yang melibatkan ayahnya dan Chandra pasti tak akan berakhir dengan mudah.
"Begitukah? Memangnya apa yang kamu tahu soal nama baik ayah? Bahkan jika kolega-kolega ayah tahu kamu sudah melanggar peraturan yang ayah tetapkan, apa kamu pikir itu tidak akan mencoret nama baik ayah?"
Chandra tersenyum nanar, sekejap membuang pandangan sebelum menatap sang ayah lagi. "Yaudah, kalo gitu aku minta maaf."
"Maaf? Apa kamu fikir kata maaf bisa menyelesaikan masalah?" Suara Pradipta semakin meninggi, merasa tak puas dengan sikap yang ditunjukkan putra ketiganya itu.
"Yah, udah. Chandra juga udah minta maaf kan."
"Kamu diam!" Telunjuk Pradipta menunjuk tepat ke arah Rendika. "Ayah nggak lagi bicara sama kamu!"
"Dan kamu!" Telunjuk yang tadinya mengarah kepada Rendika, kali ini menunjuk lurus ke arah Chandra. "Jangan harap selama seminggu ini kamu akan mendapat uang saku dari ayah."
Setelah mengatakan hal itu Pradipta berlalu dari sana, meninggalkan kedua putranya dalam diam. Setelahnya Chandra berjalan cepat ke arah kamarnya sendiri di lantai dua, yang langsung diikuti Rendika tepat di belakangnya.
"Chandra dengerin Abang!" Suara Rendika sedikit meninggi sebab panggilannya sedari tadi diabaikan sang adik, bahkan tangan kanannya harus menarik lengan Chandra agar adiknya itu mau berhenti.
Chandra berbalik setelahnya, tapi enggan menatap netra hitam sang kakak. Keduanya kini sudah berdiri di depan pintu kamar milik Chandra.
"Kenapa kamu nggak bilang aja yang sebenarnya ke ayah?"
"Trus kakak berharap apa? Ayah bakal percaya? Iya?" Chandra mengusap rambutnya frustasi. "Yang aku tahu, ayah akan tetap menyalahkan kita apapun alasan yang kita punya. Bukan karena memang kita salah, tapi karena ayah yang emang nggak mau terlihat kalah."
"Tapi seenggaknya kamu bisa bicara jujur, buat hasilnya gimana itu urusan nanti. Seenggaknya kita jujur dulu."
Chandra menggeleng. "Enggak kak. Buat aku, percuma jujur kalo pada akhirnya kita tetep keliatan salah. Lebih baik kita diam, seenggaknya kita nggak buang-buang tenaga cuma buat hal yang endingnya selalu sama."
Rendika terdiam, bahkan di dalam hatinya ia membenarkan ucapan sang adik. Apalagi hal itu jugalah yang selalu ia lakukan saat harus berhadapan dengan sang ayah.
"Yaudah, kalau gitu kamu bersih-bersih dulu aja. Jangan lupa nenangin pikiran juga. Terus nanti jangan lupa turun buat makan malam."
Rendika lalu beranjak pergi, memilih mengakhiri perdebatan yang ia tahu tak akan pernah ada akhirnya. Tapi sebelum benar-benar beranjak, ia menyempatkan diri menepuk bahu adiknya. Sedikit menguatkan.
°°°°°
Getaran beberapa kali di handphonenya mampu membuat kelopak mata milik Rendika kembali terbuka. Lalu matanya melihat jam digital di atas nakas, pukul setengah satu malam. Sudah cukup larut untuk ukuran remaja sepertinya, jadi tidak mengherankan jika ia hampir ketiduran di tengah-tengah acara belajarnya.
Jika ada yang bertanya kenapa ia masih harus belajar sampai selarut ini, maka hanya ada satu jawaban pasti. Apalagi jika bukan karena tuntutan sang ayah yang mengharuskannya untuk mempertahankan prestasinya di sekolah.
Tapi seolah tak cukup dengan itu, hal serupa juga di berlakukan untuk ketiga adiknya yang lain. Walaupun dalam hal ini Shinta masih diberi sedikit keringanan, itupun karena ia memohon kepada sang ayah kala itu. Dan ya, Rendika sedikit bersyukur karena sang ayah mau mengabulkan permohonannya. Walau itu artinya beban di pundaknya semakin berat, karena ayah membebankan tanggungan Shinta kepadanya.
Dan seolah mengabaikan itu semua, Rendika lalu meraih handphonenya. Hanya untuk mendapati beberapa notif dari grup yang hanya beranggotakan dirinya dan dua orang sahabatnya.
~Trio RGB~
Gaini
Ren
Rendi
Rendika
Barataka
Udah tidur masa?
Gaini
Seorang Rendika jam segini tidur?
Yang ada pasti tu bocah lagi kencan sama buku-buku.
Senyuman tipis langsung terbit dari bibir Rendika, dalam hati membenarkan isi pesan yang dikirimkan sahabatnya di group. Karena mereka berdua memang sudah mengetahui segala sesuatu tentang Rendika, termasuk bagaimana ayahnya dengan segala tuntutannya.
Ren
Apaan?
Gaini
Noh, benerkan?
Pasti abis kencan sama buku-buku
Ngaku nggak Lo? @Ren
Ren
BCT.
Barataka
Mampus
Capslock jebol nggak tuh?
Wkwkwk
Gaini
Waduh, sabar bos
Baru juga muncul dua kali
Udah ngeluarin kata-kata mutiara aja
Btw Bang Cakra besok ke wasam
Mau ketemu sama Lo katanya
Rendika mengernyit, merasa clueless tentang tujuan Bang Cakra datang ke wasam besok. Ngomong-ngomong, wasam itu kepanjangan dari warung samping. Warung yang selalu dijadikan tempat pertemuan anak-anak RedHause, sebuah geng yang diam-diam diikuti Rendika tanpa sepengetahuan adik-adiknya. Dan kenapa disebut warung samping, ya karena letaknya tepat di samping sekolahan. Bahkan ada akses rahasia yang hanya diketahui para anggota untuk bisa sampai di sana.
Ren
Ada masalah apa?
Barataka
Nggak tau
Tadi sih sempat dibahas di grup
Tapi nggak jelas masalahnya apa
Ren
Oke
Tentang group yang dibicarakan Bara tadi, Rendika memang tak bergabung di dalamnya. Bukan tak di anggap sebagai anggota, tapi justru karena ia memiliki hak khusus untuk dilindungi identitasnya.
Karena dulu alasannya bergabung kedalam RedHause bukan karena keinginannya sendiri, melainkan permintaan Bang Cakra yang tak lain adalah ketuanya. Dan karena setiap bertemu Bang Cakra selalu memintanya bergabung, akhirnya mau tak mau Rendika setuju. Asalkan keanggotaannya tidak terlalu mengikat dan harus dirahasiakan dari orang luar.
Setelahnya Rendika langsung menutup room chat dengan kedua sahabatnya, memilih melupakan sejenak tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan gengnya. Lalu beranjak dari tempatnya dan berjalan keluar kamar. Tujuannya kini adalah kamar adik-adiknya.
Seolah sudah menjadi kebiasaan, si sulung akan selalu memastikan bahwa ketiga adiknya sudah tidur sebelum ia sendiri pergi tidur. Rendika hanya tak ingin mereka terlalu memforsir waktu dalam belajar, seperti apa yang selama ini ia lakukan.

Komentar Buku (47)

  • avatar
    AldoRevaldo

    itu keren

    07/07

      0
  • avatar
    acchongchiaspam

    minta dm ff boleh

    18/06

      0
  • avatar
    DoangGibran

    kf jhohohklhhg

    14/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru