logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Chap 2

Sebuah mobil sedan berhenti tepat di parkiran sekolah, lalu Rohma yang setiap pagi selalu bertugas untuk menyetir menjadi sosok pertama yang keluar dari sana. Disusul ketiga saudaranya yang lain.
Dari ujung koridor terlihat seorang remaja tengah melambaikan tangan, bermaksud memanggil salah satu dari empat bersaudara itu.
"Berasa jadi artis kan gue, pagi-pagi udah di tungguin sama fans."
Mendengar celetukan Chandra, ketiga saudaranya hanya bisa geleng-geleng kepala dengan senyum simpul di sudut bibir masing-masing. Tak heran lagi dengan kelakuan makhluk random satu itu.
"Dek, obatnya nggak lupa di bawa kan?" Rendika menyempatkan bertanya, dengan langkah kaki mengarah ke koridor sekolah. Semakin mendekati Rizal. sosok yang tadi melambaikan tangan ke arah Chandra.
"Enggak kok kak, udah ada di tas." Shinta menjawab setelah yakin bahwa ia tadi sempat memasukkan obat nya ke dalam tas sebelum berangkat sekolah.
"Gue kira Lo bakal telat."
Mendengar ucapan Rizal, Chandra yang baru sampai di depannya kontan mencibir. "Dih, emangnya elo? Gue mah nggak bakalan telat kali, Lo lupa sedisiplin apa mereka?" Lengkap dengan gerakan kepala yang mengarah kepada ketiga saudaranya berdiri.
Rizal yang hanya mengenal sekilas ketiga saudara kembar Chandra hanya bisa mengangguk, seolah menyapa dengan cengiran tipis yang malah terlihat konyol dimata Chandra.
"Ada apaan nungguin gue di sini? Serasa orang penting kan gue jadinya."
Belum sempat Rizal menjawab, Rendika sudah bergerak mendekati sang adik lalu menepuk pundaknya perlahan. "Kita duluan kalo gitu."
Chandra mengangguk singkat, sedangkan Rizal hanya bisa membalas dengan senyuman saat tiga bersaudara itu mulai berjalan menjauh.
"Nanti sepulang sekolah pak Wahyu mau kita semua kumpul, ada yang mau dibahas. Penting katanya."
Chandra berdecak kesal. "Kenapa baru bilang sekarang? Lo tau kan gue nggak mungkin bisa kalo tiba-tiba kaya gini?" Raut yang semula cerah langsung berganti mendung dengan kerutan samar di dahinya.
"Ya gue ngerti Chan, tapi gue juga baru dapat infonya tadi pagi. Gimana dong?"
Chandra sendiri bingung mau menjawab apa. Disini dirinya juga serba salah, sama seperti sahabatnya yang saat ini menatap tak enak kearahnya.
Posisinya sebagai seorang vokalis di band sekolah yang juga dinaungi Rizal dan salah satu teman mereka lainnya, lagi-lagi tak bisa membuatnya mengambil keputusan dengan sesuka hati. Tapi disisi lain Chandra juga tidak bisa menyetujuinya begitu saja. Kalau tidak, dirinya dan ketiga saudaranya pasti akan mendapat hukuman jika ketahuan pulang terlambat tanpa izin.
"Yaudah deh, nanti gue coba bilang ke bang Ren dulu."
Rizal mengangguk, "Yaudah, nanti chat aja jadinya gimana."
Setelah itu keduanya berjalan beriringan menuju kelas masing-masing, lalu berpisah di ujung koridor karena letak kelas mereka yang memang berbeda arah.
Sesampainya Chandra di kelas, tak lama seorang guru dengan hijab senada dengan warna bajunya juga masuk dan mengucapkan salam. Untuk kemudian melanjutkannya dengan materi yang sempat dibahas sedikit di pertemuan sebelumnya.
Selama pelajaran pun Chandra bahkan tak bisa berkonsentrasi, bahkan beberapa kali ketiga saudaranya bertanya yang hanya berakhir dengan jawaban yang sama, gelengan kepala.
"Kenapa?" Rendika bertanya saat lagi-lagi melihat Chandra yang tak terlihat seperti biasanya. Terpantau lebih pendiam dan seperti sedang ada beban pikiran.
Chandra menggembungkan pipinya dengan kedua tangan dilipat di atas meja kantin, karena memang bel tanda istirahat sudah berbunyi sekitar lima belas menit yang lalu. Badannya bahkan ia condongkan ke depan seolah-olah akan mengatakan hal yang sangat serius. "Rizal bilang nanti sepulang sekolah pak Wahyu mau anak-anak kumpul lengkap, sedangkan kakak tau kan kemarin aku cuma izin pulang terlambat tiga kali dalam seminggu ini ke ayah?"
Ya, Pradipta selaku ayah keempat remaja itu memang sudah menetapkan sederet peraturan ketat untuk keempat putranya. Dan salah satunya harus meminta izin untuk jumlah keterlambatan pulang setiap minggunya. Dan itu mutlak tanpa menerima bantahan atau alasan apapun.
"Kenapa tiba-tiba disuruh kumpul?"
Chandra menggeleng sebagai respon pertanyaan si bungsu. "Nggak tau, katanya ada hal penting yang mau dibahas."
"Yaudah, telpon ayah aja." Mendengar usulan Rohma, Chandra kontan menggeleng.
"Nggak ah, palingan ayah juga nggak bakalan percaya."
"Yaudah, biar kakak aja yang telpon ayah kalo gitu."
Rendika sudah akan mengambil handphonenya yang ada di atas meja saat benda itu diraih cepat sang adik. "Jangan, nanti kakak yang malah di marahin sama ayah."
Si sulung menghela nafas, "Terus kamu maunya gimana? Nggak mungkin kan kamu pulang gitu aja tanpa ikut kumpul, katanya juga mau bahas hal yang penting. Atau kamu malah mau ikut kumpul tanpa izin ke ayah? Itu sih malah lebih parah namanya."
Shinta menghentikan gerakannya memainkan sedotan plastik di minumannya, lalu mengangkat pandangan hanya untuk melihat wajah kusut milik Chandra. "Kalo aku sih setuju sama bang Ren, lebih baik dimarahi karena izin daripada ketahuan pulang terlambat tanpa izin."
Satu hal yang pasti, bahwa hidup sebagai seorang anak dari keluarga terpandang seperti Pradipta bersaudara tidaklah semudah seperti apa yang terlihat. Mungkin materi bukanlah masalah bagi mereka, tapi rasa kasih dan sayang adalah hal langka yang susah mereka dapatkan. Bahkan uang yang mereka miliki tak mampu membeli hal itu sampai kapanpun.
Juga kebebasan, keempat bersaudara itu seakan sudah lupa bagaimana hidup bebas tanpa kekangan sang ayah. Atau bahkan mereka belum pernah merasakannya? bagaimana leluasanya hidup tanpa harus memikirkan konsekuensi dari setiap kesalahan yang mereka perbuat. Benar-benar miris bukan?.

Komentar Buku (47)

  • avatar
    AldoRevaldo

    itu keren

    07/07

      0
  • avatar
    acchongchiaspam

    minta dm ff boleh

    18/06

      0
  • avatar
    DoangGibran

    kf jhohohklhhg

    14/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru