logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Cerita tak berkesah

Cerita tak berkesah

KecutAsem


Chap 1

Terkadang perspektif seseorang tentang hidup bahagia adalah selalu tentang harta dan kedudukan. Padahal jika mau memandang lagi kebelakang, tak sedikit orang yang hanya ingin hidup sederhana setelah tahu asam pahitnya hidup menjadi orang terpandang.
Terpandang di sini juga masih memiliki banyak artian, tapi yang paling umum dibicarakan adalah orang-orang yang bahkan setiap gerak-geriknya pasti diperhatikan, dijadikan panutan atau bahkan bahan perbandingan.
Mungkin semua itu akan terlihat baik-baik saja untuk sebagian orang, apalagi jika hal itulah yang sudah menjadi pilihan hidupnya. Tapi bagaimana jika semua itu terjadi pada orang-orang yang sebenarnya tak benar-benar menginginkannya, yang bahkan harus menerima karena takdir menggariskannya lahir di keluarga yang memang menjunjung tinggi itu semua.
Memuakkan? Tentu saja, apalagi?
Bahkan jika ada kata yang lebih bisa menggambarkan hal itu sudah pasti akan langsung digunakan.
Hidup di tengah keluarga besar yang dari awal sudah menjunjung reputasi dan harga diri bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika masih harus di bumbui drama beralaskan ambisi yang ditetapkan terlalu tinggi. Seakan-akan tujuan hidup mereka hanyalah untuk memenuhi itu semua, lalu mati tanpa arti.
Itulah kenapa jika ada yang bertanya apa yang paling dibenci Pradipta bersaudara, maka reputasi, harga diri dan ambisi keluarga adalah jawabannya.
Jika dulu saat bunda masih ada, semua tuntutan akan selalu di barengi penjelasan sebagai kata pengantar yang sedikit menenangkan. Tapi semenjak bunda tiada, semua terlihat seperti selayaknya. Tanpa polesan, tanpa rekayasa.
Bagaimana sang ayah yang dengan gamblangnya mengatakan bahwa tak ada yang lebih penting dari reputasi keluarga, bahkan apapun akan dilakukan jika itu diperlukan. Mengorbankan kebahagiaan anak-anaknya misalnya?.
Karena itulah kenapa hubungan Rendika dan ketiga adiknya tak pernah sedekat itu dengan sosok sang ayah. Bahkan hanya dengan melihatnya saja, semua orang pasti akan tahu sejauh apa bentang jarak yang memisahkan hubungan mereka.
Dan tak selayaknya sebuah rumah besar yang pasti terdapat banyak penjaga ataupun pelayan, maka pengecualian berlaku di kediaman keluarga itu. Terutama Rendika, si sulung satu itu sudah meminta secara pribadi kepada sang ayah untuk tidak mempekerjakan seorang pelayan pun. Dalam hal ini beberapa pelayan hanya akan datang di akhir pekan hanya untuk membersihkan area rumah. Sedangkan di hari-hari biasa, empat bersaudara itu akan lebih nyaman dengan keadaan rumah yang hanya dihuni keempatnya saja.
Lalu mengenai bunda, bisa di bilang beliau adalah cinta pertama bagi keempat jagoannya. Iya, bahkan Rendika akan mulai menertawakan dirinya sendiri saat mengingat julukan apa yang diberikan wanita cantik berambut sebahu kala itu. 'Jagoan-jagoan bunda' terdengar kekanakan, tapi sweet di waktu bersamaan.
Rendika bahkan masih mengingat bagaimana senyum manis milik sang bunda, senyuman tulus yang entah kenapa mampu membuat setiap beban di pikirannya seolah hilang entah kemana hanya dengan melihatnya. Selain itu bunda memiliki hati selembut sutra, juga tutur kata yang mampu menyejukkan hati para pendengarnya. Itulah kenapa sampai saat ini Rendika masih tak habis pikir, kenapa wanita sebaik bunda bisa menikah dengan ayahnya yang terkenal temperamental dan sangat otoriter. Ya, mungkin itulah kenapa banyak yang bilang bahwa cinta itu buta. Seolah-olah memang menutupi segala keburukan pasangannya.
Tapi sayang, tuhan seakan tak mengizinkan keempat remaja itu untuk menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan sang bunda. Terbukti dengan diambilnya bunda dari sisi mereka beberapa tahun silam.
Setelah bunda, Rendika masih memiliki tiga sosok terpenting dalam hidupnya. Bisa dibilang mereka adalah alasan satu-satunya yang Rendika miliki untuk tetap bertahan hidup sampai saat ini, tentu saja setelah bunda tiada.
Tiga sosok itu tak lain adalah ketiga adiknya, atau lebih tepatnya ketiga saudara kembar tak identiknya.
Dalam hal ini, keempatnya memang tak memiliki kemiripan apapun baik dari segi wajah maupun postur tubuh. Maka tak jarang saat mereka jalan keluar bersama, kebanyakan orang akan menganggap bahwa mereka hanyalah teman sebaya. Bukan saudara dengan satu aliran darah yang sama.
Setelah semua itu, mungkin mengenal lebih dekat empat remaja yang dikenal sebagai Bagaskara bersaudara tak ada salahnya. Atau kalian lebih suka menyebutnya jagoan-jagoan bunda, untuk itu terserah kalian saja.
Oke, jagoan pertama bunda adalah Rendika Pahlevi Pradipta. Bang Ren - si sulung yang dikenal dengan kepribadiannya yang tegas dan bermulut pedas. Ketegasan dan mulut pedas milik Rendika sebenarnya hanya akan muncul jika keputusannya ditentang, atau karena peraturannya dilanggar. Dan karena itu si sulung bisa dikatakan orang yang teratur dalam menjalani kehidupannya.
Tapi sayangnya, ketegasan dan mulut pedas milik si sulung tak pernah berlaku untuk sang ayah,-Pradipta yang dikenal ambisius dan perfeksionis. Remaja itu hanya berfikir, lebih baik diam jika semua keambisiusan sang ayah tak menyentuh kehidupan adik-adiknya lebih jauh lagi. Setidaknya, itu lebih dari cukup bagi Rendika.
Rendika sendiri memiliki fobia sejak ia masih kecil, Hemophobia namanya. Atau orang awam sering menyebutnya ketakutan yang muncul karena melihat darah. Penyebabnya tak lain adalah kecelakaan yang terjadi beberapa tahun silam. Kecelakaan yang memang dirancang sedemikian rupa oleh saingan bisnis sang ayah.
Ya, singkatnya sih seperti itu. Karena si sulung tidak pernah suka jika ada yang membahas penyebab fobianya. Jadi, nanti saja kita bahas jika memang diperlukan.
Lalu jagoan kedua bunda bernama Ainur Rohma Pradipta, atau lebih sering dipanggil Kak Rohma. Seornag perempuan dengan mata bulan sabit dan ber eye smile itu sangat jarang menunjukkan emosinya, malah lebih sering menanggapi segala sesuatu dengan senyuman.
Pernah suatu ketika, sang adik masuk ke kamarnya dengan membawa kertas panjang berwarna ungu bertuliskan 'senyumin aja dulu, nanti masalah juga akan berlalu seiring berjalannya waktu' dengan tambahan tulisan 'motto hidup kak Rohma by Mas Chandra.' Tepat diatasnya.
Bukan tanpa alasan sang adik melakukan hal itu, tapi karena saking gemasnya ia pada kakak keduanya kala itu. Bagaimana tidak, saat semua orang memandang ke arahnya dengan tatapan khawatir sebab habis dimarahi sang ayah habis-habisan, Rohma malah memberikan senyuman tulus lengkap dengan eye smile untuk mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Benar-benar tak masuk akal jika dipikirkan, tapi memang itulah yang terjadi.
Tapi alih-alih marah, Rohma malah merespon tindakan sang adik dengan tawa renyahnya. Tak berhenti sampai di situ, bahkan Rohma tetap membiarkan kertas berwarna ungu itu terpajang di kamarnya hingga saat ini.
Selain itu, Rohma masih memiliki keistimewaan lain. Kali ini benar-benar istimewa sampai hanya segelintir orang yang bisa memilikinya.
Congenital Insensitivity To Pain With Anhidrosis atau CIPA namanya. Alias tak bisa merasakan sakit. Iya, Rohma seistimewa itu hingga sakit pun ia tak bisa merasakannya. Mungkin itu juga yang menyebabkannya selalu tersenyum meski habis dimarahi ayah, apa mungkin keistimewaannya itu juga yang membuat hatinya tak bisa merasakan sakit? Entahlah, hanya dia yang tau soal itu.
Berlanjut ke jagoan bunda yang ketiga. Namanya Chandra Raden Pradipta, panggil aja Mas Chandra biar gampang.
Remaja dengan badan paling berisi dari yang lainnya itu bisa dikatakan adalah garda terdepan dalam hal melindungi saudara-saudaranya. Terutama dalam hal menentang semua tuntutan dari sang ayah.
Untuk masalah bela diri pun sebenarnya Chandra bisa dikatakan cukup mahir. Tapi tetap saja kalah jika dibandingkan dengan kakak keduanya yang memang memiliki tubuh berotot.
Bedanya, Chandra akan langsung bereaksi jika saudara-saudaranya di ganggu orang lain. Sedangkan Rohma lebih tenang dalam menghadapi setiap masalah. Itu sebabnya Chandra lebih sering terlibat masalah daripada saudaranya yang lain.
Selain itu, musik dan piano adalah kehidupan bagi Chandra. Karena baginya, musik adalah hal pertama yang diajarkan sang bunda kepadanya. Satu dari beberapa hal yang ia jadikan pelarian saat emosi benar-benar mengganggu hati dan pikirannya.
Tapi jika denting piano tak lagi mampu menampung segala keluh kesahnya, remaja itu punya satu kebiasaan buruk lain yang ia jadikan sebagai pelarian emosi. Kebiasaan buruk yang sangat dibenci saudara-saudaranya terutama Rendika.
Kebiasaan untuk melukai dirinya sendiri dengan benda-benda berujung tajam di sekelilingnya. Maka sejak pertama mengetahui hal itu, Rendika langsung menetapkan peraturan yang sama untuk setiap kamar yang dihuni mereka.
Tak ada kamar yang boleh dikunci dari dalam apapun alasannya.
Dan beruntung, tak ada yang berani menentang atau sekedar menawar peraturan final dari di sulung kala itu.
Setelah itu, mari kita lupakan sejenak kebiasaan buruk dari Chandra. Karena kita juga perlukan mengenal si bungsu jagoan bunda.
Namanya, Hardianti Shinta Pradipta. Si bungsu yang paling dijaga Pradipta bersaudara.
Kalau Chandra dikenal dengan kepribadiannya yang pandai menghidupkan suasana, maka Shinta adalah kebalikannya.
Si bungsu satu ini lebih suka diam tak ikut campur jika dirasa tak terlalu penting. Tapi alih-alih cuek dengan sekeliling, Shinta malah tumbuh menjadi sosok dengan kepekaan diatas rata-rata. Tak ayal ia akan menjadi orang pertama yang menyadari jika saudara-saudaranya sedang tidak baik-baik saja.
Lalu untuk urusan dapur, kemampuan Shinta tidak perlu diragukan lagi. Karena skil memasaknya hampir menyerupai sang bunda, bahkan bisa dikatakan lebih baik seiring dengan berjalannya waktu. Bahkan Rendika pun kalah dalam hal ini.
Sayangnya, sosok Shinta dan rumah sakit juga obat-obatan adalah hal yang tak bisa dipisahkan sejak ia dilahirkan. Apalagi setiap minggunya, Shinta harus selalu siap mengunjungi tempat berbau obat itu untuk alasan check up kesehatan jantung istimewanya.
Melelahkan sekali memang, bahkan bukan sekali dua kali ia menyatakan keluhannya itu kepada kakak sulungnya. Tapi dengan senyum simpul dan pelukan hangat, si sulung selalu mengatakan bahwa pada akhirnya semua akan berakhir indah jika Shinta mau bertahan sebentar lagi. Dan hebatnya, seolah mantra yang diucapkan berkali-kali. Hal itu mampu membuat si bungsu kembali bersemangat untuk menanti kebenaran yang diucapkan sang kakak.
Jadi, mari berdoa bersama. Semoga suatu hari nanti Rendika bisa membuktikan ucapannya kepada si bungsu.

Komentar Buku (47)

  • avatar
    AldoRevaldo

    itu keren

    07/07

      0
  • avatar
    acchongchiaspam

    minta dm ff boleh

    18/06

      0
  • avatar
    DoangGibran

    kf jhohohklhhg

    14/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru