logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Dilema

Hari ini jadwal kuliah online dan semua tugas bisa dilakukan secara online pula. Jessy ingat harus menghubungi Bang Danu.
“Tutt…tutt…. “ , suara ponsel dari seberang belum diangkat juga. Jessy membuka sarapan pagi berupa sebungkus nasi uduk ke dalam sebuah piring. Nasi uduk Bang Muin paling top di sekitar sini, selain murah meriah,menunya pun lengkap. Sambal goreng ati dan telur balado Bang Muin memiliki cita rasa yang khas dan jarang dijumpai di lain tempat.
“Tutt...tutt…” , suara ponsel masuk. Jessy pun mengangkatnya.
“Jess, buruan ke lokasi syuting dong . Tanpa casting, sutradara dah milih lu jadi pemeran pembantu”
“Sabar Bang, Jessy belum dikasih tau. Judul sinetronnya apaan? Fee per scene berapa?”
“Tenang …ntar abang share ke whatssup. Pokoknya ini sinetron bakal masuk rating. Lu bakal naik daun!”
“Thanks ya, Bang”
Masih teringat benar di benaknya masa-masa SMA yang indah dimana Jessy beberapa kali merajut tali kasih dengan teman satu sekolahnya di sela-sela kesibukan membagi waktu antara belajar dan syuting. Sampai suatu saat kepala sekolah memberi ultimatum untuk memilih satu di antara dua. Jessy memilih sekolah karena mama tidak mengijinkan homeschooling. Saat itu pula pupus harapannya untuk menjadi artis.
“Tutt…tuttt…” diliriknya ponsel Jessy yang tergeletak di meja.
“Halo, “ balas Jessy singkat.
“Halo cantik…..kamu ada waktu gak nanti malam? Temani om yuk…” pinta suara dari seberang sana.
“Mmhhh…tapi eh..tapi.Jessy lagi sibuk,” gerutu Jessy dalam hati. Dia tahu pasti itu telpon dari Om Heru, laki-laki tua berperut buncit yang tampaknya kegilaan dan ingin mengejarnya.
“Ayolah….jangan takut. Cuma temani om makan siang aja di Sency.Kamu bisa jalan-jalan juga. Gausah malu, gak ada yang peduli sama kita kok, itu cuma tempat umum,” bela Om Heru.
Jessy berpikir berkali-kali, serasa downgrade menemani tamu tak lebih dari seorang lady escort. Dirinya seorang model, selebgram, bukan lady escort. Tapi….Jessy sangat membutuhkan uang saat ini, banyak keinginan yang ingin dia wujudkan. Lelah rasanya hidup menderita semenjak papa bangkrut. Jessy gak bisa hidup miskin ataupun prihatin.
Sore harinya Jessy berdandan cantik dengan gaun malam hitam yang sexy dengan belahan dada rendah dan rambut curly. Dipolesnya riasan tipis-tipis ala Korea, saputan matte lipstick warna soft. Wangi aroma red vanilla dari parfum Zara merebak ke seluruh kamar. Serasa ada gairah baru tatkala mencium aroma ini, suatu aroma yang menerbangkan sejuta cita menggapai asa menerbangkan sejuta duka.
Sesampainya di sebuah bistro yang dijanjikan, dilihatnya kursi-kursi masih kosong, waktu menunjukkan pukul enam sore. Jessy mengayunkan langkah ke beberapa toko pakaian yang berjejer di Sency sambil menghabiskan waktu menunggu. Dibuangnya pandangan ke seluruh mall yang mulai ramai tapi si buncit belum muncul juga. Mendekati toilet lantai dua , Jessy berpapasan dengan papa. Ya… laki-laki yang merupakan cinta pertamanya. Papa yang dulu sangat memanjakan Jessy. Tapi empat tahun terakhir sangat Jessy benci, papa telah banyak berubah karena wanita jalang itu, entah pelet macam apa yang dia pakai. Wanita yang sangat dia benci karena telah merusak keluarga mamanya, meninggalkan dirinya dan Aldo. Mereka berjalan dengan sombong padahal Jessy tahu, mereka bisa begitu karena uang gono gini mamanya. Jessy membuang muka dan menutupi wajahnya dengan tas, takut wanita itu bakal kepo dan kelak minta-minta uang lagi sama Jessy. Gelak tawa mereka tergiang di telinga Jessy dengan jelas ketika berpapasan.
“Upps…leganya. Saking asyik berpelukan, dunia serasa milik mereka berdua. Untungnya papa gak liat Jessy,” batinnya.
Ingin rasanya mengutuk dua orang itu biar cepat habis hartanya. Biar ikut merasakan bagaimana susahnya hidup Jessy, mama, dan Aldo saat ini. Wajah Jessy seketika berubah menatap dengan tajam ke arah mereka yang kini hanya tampak punggung dari kejauhan. Diliriknya jarum jam yang melingkar di tangan kanannya. Pukul enam lewat empat puluh tujuh menit, bergegas ditujunya bistro yang tadi. Diambilnya tempat duduk yang tertulis reserved.
Tak lama kemudian Om Heru masuk dan duduk di hadapannya. Laki-laki tua dengan rambut kepala yang mulai beruban dan menipis. Tak ada hal istimewa dari laki-laki tua di hadapannya, kecuali posisinya sebagai owner beberapa perusahaan kelap kakap di Indonesia dengan puluhan ribu karyawan. Usut punya usut perusahaan Om Heru telah go international sehingga ada cabang pula di sejumlah negara seperti Hongkong, Amerika, Jepang, Australia, bahkan Afrika.
“ Waiter!” Om Heru menjentikkan kedua jarinya. Pelayan pria yang ada di sudut kanan dekat kasir datang menghampiri.
“Satu nasi goreng balacan, satu ayam goreng kriuk, dan satu jus jeruk tanpa gula. Kamu pesan apa Jes?”
Suara Om Heru menggema, nadanya berat mirip penyiar televisi. Tapi penyiar laki-laki biasanya good looking dengan body yang indah menawan. Sedih rasanya Jessy terpaksa menemani makan om-om berduit demi uang.
“Mmmh.. pesanan saya sama aja mas,” kata Jessy. Lalu waiter mengulang lagi pesanannya sebelum berbalik ke dapur.
“Semester berapa kamu sekarang,Jes?” tanya Om Heru lagi.
“Baru semester 3, “ jawab Jessy sekenanya. Sambil membetulkan letak duduknya dan berusaha tersenyum.
Om Heru, Heru Hartono lengkapnya, bercerita panjang lebar soal bisnisnya. Dia cerita kalau istrinya lebih banyak menghabiskan waktu di Boston, Amerika Serikat, tempat dimana dua putranya kuliah. Om Heru merasa kesepian karena itu dia sering membayar lady escort untuk menemaninya makan atau jalan-jalan.
“Menemani makan aja,Om?” Jessy memberanikan diri bertanya. Diangkatnya wajahnya yang sedari tadi tertunduk, pura-pura melihat ponsel. Perlahan-lahan diberanikannya menatap mata sipit Om Heru, sama sekali tak terlihat lelaki bajingan. Tapi, ah… dalamnya laut bisa diduga namun dalam hati siapa tahu.
“Ya…tergantung mereka Jess. Om kan gak pernah memaksa cewek,”jawabnya ringan. Pembicaraan mereka terpotong sejenak tatkala waiter datang membawakan minuman dan makanan yang dipesan.
“Maksudnya apa,Om?” sambil menyendokkan ayam ke dalam mulut.
“ Cewek itu ada yang Cuma nemenin aja tapi yang minta lebih , ya jadi pacar Om.”
Deg
Deg
“Maksud jadi pacar om-om itu apa ? Jangan-jangan…,” Jessy berusaha menepis pikiran buruknya.
Seketika badannya panas dingin, muka Jessy merah seperti kepiting rebus. Seakan semua pengunjung rumah makan memperhatikan mereka, om-om tua dan gadis muda,
“Alangkah malunya!” jerit Jessy dalam hati.
“Kamu kenapa Jess? Itu hal biasa di ibukota. Para model, artis, selebgram, om banyak kenal . Mereka butuh biaya banyak untuk penampilan, yang rata-rata disupport para gadun,” timpal Om Heru lagi.
Jessy hanya melongo dan mengangguk pura-pura paham. Sudah lama Jessy hanya mendengar teman-teman sosialitanya punya gadun. Mereka bisa hidup enak, punya barang-barang branded, bisa party dan keluar negeri kapan aja. Tapi kini seorang gadun benar-benar duduk di hadapannya, tanpa perlu mencari.
“Kapan-kapan kalau Om ajak lagi, Jessy mau? “ Om Heru berkata sambil menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat.
Om Heru berlalu dan pamit karena ada meeting di kantor.
Tak sabar,Jessy membuka amplop pemberian Om Heru di toilet mall.
“Astaga! Lima juta rupiah!”
Sebegitu mudah Om Heru mengeluarkan uang hanya untuk menemaninya makan siang.
Jessy jadi ingat Bang Danu, ditelponnya mantan manajernya sewaktu SMA itu dengan ponsel.
“Sore Bang. Jessy nih.”
“Oh iya sore juga. Lu lagi dimana ?” tanya Bang Danu dari seberang sana.
“Di Sency,bang. Lagi jalan-jalan,” jawab Jessy.
“ Sama siapa?”
“Sendirian aja.”
“Gak balik rumah mama lu? Ih… dah lama lho abang gak ketemu mama lu.”
“Abang ingat aja sama mama.”
“Iya, kan mama yang dulu selalu anterin lu kalau syuting.”
“Ngomong-ngomong. Sinetron stripping yang abang tawarin ke Jessy, judulnya apa bang?”
“Cinta Anak Kampus. Lu jadi sahabatnya pemain utama. Gausah casting, sutradara udah pernah liat akting lu dulu. Ayolah!”
“Mmmhh…kira-kira ada kontrak berapa bulan,Bang? Jessy kan masih kuliah, gak boleh ijin sering-sering juga.”
“Ya..lu pilihlah mana yang lebih penting. Kalau lu oke, ambil cuti aja di kampus. Kontraknya kira-kira 8 bulan.”
“Duh…mama pasti ngomel. Bagi mama jadi sarjana itu lebih utama,” batin Jessy.
“Baik,Bang. Beri waktu Jessy buat mikir ya. Nanti Jessy kabarin lagi.”
Dilihatnya status Instagram Jessy di Sency, kebetulan Rio juga di tempat yang sama.
“Aku abis disuruh mama nih, ke tempat laundry tas. Kamu dimana? Yuk ketemuan.”
“Aku di lantai 4 Kak. Di Gramedia, lagi baca buku.”
“Oke, aku ke sana. Tunggu ya! Jangan kemana-mana pokoknya.”
Jessy membolak-balikkan majalah wanita yang terletak di rak paling atas.
“Barangkali ada audisi cover majalah. Hadiahnya kan lumayan,”bisiknya dalam hati.
“Hai Jess!” tiba-tiba sosok Rio muncul di hadapannya dengan senyum lebar.
“Ngapain aja kamu sendirian ke sini?”
“Cuma cari-cari majalah.Kak. Biar gak bosen di kos,” jawab Jessy sekenanya. Ia tak ingin tahu kalau dirinya habis ketemu Om Heru, seorang gadun karena takut dicap macam-macam.
“Kita cari tempat yang enak buat ngobrol yuk! Minum di Starbuck.”
Andai Kak Rio tahu Jessy udah kembung dari tadi.
“Kamu masih kerja.Jess?”
“Masih Kak, freelance aja.”
“Aku juga sama Jess. Sejak pandemi, kapal papa banyak yang merugi. Adikku masih kuliah di Singapore, mau gak mau, aku buka sate taichan. Cuma warung tenda, tapi ada lima titik di Jakarta ini. Hasilnya lumayanlah.”
“Iya, bagus kok,Kak.”
“Iiih..kenapa dah jawaban kamu gitu aja,” Kak Rio manyun seketika.
“Abisnya aku mesti jawab apa dong?”
“Jawabnya pakai senyum yang paling manis. Btw kapan nih kamu mau terima kakak jadi pacar kamu?”
Pertanyaan Kak Rio membuat Jessy kaget. “ Kita temenan dulu , Kak”.
“Selalu jawaban kamu, itu-itu aja. Kak Rio kan udah tua nih bentar lagi lulus. Apa kata orang nanti kalau kakak wisuda tanpa pendamping?”
“Jadi…Kakak mau kalau Jessy yang jadi pendampingnya?”
Kak Rio mengangguk kesenangan.
“Kalau cuma jadi pendamping apa susahnya coba?”
“Ya… gak sekedar pendamping. Mau dikenalin juga sama camer. Hahahahah…” Kak Rio tergelak. Jessy memukulnya pelan.
“Pokoknya hari ini pulangnya harus dianterin Kak Rio. Janji.”
Jessy terbelalak. “ Gak bisa maksa dong”
“Pokoknya kali ini aja,please!” paksa Rio.
Sesampainya di basement Jessy berpaling dan hendak kabur, namun Rio buru-buru menggendongnya sampai mobil.
“Lepasin…lepasin…Kak Rio jahat!” teriak Jessy.
Kak Rio mengunci mobil dan melaju ke arah Pantai Mutiara. Jessy pasrah sambil terus manyun.
Sebuah gerbang besar dibuka, tampaklah seorang pembantu berseragam membukakan pintu.
“Eh…Den Rio, ditunggu bapak di dalam. Katanya ada yang perlu dibicarakan.”
“Iya,Bi.”
Di ruang tengah tampak papa Rio tampak duduk di atas kursi roda dengan seorang care giver di belakangnya. Papa terkena stroke sejak tahun lalu, sedangkan mama selalu pulang malam karena harus menjaga toko rotinya.
“Pa..kenalin ini Jessy, pacar Rio.”
“Aduh..Kak Rio sedemikian lancangnya, padahal kami belum pacarana,”batin Jessy dengan muka merah padam menahan malu.
“Hai,Om. Salam kenal.”
“Iy..duduk,” jawab papa Rio dengan suara pelo, bibirnya cuma bergerak sebelah akibat stroke.
Halaman rumah Rio cukup besar, dan di bagian belakang ada dermaga pribadi lengkap dengan sebuah yacht.
“Wow…indahnya,” desis Jessy dalam hati. Bibirnya membentuk huruf O saking takjub. Tak disangka Kak Rio yang demikian sederhana dan mengaku hanya jualan sate taichan ternyata anak orang kaya.
“ Yuk sore ini kita jalan-jalan naik yacht. Kang Marmun udah nungguin kita,” kata Rio sambil menunjuk seorang abang bertopi lebar.
Rio membantu Jessy naik ke atas yacht. Di atas yacht tersedia sofa kecil berbentuk L dan sebuah meja berisi minuman dan aneka snack. Diperhatikannya gadis itu dari samping. Rio tampak sangat menikmati keindahan di depan matanya. Seorang gadis cantik berhidung mancung dengan rambut terurai panjang hingga sepinggang.
“Jess, aku mau kasih kejutan kecil buat kamu,” kata Rio.
“Oh ya, kejutan apa?” Jessy menatap Rio penuh tanda tanya.
Rio mengeluarkan tangannya yang sedari tadi disembunyikan di belakang punggung.
“Tadaaaa…..”
“Wow. Mengapa Kak Rio repot-repot ngasih cincin ini buat Jessy? Kita kan cuma teman.”
“Jangan berlebihan,Kak. Jessy takut bikin kecewa.”
“Gak akan,Jes. Aku tulus kok sayang kamu apa adanya. Ini bukti cintaku padamu,” lanjut Rio sambil mengenakan cincin bermata berlian di jari manis Jessy.
“ Aku suka bentuknya, tapi aku takut mengecewakan kakak. Jessy belum siap menerima cinta kakak.”
“Kamu bisa belajar mencintai aku, Jess. Cinta tanpa syarat.”
“Makasi,Kak. Atas cincinnya, juga atas cinta tanpa syaratnya.”
Tanpa sadar Jessy memeluk Kak Rio saking bahagianya karena Kak Rio tak memaksakan keinginannya.
Ada sesuatu yang menjalar ketika Jessy memeluk Kak Rio, rasa nyaman dan hangat . Kak Rio mengusap-usap kepala Jessy layaknya anak kecil.
“Ingin rasanya berpelukan selamanya,” batin Rio. Jessy melepas pelukannya dengan muka sedikit memerah menahan malu. Rio malah cengar-cengir kesenangan.
“Pemandangan matahari terbenam memang bagus kan,Jes?”
“Iya,Kak.” Kata Jessy sambil berjalan menuju haluan .
Direntangkannya tangan Jessy seperti yang dia lihat di film Titanic. Semilir angin laut membuai rambut panjang Jessy berayun-ayun layaknya deburan ombak di lautan biru. Rio memeluknya dari belakang dan Jessy pun tak menolaknya. Dipeluknya erat-erat gadis impiannya, diciumnya tengkuk gadis itu . Jessy merasakan kenikmatan yang belum pernah dia rasakan dengan mantan-mantan pacar sebelumnya. Ada sesuatu yang bergelora dalam dada.
“Apakah aku mulai mencintai Kak Rio?” tanya Jessy dalam hati.
Di tengah kebahagiaannya bersama Kak Rio, terselip pula kegundahannya memikirkan tawaran syuting sinetron dan tawaran dari Om Heru.

Komentar Buku (74)

  • avatar
    sigatok

    ceritanya bagus , disini aku banyak belajar tentang hidup dan kasih sayang orang terdekat yang mungkin kadang aku anggap hal sepeleh tapi disini ngajarin kalo orang terdekat lah yang membantu buat bangkit lagi , semangat thor bikin cerita baru nya ,😁😁😁

    21/12/2021

      1
  • avatar
    Bang Engky

    goooo

    9h

      0
  • avatar
    AnandaRizki

    👍👍👍👍👍

    10/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru