logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Fall In Love With Bodyguard

Fall In Love With Bodyguard

Rara Aprilia


Bab 1 Keakraban Aletta dan Zulfa

Aletta Putri Wiratama, usianya kini sudah menginjak 23 tahun. Wanita modis itu sekarang tengah berada di kamar mewahnya. Bersama dengan satu pelayannya, namanya Zulfa perempuan paruh baya itu sering dipanggil Bibi oleh Aletta. Dia sudah merawat Letta sejak bayi, perempuan itu bisa ditaksir usianya sudah mencapai 46 tahun. 
Zulfa tersenyum saat mengamati tingkah anak majikannya itu, perempuan itu tidak menyangka, Aletta kini telah tumbuh menjadi wanita yang cantik dan periang. 
Tiba-tiba saja terlintas dalam ingatannya bayangan akan kejadian 23 tahun silam. Saat tuannya mencari seseorang yang dapat merawat si mungil Aletta, di rumah yang ditempati tuannya waktu dulu. Rumah itu tentunya, tidak semegah dan sebagus sekarang. Sebab, Panji baru saja berkecimpung di dunia bisnis.
Zulfa yang saat itu usianya setara dengan usia Aletta sekarang ini. Langsung berangkat dari kampung ke kota untuk melamar kerja atas saran dari sahabat karibnya yang menemukan lowongan dari surat kabar, sahabatnya yang bernama Asih tahu bahwa Zulfa sedang memerlukan pekerjaan. Setelah perempuan itu memutuskan berhenti dari pekerjaan lamanya.
Zulfa memberanikan diri pergi ke kota seorang diri, berbekal do'a dari Ibunya dan usaha semampunya.
Zulfa mendatangi kediaman Panji Permana dan mengutarakan niatnya.
"Saya Zulfa tuan, kedatangan saya ke sini untuk melamar pekerjaan menjadi baby sitter di sini. Ini berkas-berkas yang tuan inginkan. Saya hanya tamatan SMA tuan," ucap perempuan itu menyerahkan berkas tanpa menatap Panji sedikit pun.
Panji mengamati berkas yang diserahkan Zulfa.
"Usiamu sekarang berapa Zulfa?" tanya lelaki itu masih menatap lembaran kertas yang ada di depannya.
"23 tahun tuan," sahutnya. Zulfa hanya menunduk, menatap lantai keramik. Tidak berani melihat wajah pria asing di hadapannya.
"Oh, pernah punya pengalaman sebelumnya merawat bayi? Lalu, apakah kamu tidak merasa kesulitan jika merawat bayi?" tanya lelaki itu secara detail.
"Dulunya saya pernah bekerja menjadi penjaga bayi setelah lulus sekolah. Tentu tidak, saya sangat suka bayi," sambungnya. Kemudian Zulfa menengadah menatap tuannya. Perempuan manis itu antusias sekali jika membahas tentang bayi. Pipinya tiba-tiba saja berubah menjadi merah merona saat menatap wajah lelaki itu. 
"Sangat tampan," pikirnya. "Tapi sayangnya dia sudah memiliki anak. Pastinya juga sudah memiliki istri," lirihnya. Kemudian, Zulfa tersadar dari pikirannya yang melanglang buana membuatnya merasa aneh sendiri. "Apa-apaan sih aku ini," batinnya.
"Baiklah Zulfa kamu diterima di keluarga ini, mulai sekarang kamu bisa bekerja di sini dan merawat Aletta bayiku. Patut kamu ketahui Ibu Aletta sudah meninggal sesaat setelah Aletta hadir ke dunia. Saya harap kamu bisa menjaga dan merawat anak saya seperti anakmu sendiri. Jujur, saya tidak dapat menemani Aletta setiap saat. pekerjaan saya sangat banyak," tutur lelaki manis berusia 30 tahun itu.
"Baik tuan saya mengerti." Zulfa menganggukan kepala.
"Kamu tak perlu khawatir, di sini tidak hanya kita bertiga saja. Tapi juga ada mbok Marni, asisten rumah tangga yang juga tinggal di sini. Kamu tinggal panggil dia jika masih bingung atau butuh bantuan," jelas pria itu lagi. 
"Baik," sahut Zulfa sopan.
"Oh iya, saya akan menguji kamu selama satu bulan. Jika kinerja kamu bagus. Saya akan naikkan gaji kamu." 
Zulfa hanya mengangguk. Tanda mengerti.
"Mbok Marni, Mbok Marni," teriak Panji tapi masih terlihat sopan. Suaranya tidak terlalu tinggi.
Seorang wanita kira-kira usianya 50 tahun datang menghampiri Zulfa dan Panji.
"Iya tuan, ada apa?" sahutnya.
"Mbok tolong antarkan Zulfa ke kamar Aletta ya, ajarkan dia semua yang sudah saya perintah tadi." 
"Baik tuan. Ayo ikut dengan saya, Zulfa." Tak lupa mbok Marni tersenyum pada tuannya dan mengucapkan kata permisi.
Kemudian perempuan paruh baya itu pun merangkul Zulfa dengan hangat menuju kamar bayi Aletta.
"Nak Zulfa, ini kamar nona Aletta. Sebentar." Mbok Marni kumudian melangkahkan kakinya menuju tempat tidur khusus bayi. Setelah itu menuju ke arah Zulfa. Zulfa melihat perempuan sepuh itu menggedong seorang bayi.
"Gendonglah," pinta Mbok Marni menyerahkan bayi berkulit putih itu kepada Zulfa.
Zulfa mengangguk. Perempuan cantik itu tersenyum setelah melihat bayi Aletta yang lucu dan manis, dan sejak saat itulah ia jatuh hati pada bayi perempuan itu, ia berjanji akan merawat dan menjaga bayi itu sepenuh jiwa dan raganya.
Lalu, 23 tahun kemudian janji itu telah terbukti. Aletta yang mungil. Sekarang sudah tumbuh menjadi sosok gadis yang manis dan baik hati. Walaupun sifat manja dan kekanak-kanakannya masih belumlah hilang.
"Bi Zulfa!" teriak Aletta. Bibir gadis itu terlihat manyun saat diabaikan oleh Zulfa.
"Oh iya Non. Ada apa?" Lamunan Zulfa seketika buyar setelah Aletta memanggil namanya.
"Bibi sedang melamun ya, dari tadi Aletta ngomong tapi gak ditanggepin." Gadis itu menatap bibinya dengan kesal. 
"Maaf Non." Zulfa hanya tersenyum melihat Aletta yang merengut.
"Bi Zulfa tahu gak. Dari tadi aku sedang bicara mengenai rencana pertemuanku dengan Ayah malam ini. Sudah satu bulan kami gak ketemu. Rasanya... aku sangat rindu dengannya. Maka dari itu aku ingin terlihat sempurna Bi, di depannya. Bi Zulfa mengerti 'kan?" cerocos Aletta tanpa jeda.
"Mengerti Non. Pasti tuan juga merindukan Non balik," ucap Zulfa tersenyum kepada Aletta.
"Tentu, Ayah juga sangat merindukanku," ucap gadis itu dengan percaya dirinya. "Oh iya, sudah sering aku katakan berapa kali, jangan panggil embel-embel Non di depan namaku Bi. Aku nggak suka Bi, cukup nama saja." 
"Tapi Non-"
"Hush! Bibi nggak boleh ngebantah, Ini perintah!" sela gadis cantik itu mengarahkan telunjuknya ke bibir merah Zulfa. Tampak manis seperti anak kecil. Wanita itu hanya megangguk tanda mengerti.
"Tolong bi, bantu aku memilih dress yang akan digunakan nanti malam," pinta Aletta. Ia tampak asik memilah-milih beberapa dress yang tergantung rapi di lemarinya. 
"Baik Letta, yang ini  sangat cocok untuk gadis manis seperti kamu." Satu dress berwarna navy diraih oleh tangan Zulfa dengan lembutnya.
Aletta tak langsung mengiyakan pilihan Zulfa. Gadis itu menaruh jari telunjuknya ke arah dagunya.
"Hem, bagus sih. Tapi menurutku nggak sesuai dengan keinginan Bi." Aletta memang anaknya agak sedikit cerewet dalam urusan passion.
"Lalu, Aletta maunya seperti yang mana nak?" tanya Zulfa bingung. Ia tidak tahu seperti apa selera anak muda jaman sekarang . Ditambah Zulfa tak terlalu paham passion.
"Ah, begini saja temani aku pergi ke butik sore ini ya bi!" Semangat 45 ditunjukkannya di depan Zulfa. Gigi ratanya tersusun indah saat ia menampakkannya.
"Emm, baik kalau begitu. Nanti sore bibi temenin ya." Zulfa tidak ingin menolak permintaan putri tuannya yang sudah ia anggap sebagai anak itu. Zulfa takut Aletta akan kecewa. Perempuan itu paham bagaimana sifat gadis itu. Anak itu akan menjadi murung dan sedih jika permintaanya tak dituruti.
Tiba-tiba saja, derap langkah kaki seseorang mendekati daun pintu, membuat Aletta dan Zulfa berhenti melakukan aktifitasnya, dan benar saja, seseorang dari luar mengetuk pintu kamar Aletta.
"Permisi Non. Ini saya Bagas. Boleh saya masuk sebentar," ucap lelaki yang bernama Bagas itu. Dia adalah salah satu pekerja di rumah ini.
"Oh iya, Bagas silahkan masuk!" seru Aletta dari dalam. Lelaki itu kemudian membuka pintu dengan hati-hati.
Dilihat Aletta, lelaki bertubuh tinggi kisaran 175cm itu, tampak tertunduk. Ia tidak berani menatap wajah cantik Aletta. Padahal, lelaki itu selama ini menaruh hati pada anak majikannya itu. Namun, ia menembunyikannya tidak pantas pikirnya bersanding dengan anak majikannya sendiri. Jadilah ia seperti punduk merindukan bulan,  Tak akan mampu ia menggapai gadis cantik itu. 
"Angkatlah wajahmu Bagas!" titah Aletta. Gadis itu memang bukanlah putri seorang raja. Tapi dengan kekayaan yang Ayahnya miliki. Ia bagaikan putri dari anak seorang raja.
"Baik non." Bagas mengangkat wajahnya. Senyumnya yang manis membuat semua wanita pasti akan terpikat. Tapi, tidak dengan seorang Aletta.
"Ada apakah gerangan kau menemuiku?" Lagak Aletta yang sudah seperti tuan putri. Membuat Zulfa sulit menahan tawanya. "Dasar anak ini," pikirnya.
''Begini-'' Baru saja pria itu ingin bicara. Aletta sudah menahannya.
"Kebetulan di sini ada Bibi Zulfa. Sebaiknya kamu bicara saja sama dia. Aku gak mau terlalu ambil pusing dengan urusan-urusan apapun," potong Aletta dengan cepat. Gadis itu sepertinya sedang mengerjai Bagas.
"Tapi Non," ucap Bagas.
"Sudahlah! Turuti saja perintahku," ucap gadis itu kepada Bagas.
"Bi nanti saja kita lanjutin masalah tadi. Aku mau beristirahat dulu. Karena nanti malam aku mau terlihat segar di depan Ayah." Aletta menatap Zulfa dengan bersemangat.
Zulfa yang mengerti maksud dari Aletta melangkah menuju pintu.
"Ya sudah, Bibi keluar dulu," pamit Zulfa. Diirngi derap Langkah kaki Bagas di belakangnya. Lelaki itu memang sangat menghormati Zulfa yang sudah sepuh di sini.
"Apa yang ingin kamu bicarakan Bagas?" tanya Zulfa setelah keluar dari kamar Aletta. Perempuan itu berhenti melangkah dan berbalik ke hadapan Bagas yang berada di belakangnya.
"Tuan bilang… ia ingin bicara melalui sambungan telepon dengan putrinya, tapi… karena takut Nona Aletta kecewa. Tuan menyuruh saya untuk mengatakan. Bahwa, Tuan tidak bisa menghadiri acara makan malamnya dengan nona Aletta. Ada sesuatu yang sulit ditinggalkan beliau," sahut Bagas. Lelaki manis itu memang salah satu tangan kanan Panji sama seperti Zulfa. Walau Bagas terkesan sangat muda.
"Hemmm!" Zulfa mendengus kasar. "Bagaimana bisa Panji gak bilang terlebih dulu denganku," ucap Zulfa. Perempuan itu tampaknya sudah membayangkan bagaimana perasaan Aletta jika pertemuannya dan Ayahnya akan gagal."
"Tuan bilang, nomor bibi gak aktif," sahut Bagas lagi.
Zulfa kemudian memasukkan tangannya ke kantong bajunya. Lalu mengeluarkan gawai dengan merk ternama.
"Hem, pantas saja nggak aktif. Bateraiku habis," gerutunya. "Ya sudah Bagas kembali saja ke kerjaanmu. Aku juga ingin ke kamar untuk mencharger ponsel. Ingin segera menghubungi Panji."
Bagas hanya menganguk dan berlalu pergi dari hadapan Zulfa.
'Ini semua karena terlalu asik seharian dengan Aletta. Aku jadi lupa urusan yang lainnya. Bahkan, dalam hal sepele seperti mencharger ponsel,' gerutu Zulfa melangkah menuju kamarnya yang tidak jauh dari kamar Aletta.

Komentar Buku (91)

  • avatar
    Momz Brio

    bagus cerita nya

    22/07

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus ceritanya gk muter2👍

    29/04

      0
  • avatar
    Ade Priatna

    terimakasih

    17/06/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru