logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 8 Darkness Eyes

“When you’re dreaming with a broken heart,
The waking up is the hardest part.”
#anonym
Aku berusaha, sangat berusaha memakai kembali topeng angkuhku pada mereka. Berjalan tertatih melewati mereka yang terus menawarkan bantuan dengan wajah khawatir. Dimi menyentuh lenganku, aku menolak sentuhannya dan tetap melangkah pergi. Aku takut melihatnya, aku takut ia mendapati diriku menangis tersiksa dan tak terima dengan kenyataan yang baru saja kulihat.
Kak Juno dan Dimi…
Aku kira mereka hanya berteman biasa, aku kira Dimi tidak memiliki rasa cinta padanya, aku kira Kak Juno tidak mungkin menyatakan perasaannya secepat itu. Tapi kenapa? Aku yang lebih dulu mengenalnya, aku yang lebih dahulu bersamanya, aku yang… perhatian padanya lebih dari siapapun di Dunia ini. Tapi kenapa?
Setelah kurasa jauh dari tempat kejadian, aku memilih duduk di taman seorang diri. Memeriksa luka kaki di lututku yang berdarah dan kotor karena tanah, pelan-pelan kubersihkan tanah yang menempel di kaki dan sekitar luka sambil meringis menahan sakit. Pulang dari asrama Dimi pasti menemuiku, menanyakan keadaanku dan kenapa aku bisa berada di atap rumah orang yang tengah berpesta. Aku pasti sudah gila karena tidak punya alasan menjawabnya.
“Aduh, sakit sekali…” kucium lututku dan membiarkan setetes air mata bergulir melewati pipiku. Tidak boleh menangis.
Aku tidak boleh menangis. Kuhapus air mata dengan punggung tanganku dengan wajah mengeras. Aku harus membuat hidup ini berjalan baik. Lagipula mereka hanya berpacaran, lalu kenapa? Sebelum Kak Juno memiliki pasangan aku juga telah sering bergonta ganti pacar. Kini giliran Kak Juno masa aku tidak bisa menerimanya.
Kami hanya butuh lebih banyak waktu lagi. Aku pasti bisa…
Kupejamkan mata, kembali mengingat ciuman di pipi Dimi yang membuatku sangat terkejut hingga terpeleset dan jatuh tepat di depan mereka. Kugelengkan kepala kuat-kuat, berusaha membuang jauh-jauh memori itu dan kembali mengumpulkan kepercayaan diri.
Merasa perlu membersihkan luka, aku menghampiri keran air yang tersedia di sudut taman. Kubersihkan kakiku perlahan dan membasuh sekitar luka dengan hati-hati. Namun tidak jauh dari tempatku berada, terdengar suara seseorang yang tengah berteriak.
“WHY?!!” terdorong rasa penasaran, aku mendekati asal suara. Menembus pepohon yang membatasi taman dengan danau. Dalam kegelapan, aku seperti diperlihatkan sisi lain seseorang.
“WHY YOU ACCEPT HIM?!! WHY!!” suaranya melengking dan penuh rasa sakit. Ia berteriak sambil melempar kerikil sejauh mungkin ke danau.
“Kenapa aku tidak diberi kesempatan…” ia berlutut, lelah dengan teriakan yang sia-sia. Sepertinya bukan hanya aku yang malam ini patah hati.
Ia mengambil sebuah kerikil lagi, mengenggamnya kuat-kuat lalu melemparkannya dengan keras. “AKU JUGA INGIN BERSAMAMU, DIMI!!!”
Lututku lemas mendengar teriakan terakhirnya. Ia mencintai Dimi…
Laki-laki dengan tinggi di atas rata-rata dan berbadan tegap itu berbalik, memperlihatkan wajah sebenarnya padaku yang diam-diam bersembunyi. Matanya tajam, rambut pendeknya acak-acakan dan wajah itu… teringat jelas dalam kepalaku,
Dia adalah orang yang pernah mengantar Dimi pulang ke asrama.
***
Esoknya aku berlagak tidak terjadi apa-apa, memilih mengurung diri di kamar sambil menyibukkan diri berkutat dengan tugas-tugas kuliah yang seharusnya kukerjakan semester depan. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda Dimi megunjungi kamarku, dalam hati aku bersyukur aku bukanlah teman satu kamarnya.
Sore hari ketika aku bersiap pergi ke rapat para asisten dosen. Zia, teman sekamarku baru saja pulang dari kampus. Dengan wajah lelah yang dibuat-buat ia melempar diri ke tempat tidur dan berlagak mengantuk.
“Mau ke kampus, Dit?” tanyanya sambil meraih selimut tebal di bawah kakinya untuk langsung bersembunyi di dalamnya.
Aku menoleh heran. Selalu saja, seperti ada yang ia sembunyikan. Kuteruskan menghias diri, menghiraukan kecurigaan spontanku. “Iya, ada rapat seluruh Asisten dosen nanti.”
“Wow, pulangnya kapan?”
“Mungkin malam. Tidak usah menyisakan makanan untukku ya, aku akan makan malam di luar sepertinya.” Aku terus mematut diri di cermin, memastikan tidak ada yang kurang dari penampilanku. Rambut panjangku tersisir rapi, riasan yang menegaskan sisi eleganku dan pakaian yang sedikit konservative membuatku terlihat lebih dewasa dari usiaku yang sebenarnya. Aku jadi membandingkan gaya Dimi yang selalu natural, manis walau tampak sederhana dan biasa. Mungkin itu yang membuat Kak Juno jatuh hati.
Apa aku perlu mengubah penampilanku seperti Dimi? Dengan wajah murung aku mulai mempertanyakan aura pesonaku. “Zi, aku…udah nggak cantik lagi ya?”
Zia segera bangun, menunjukkan wajah gusarnya padaku. “Ya ampun Diata! You’re the most beautiful person that I ever seen. Please deh, nggak usah berlebihan. Kan leader kita Stepani udah mengurutkan cewek cantik di antara kita berlima. Kamu di posisi pertama, si imut Mina kedua, Stepani ketiga, aku keempat dan Dimi kelima.”
“Dimi kelima? Apa nggak kebalik urutannya?” aku kembali menyisir rambut, menyembunyikan kekesalanku yang tiba-tiba muncul. Bagaimana bisa Dimi yang tingkat kecantikannya di bawahku bisa disukai Kak Juno? Bukan Kak Juno saja malah, laki-laki menyeramkan malam itu juga berteriak seperti orang gila mencintai gadis seceroboh Dimi, how can be?
“Kalo nggak percaya, tanyain satu-satu penghuni kampus di sini siapa yang paling cantik. you’ll be know. Oh ya, ngomong soal Dimi. Tadi pagi dia nanyain kamu, kayaknya dia khawatir gitu deh. Memang kemarin malam kamu kenapa?”
“Tidak.” spontan aku menjawab. “Benar-benar tidak apa-apa.” Tambahku, segera.
Zia mengerutkan kening, heran dengan sikapku. Tapi karena aku biasa bicara dan bertindak hal yang membingungkan membuat si cerewet Zia sama sekali tidak curiga. “Aku harus pergi.” Ucapku akhirnya, bergegas keluar asrama dengan perasaan yang berubah tak menentu.
***
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul delapan malam, tapi sampai saat ini aku masih belum mau pulang ke asrama. Detak jantungku terus memberi alarm bahwa Dimi masih menanti penjelasanku atas insiden kemarin malam. Pulang ke asrama berarti telah siap dengan pengakuan yang masuk akal, dan payahnya otakku belum bisa diajak kerja sama.
Aku berjalan mengitari taman dekat asrama, memperhatikan dari luar gedung yang tampak bercahaya karena lampu-lampu kamar mahasiswi yang menyala. Kubiarkan hembusan angin malam menerpa wajahku, hawa dinginnya tidak membuatku bergidik ataupun merapatkan blazer yang kupakai.
“Diata, let me introduce my first assistant, Juno. You can ask to Juno if something you don’t understand with this work.” Ingatanku kembali pada pertemuan pertamaku pada Kak Juno. Mengingatkanku betapa terpesonanya aku dulu ketika Mr.Lee memperkenalkan asisten sebelumnya yang begitu ramah, berwibawa dan memiliki kharisma yang membuatku berjanji mengukir nama Juno sebagai suami impianku.
Tapi sayang hubungan kami tidak pernah lebih dari sekedar pertemanan antara senior dengan junior. Spontan kupejamkan mata, berusaha menghapus ingatan tentangnya.

Komentar Buku (50)

  • avatar
    JatiTaruna Muda

    keren bngt cerita nyaa banyak bnyak ya bikin cerita yng lbih kren lgii

    7d

      0
  • avatar
    Kimochi

    bahus

    27d

      0
  • avatar
    BotOrang

    aku suka crita in aku kash bintang 5

    21/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru