logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Milion's Friend

“Pan, rame banget….” Dimi mengelak turun ketika aku sudah selesai memarkirkan mobilku. Sekilas melihat riasan wajahku yang takut heboh di kaca spion mobil, aku bergerak setengah memutari mobil dan segera membukakan pintu untuknya. Mendapati Dimi yang masih meringkuk tak mau keluar.
“Oh, gitu ya. Kalau kamu nggak mau turun, persahabatan kita cukup sampai di sini aja .”
Refleks Dimi berdiri, merapikan rok belakangnya dan menggandengku sambil tersenyum manis. “Ayo kita masuk.”
Dimi memang bukanlah anak party, bisa dibilang ia termasuk anak rumahan. Ia punya otak yang lumayan dan sangat patuh pada aturan. Ia sudah menjadi teman sekamarku sejak semester satu dan sebagai teman ia sangat perhatian. Terkadang bersamanya aku seperti berada dekat dengan ibu, ia selalu mendengarkan curhatanku dengan baik dan menasehatiku jika kesalahan bodoh kulakukan. Sometimes I feel she look more mature than me, but sometimes I feel she’s childish like this one.
“Wow…” Dimi bergumam kagum, aku kembali memperhatikan keadaan sekitar. Sebuah taman kawasan perumahan elite dibuat sedemikian rupa hingga begitu indah. Hiasan kerlap-kerlip lampion di atasnya, panggung mini yang sedang menampilkan penyanyi jazz dengan sexophone-nya, puluhan kursi luxury yang melingkari beberapa meja dan pegunjung dengan penampilan high class yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Beberapa pasangan melirik ke arah kami dan tersenyum kecil, aku mengira karena penampilan Dimi yang mencolok. Namun setelah kuperhatikan sejenak, Dimi tampak cantik dengan blazzer hitamnya dan rok hijau selutut yang serasi dengan green flat shoes pinjaman Diata. Tidak ada yang aneh…
“Mereka melirik kita karena kamu yang terlihat biasa,Pan.” Dimi setengah berbisik padaku, menyadarkan bahwa akulah pusat perhatian mereka.
Setelah puluhan penampilan kucoba, aku memang akhirnya memilih kaos dipadu jeans jacket, celana jeans yang kini sudah tidak bolong dan tak lupa sepatu sneaker. Yup, that’s right. Sekarang aku lebih pantas ke kampus daripada ke pesta.
“Tidak apa, itu kan gayamu. Kau tetap sangat cantik dengan riasan wajahmu.” Ucap Dimi, mengembalikan kepercayaan diriku yang hampir hilang.
“That’s my friend! Stepanie!!” suara orang memanggil terdengar dari atas, aku mendongak dan melihat Milion sedang bersama teman-temannya di balkon sebuah rumah minimalis. Seperti ada dua pesta, di taman dan di rumah, aku dan Dimi perlahan berjalan menaiki tangga menuju balkon.
Musik terdengar begitu meriah di sini. Aku seperti berada di tempat hiburan malam ketika menghampiri Milion yang sedang tertawa bebas bersama wanita-wanita cantik yang mengelilinginya.
“Pani, duduklah di tempat itu. I’ll be right there in one minute.” Aku menurut dan duduk di kursi melingkar bersama Dimi yang raut wajahnya mulai khawatir.
“Aku mencium bau alkohol.” Suara Dimi terdengar tidak suka.
“Aku tahu.”
“Aku juga mencium bau rokok.”
“Tutup hidung sajalah, kita kesini hanya sebentar kok.”
“Aduh Pan, suara tawa wanita disini membuatku bergidik ngeri…”
“Ya, aku juga.” Seorang pemuda tampan duduk di hadapan kami, menyodorkan dua gelas minuman berwarna merah terang. Kemudian ia kembali bicara, tampak tidak peduli dengan ekspresi bingung kami. “Wanita yang masuk di anggota perkumpulan kurasa harus disaring lagi, banyak yang tidak memenuhi kriteria. Kalian tau maksudku kan?”
Aku mengerutkan kening namun Dimi malah mengangguk bersemangat. “Ya, benar sekali.” Dimi menengok ke kiri dan kanan dengan sikap prihatin. “Semua wanita disini seperti memakai topeng.”
Pemuda itu mencondongkan tubuh, lebih mendekat ke arah kami. “Oh my…Kalian sangat…cantik.” aku tersenyum maklum melihatnya tidak benar-benar memuji kami, karena pandangannya terfokus dan melekat pada sosok Dimi yang juga menatapnya tanpa ekspresi.
“Hei Girls, menunggu lama? Sorry, aku ingin memperkenalkan teman-temanku pada kalian. Oh man! kau mencuri start rupanya.” Milion kembali datang membawa sekitar dua orang pemuda yang tampak sama tampannya dengan karakter wajah yang berbeda. Mereka duduk sambil ber-high five dengan pemuda yang tadi.
“Aku baru intermezo guys, belum memperkenalkan diri.”
“Oke, guys. Kenalin, ini Stepani dan…”
“Dimi.” Ucap Dimi, memaklumi Milion yang tidak mengenalnya.
“Dan Dimi.” Kembali lagi Milion mengeluarkan senyum mempesonanya pada Dimi, namun gadis itu tampak tidak terpengaruh sama sekali. Ia masih memperhatikan pemuda di sekelilingnya dengan penuh antipati.
“Yo, Barry!” seorang pemuda berwajah chubby, berkulit paling pucat dan kekanakan mengulurkan tangannya dengan wajah bersahabat.
Seorang lagi hanya menaikkan tangan kanannya, menyapa kami. “Devan.” Aku tertegun sejenak melihat penampilannya. Perpaduan antara manly and soft. Ia memiliki paras wajah yang hampir dibilang cantik, tubuhnya tinggi dan ramping, warna kulitnya kuning langsat dengan jari-jari tangan yang lentik, sorot matanya teduh dengan bibir tipis yang sempurna. Kalau saja ia tidak memiliki suara khas laki-laki dan postur tubuh yang sedikit terbentuk, mungkin aku akan mengiranya sebagai wanita.
“Dan aku, Juno. Senang bertemu dengan kalian.” Pemuda yang pertama kali duduk itu melemparkan senyum wibawanya, terlihat yang paling ramah setelah pemuda bernama Barry.
“Oh ya, dimana Zia?” tanya Milion melihat rekanku berubah.
“Ia tidak bisa ikut karena harus pulang malam ini, tapi dia sempat nitip salam untukmu.”
“Sayang sekali, padahal ini akan jadi malam yang menyenangkan.” Ia tersenyum, terlalu manis bagiku untuk tidak membalas senyumnya.
Entah kenapa perasaan senang menyelimuti hati ini
Tidak terasa sudah dua jam lebih kami bercengkrama dengan Kak Juno, Barry, dan Kak Devan. Seperti biasa, aku cepat akrab dengan orang baru sedangkan Dimi berusaha menyesuaikan diri walau terlihat gugup dan senang. Sedikit cerita, Kak Juno adalah senior kami semester enam jurusan HI, ia sama dengan Kak Devan yang memilih mengambil teknik desain. Barry setingkat dengan kami, dengan penuh semangat bercerita tentang fakultas seni musik yang ia pilih. Dari gaya bicara dan penampilan mereka dapat kusimpulkan mereka juga kaum borjunis. Banyak orang kaya dan orang baru kaya di sekitar kami, namun mereka berbeda. Tingkat high class-nya begitu jelas terlihat.
Kecurigaanku terhadap perkumpulan ini pun hilang. Tidak ada drugs atau hal negatif lainnya, mereka hanya young rich people yang suka mengadakan acara walau momentnya tidaklah penting. Aku mendongakkan kepala, memandang langit malam yang sempurna.
“Sebentar ya, aku mau menjamu tamu baruku.” Milion hendak undur diri dan tampak sangat senang melihat seorang wanita cantik memasuki area balkon.
“Hai, Michele!”
Aku menoleh dan tampak sebal melihatnya merangkul mesra tamu yang harus kuakui luar biasa cantik itu.
“Jangan jatuh cinta padanya.” gumam Kak Devan, yang paling pendiam di antara kami. Matanya seperti menerawang memikirkan sesuatu.
“Ya, berteman saja dengannya dan jangan sampai lebih dari itu.” Kak Juno juga seperti bicara sambil lalu, ia sibuk memakan cake mini bersama Dimi yang kukenal selalu lapar.
“Kok? Aku juga tidak menginginkan lebih.” Merasa dipojokkan aku mencoba membela.
“Hanya mengingatkan. Milion memang sangat baik pada semua wanita, tapi jika salah mengartikan ia bisa jadi laki-laki paling jahat se-Dunia.” Barry menambahkan, seakan mereka semua tahu aku tengah terperangkap dalam pesona cassanovanya.
“Baiklah, terima kasih. Aku akan hati-hati.”
Kak Juno mengangguk, melahap satu cake mini berwarna pink kemudia bertanya pada Kak Devan dan Barry. “Apa dia masih mengurung diri?”
“Ya, dia bilang butuh istirahat seharian ini.”
“Biarkan saja, Elfreim tidak bisa dipaksa. Ia mungkin butuh beberapa hari untuk menyesuaikan diri di tempat setenang ini.”
“Yup, dan untuk seterusnya bisa dipastikan ia tidak akan menyesal telah kembali bersama kita di sini.” Mereka bertiga tertawa. Aku yang tidak mengerti arah pembicaraan mereka hanya diam saja, terus merasa sebal pada sikap ramah Milion tanpa alasan yang jelas.
Sekitar jam sebelas kami memutuskan pulang. Dimi berjalan dengan riangnya sambil sesekali menendang kerikil kecil yang menghalangi jalan. Melihatnya bahagia aku jadi ikut tersenyum sendiri. Dengan kekanakannya, Dimi memutar tubuh dan tampak terkejut seperti melihat sesuatu. Aku mengikuti arah pandangnya dan hampir berteriak karena takut.
Tidak jauh dari kami, masih disekitar taman yang telah sepi. Seorang laki-laki bertubuh tinggi berbalut jaket hitam tengah bersandar di bawah lampu taman sambil memandangi kami. Wajahnya tampak samar, tapi bisa kulihat sorotan tajam matanya yang seperti mengawasi kami. Dengan melangkah perlahan, jantung berdegup kencang dan bergerak hati-hati kami berhasil masuk ke dalam mobil dan segera ku setir mobil dengan kecepatan di atas biasanya. Laki-laki itu memang tidak mengikuti kami, namun tatapannya pada kami membuat berbagai pikiran negatif bermunculan di kepalaku.
Siapa dia?
***

Komentar Buku (50)

  • avatar
    JatiTaruna Muda

    keren bngt cerita nyaa banyak bnyak ya bikin cerita yng lbih kren lgii

    7d

      0
  • avatar
    Kimochi

    bahus

    27d

      0
  • avatar
    BotOrang

    aku suka crita in aku kash bintang 5

    21/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru