logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Milion's Party

“Pan, kayaknya kamu harus ikut deh.” Suara Zia menyadarkanku pada keadaan dimana aku berada. Ya, aku tengah duduk di aula asrama putri bersama puluhan teman asrama yang sedang asik menikmati makan malam. Aku menunduk melihat makananku sendiri, terlihat belum tersentuh sama sekali.
“Semangka, Pan.” Teman sekamarku Dimi, menyodorkan sepotong semangka sambil mulutnya tidak henti mengunyah semangka miliknya. Ia berpindah duduk kesebelahku, lalu memandangiku heran.
“Lagi diet?”
Seperti tersengat listrik aku mencoba bersikap seperti biasa. “Nggak lah, ini mau makan. Tapi habisin sup-nya dulu.” Aku memegang potongan semangka pemberian Dimi, menaruhnya lebih dekat ke arahku sambil tak lupa tersenyum.
Aku menggelengkan kepala perlahan, merasa aneh dengan diriku sendiri. Beberapa hari ini aku selalu memikirkan insiden cafetaria. Undangan dadakan, wanita yang disingkirkan dan sikap Milion yang tahu banyak tentangku. Aku melamun memikirkan apa yang terjadi bila aku datang ke pestanya dan membuatnya terpesona, atau tidak datang karena takut undangan itu hanyalah jebakan. Eh, sebentar…
“Bagaimana kalau Milion hanya mengundang kita untuk dijadikan bahan tertawaan teman-temannya? atau… ia taruhan agar kita datang ke pesta dan dikerjai, bisa saja kan??” pikiran buruk melintas dibenakku dengan beberapa adegan yang berbeda setiap detik, walau pada intinya tetaplah sama. Milion ingin menjebakku!
“Jadi itu yang kamu pikirkan daritadi?” di sudut meja tempatku makan, si cantik Diata mengomentari, ia terus melahap makanan sehatnya salad tanpa melihatku.
“Aku..aku…” baru kali ini aku tampak salah tingkah di depan teman dekatku. Ziah, Dimi, Diata dan Mina yang saat ini sedang memandangku dengan mata kucingnya yang imut.
“Memang nggak wajar sih, cowok exclusive kayak Milion ngundang kamu yang notabene baru kenal sehari, ke acara perkumpulan rahasia mereka.” Komentar Dimi, mencoba menelaah masalah yang kuhadapi. Ia berpikir sejenak, lalu kemudian mulai melanjutkan. “Tapi buat kamu yang populer dan lumayan berpengaruh sama politik kampus, sepertinya wajar dia ngundang. Lagipula dengar dari cerita Zia, Milion itu baik kok. Nggak kayak kamu yang selalu cerita keburukan dia.”
Aku menoleh dengan raut wajah sebal pada Dimi. “Sebenarnya kamu mau bilang wajar atau nggak sih?”
“He..he…dua-duanya.”
“Pan, nggak usah galau deh. Zia tahu kamu mau ikut, tapi kepikiran sama track record buruk-nya dia terus kan? Udah deh, skip aja pikiran itu. Sangat tidak baik kalau kita menolak pertemanan orang lain.”
“Kalau Stepani mau dijadikan korban cintanya yang kesekian gimana?” Mina menyipitkan mata, tampak curiga.
“Berdasarkan tipe wanita yang selalu ia pacari, Stepani sepertinya tidak masuk hitungan.” Dimi menambahkan, “Kamu terlalu aktif, tomboy dan sedikit autis.” Aku melotot mendengarnya, Awas saja jika tiba di kamar nanti.
“Dimi benar, kalaupun benar Milion mendekatimu untuk ia pacari, kemungkinan besar kamu hanya dijadikan barang taruhan.” Diata meneguk air mineralnya dengan anggun, lalu merapikan piring kotornya dengan satu tangan lalu berdiri.
“Aku duluan, girls.”
Perkataan Diata begitu membekas di benakku. Seperti yang ku khawatirkan di awal, ini hanyalah permainan mereka. Aku harus lebih dulu mencuri start sebelum terjebak.
Yah… kita lihat saja nanti
***
Hari menjelang sore ketika aku menelurusi koridor fakultas seni, tidak banyak mahasiswa yang datang hari ini. Semua ruangan yang kulewati kosong, hanya ada beberapa mahasiswa yang terlihat duduk santai dan serius berdiskusi.
Sebenarnya aku tidak mau menginjakkan kaki ke tempat ini kalau tidak dipaksa Ketua BEM menemui Milion. Ya, dia. Cassanova yang ingin kutolak undangannya. Seperti takdir, Faisal sang ketua menginginkanku menginterogasi aktivitas anggota perkumpulan. Karena aktivitas para kaum borjunis itu terlihat rahasia, banyak rumor mengatakan mereka memiliki kegiatan negatif seperti pergaulan bebas sampai narkoba. Aku sih tidak begitu peduli, tapi sebagai organisasi tertinggi kampus kami perlu mengetahui yang sebenarnya sedangkan para anggota perkumpulan sama sekali tidak mengacuhkan kecurigaan kami.
Jadi, disinilah aku. Berjalan menemui Milion dengan merubah niatan. Aku harus menghadiri undangan pestanya for the real news. Namun, semakin aku mendekati ruangan musik, semakin terdengar dentingan piano dan suara yang begitu merdu dan… romantis.
“~ Girl let me love you
And I will love you
Until you learn to love yourself ~”
“~ Girl let me love you
I know your trouble
Don't be afraid, girl let me help ~”
(Ne-Yo_Let Me Love You Until You Learn To Love Yourself)
Bagai manekin aku berdiri di ambang pintu, begitu terhipnotis dengan alunan musik yang ia mainkan. Laki-laki itu, sudah begitu mempesona dengan penampilannya yang selalu high class, tatanan rambut dan suaranya yang berat juga senyumnya yang mematikan. Apalagi jika ditambah ia bisa meng-aransemen musik seindah ini dengan suara yang terdengar begitu romantis, kurasa aku akan mati.
Ya, aku hampir mati… untuk bernafaspun terasa sangat sulit
“Masuklah, aku tidak akan menggigit.”
Malu sekali melihatnya menyadari keberadaanku yang terpesona setengah mati padanya. Ia tersenyum, terlihat begitu bangga. Aku berusaha mengumpulkan kepercayaan diri dan berjalan seangkuh mungkin ke arahnya.
“Aku sudah tahu Pani akan bicara apa.” Ia sedikit mendongak, memperlihatkan mata coklatnya yang sempurna. “Salah satu anak BEM tadi kesini, menginginkan informasi tentang aktivitas anggota perkumpulan. Aku sudah bicara yang sebenarnya, kalau kami cuma perkumpulan anak muda biasa yang jauh dari narkoba, tapi sepertinya ia tidak percaya.”
“Aku percaya, maka dari itu aku kesini mau bilang kalau…”
“Tuut…Tuut…” suara handphone bergetar disusul lagu cozy ala jazz, membungkam mulutku bicara.
Milion segera mengangkat handphone-nya, berbicara bahasa asing dengan sangat cepat.
“He’s there? Ok, I’ll be right there. Ya, I know someday he understood what his mom wants to him. But, Nothing happen with him, right? Ok...” aku memperhatikannya mengakhiri pembicaraan dan tersenyum puas.
Ia kembali melihatku, lalu mengerutkan kening. “Sampai dimana kita tadi?”
***
“Pani, Zia nggak bisa ikut!” Zia seakan menjerit memberitahuku. Tanpa ketuk pintu terlebih dahulu ia mendobrak pintu kamarku dan memperlihatkan kekesalannya.
Mina yang sedang menjahit celana jeans belel-ku hampir tertusuk jarum karena terkejut mendengar teriakannya. “Memangnya kenapa?” tanyaku sambil terus mematut diri di depan cermin dengan puluhan baju yang coba kukenakan.
“Mom nelepon, katanya aku harus pulang malam ini.” Zia menjatuhkan diri di kasurku, duduk dengan wajah lemas.
“Ya udah pulang aja.” Ucap Diata yang baru selesai mandi, rambut panjangnya ia gerai dan kibaskan ala model shampoo. Ia menatap dirinya sekilas di cermin, memperlihatkan betapa berbedanya kami. Aku sedikit mengernyit melihat kecantikannya yang begitu alami.
“Tapi Pani gimana? Kamu nggak papa kan kesana sendiri?”
Kusisir rambut dengan gerak cepat, “Nggaklah! Kamu harus cari ganti partner-ku malam ini.”
“Min, temenin Stepani ya?” Zia mendekati Mina yang telah selesai menjahit dan memberikannya padaku, tak lupa kuucapkan terima kasih dan sedikit mencubit pipi chubby-nya. Kubiarkan Zia berusaha mencari pengganti dirinya.
“Mina ngantuk Zi, kemarin nggak bisa tidur nyenyak soalnya.”
Zia segera mengalihkan pandangannya pada Diata yang tengah mengeringkan rambut. “Di, bisa ikut nggak?”
“Malam ini banyak tugas yang harus kuselesaikan sebelum kuserahkan ke Mr.Lee. Remember, aku asisten dosen.”
Zia memutar bola mata mendengar kalimat terakhir Diata, aku jadi tertawa dalam hati. Zia mulai kembali mencari korban, Ia melirik Dimi yang bersandar di tempat tidurnya sambil menutupi wajah dengan novel yang ia baca, seperti tahu akan jadi sasaran selanjutnya.
“Dimi…” Zia menghampiri dengan suara merayu.
“Aku mau belajar, Zi.”
Zia menarik novel Dimi ke atas, memperlihatkan wajah Dimi yang masih malu-malu.
“Kan kamu udah pinter, nggak belajar semalaman nggak akan efek kok sama kecerdasan kamu.” Zia berusaha memuji, mencoba mencari celah.
“Aku juga ngantuk, sama kayak Mina.”
“Tapi kamu kan udah tidur siang tadi, Dim. Udahlah ikut yuk! cuma sebentar kok, aku mau tahu situasi sebenarnya di sana aja.” Akhirnya aku yang turun tangan, Zia ternyata tidak berbakat dalam urusan rayu-merayu.
“Tapi.. aku nggak punya baju yang cocok.”
“Aku pinjamkan.” Sahut Diata, mulai tak sabar.
“Aku juga…nggak bisa dandan.”
“Aku bisa, aku bantu.” Mina menyahut dengan wajah riang.
Tidak ada alasan lagi untuk mengelak kurasa.
***

Komentar Buku (50)

  • avatar
    JatiTaruna Muda

    keren bngt cerita nyaa banyak bnyak ya bikin cerita yng lbih kren lgii

    7d

      0
  • avatar
    Kimochi

    bahus

    28d

      0
  • avatar
    BotOrang

    aku suka crita in aku kash bintang 5

    21/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru