logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Penantian yang Berakhir Sia-sia

Aku melirik jam tanganku. Pukul 11.00 siang, ini sudah masuk jam makan siang. Aku merapihkan kertas-kertas yang berserakan di atas meja kerjaku, baru beberapa baju yang berhasil aku design. Aku memang seorang designer. Jika kalian berfikir aku adalah seorang designer terkenal, maka dengan jelas aku katakan tidak. Aku hanya seorang designer biasa, baru merintis karir designer sejak dua tahun lalu. Punya butik sendiri. Belum punya rumah sendiri dan masih tinggal bersama orangtua. Usia baru 23 tahun. Dan status masih single. Oke, yang terakhir abaikan saja.
Tok tok tok
“Masuk.”
“Mbak, ada pelanggan dibawah, katanya mau mesan baju pengantin.” Saras, salah satu pegawaiku melongokkan kepalanya masuk.
“Terus kenapa, Ras?” Kataku sambil terus merapihkan kertas yang masih berserakan di atas meja kerjaku.
Saras berjalan perlahan mendekatiku, “Em.. gini lho Mbak, pasangan calon pengantin itu cuma mau dilayanin sama Mbak.” Aku mengernyit. Memang siapa calon pasangan pengantin ini? Bukannya aku tidak mau melayani, aku mau-mau saja, tetapi saat ini aku memang sedang tidak bisa, aku sudah ada janji makan siang dengan Kahfi, temanku sejak empat tahun terakhir. Aku mengenalnya saat aku masih duduk dibangku kuliah.
“Sampaikan pada pelanggan kita kalau saat ini saya tidak bisa melayani mereka, sampaikan maaf saya juga untuk mereka. Kalau mereka bersedia, mereka bisa kembali besok, saya sendiri yang akan melayani mereka besok.” Saras mengangguk lalu menutup kembali pintu ruang kerjaku. Aku segera bersiap untuk menemui Kahfi yang sudah menungguku di basement. Basement terletak dibelakang butik, jadi aku tidak harus melewati pintu keluar utama butik, aku cukup melewati pintu belakang yang langsung menghubungkan butik dengan basement.
“Udah lama?” Kataku begitu sampai disamping Kahfi. Kahfi tersenyum melihatku, lalu menggelengkan kepalanya.
“Nggak terlalu lama. Aku masih punya banyak waktu kalua buat nunggu kamu.” Katanya sambil tersenyum. Aku tersenyum tipis membalasnya, meskipun mungkin senyumku terlihat seperti senyum paksaan. Kahfi membukakan pintu mobil untukku, aku memasukinya dan tak lama Kahfi pun duduk di kursi pengemudi.
Mobil sedan hitam milik Kahfi melaju memecah jalanan Kota Jakarta dan berhenti tepat di depan sebuah restaurant bergaya klasik yang menghidangkan makanan Prancis. Kahfi memang sangat menyukai makanan Prancis. Setiap kali makan siang bersama, Kahfi selalu membawaku ke restaurant-restaurant makanan Prancis, meskipun aku kurang suka dengan makanan Prancis, selain alasan makanannya yang sedikit, harga makanannya juga selangit. Makanan sedikit tapi harga selangit, menurutku itu tidak sebanding. Walaupun rasanya memang lezat, tapi makanan Indonesia jauh lebih lezat.
Saat tiba di restaurant, aku memilih duduk di depan Kahfi. Tangan Kahfi terangkat untuk memanggil pelayan dan memesankan makanan kami. Setelah pelayan pergi, Kahfi kembali menatapku.
“Hari ini pulang jam berapa?” Tanyanya, aku berfikir sebentar lalu menjawab “Nggak tahu, masih banyak design yang harus cepat selesai, mungkin pulang lebih sore dari biasanya.”
“Mau di jemput?” Aku menggeleng lalu tersenyum.
“Nggak usah, aku bawa mobil kok.” Aku dan Kahfi memang tidak pernah mengucapkan kata gue-elo. Pada awal pertemanan kami, aku dan Kahfi sempat menggunakan kata gue-elo disetiap percakapan, tapi selang beberapa minggu, Kahfi memintaku untuk tidak lagi mengucapkan kata ‘Gue-elo’ di setiap percakapan kami. Katanya, biar lebih akrab.
Seorang pelayan datang membawakan makanan pesanan kami. Aku segera menyantap makananku dalam diam. Tidak ada yang bersuara lagi diantara kami, aku memang tidak berniat mengucapkan sepatah katapun saat sedang makan, kata Bunda:‘pamali’. Meskipun makan dalam diam terasa seperti sedang berada di kuburan. Sepi, sunyi. Kayak hati.
Aku sudah selesai dengan acara makanku, Kahfi juga sudah selesai. Kahfi kembali memanggil pelayan untuk membayar makanan kami. Setelah selesai, kami berjalan bersama menuju parkiran mobil.
Di dalam mobil, sesekali Kahfi bertanya tentang pekerjaanku. Kahfi memang mengetahui banyak tentangku. Dia juga dekat dengan keluargaku, terutama dengan Dimas, adikku. Yang tidak Kahfi ketahui hanya tentang dia. Dia yang sampai saat ini masih belum bisa aku lupakan sepenuhnya.
“Maaf nggak bisa antar kamu sampai ke dalam. Aku harus cepat sampai di kantor. Ada meeting mendadak.” Kahfi menatapku dengan wajah bersalahnya, aku tersenyum menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, lagipula aku sudah sampai di depan pintu gerbang butikku.
“Nggak apa-apa. Kamu jangan pasang tampang bersalah gitu dong. Kasian tahu, muka kamu kan udah jelek, nanti tambah jelek kalo kamu pasang tampang bersalah gitu.” Aku tertawa pelan, Kahfi ikut tertawa menimpali.
“Yaudah, aku duluan ya, kamu cepat masuk ke dalam.”
Aku mengangguk. “Iya, kamu hati-hati.” Ucapku dan Kahfi mengangguk lalu menutup kaca mobilnya.
Aku berjalan memasuki butik, sesampainya di lobby, aku melihat Saras yang berlari pelan menghampiriku.
“Mbaak Nara.. itu.. pelanggan yang tadi siang, mereka masih ada di butik. Saya udah kasih saran sama si mbak dan mas nya buat pulang dulu, tapi si mas nya tetap kekeuh mau nunggu mbak pulang, katanya kalau nunggu besok, kelamaan. Dan mungkin mereka sibuk juga, mbak” Ini sudah jam setengah dua siang, itu artinya pasangan calon pengantin itu sudah menungguku selama satu jam setengah?
Memang kapan acara pernikahannya dilaksanakan? Kenapa menunggu besok saja dibilang kelamaan? Spekulasi-spekulasi negatif mulai bermunculan di otak kecilku. Selama lima tahun menjalani bisnis ini, tak jarang aku menerima pasangan calon pengantin yang bermasalah. Bukan bermasalah dalam arti luas, tapi masalah yang muncul dari pria dan wanita sehingga membuat keduanya harus segera melangsungkan pernikahan.
Aku tidak membalas ucapan Saras dan segera berlari ke dalam butik. Mengenyahkan segala pikiran negatif tentang calon pengantin. Yang terpenting, aku harus segera menemui mereka dan meminta maaf karena telah membuat mereka menunggu lama.
“Maaf membuat kalian menunggu laaaa…ma.” Nafasku tercekat diujung tenggorokan. Suaraku seakan menghilang. Tubuhku menegang ditempat. Disana, didepanku, Arash berdiri dengan seorang wanita cantik yang sedang memegang lengan Arash posesif. Arash menatapku tanpa ekspresi, hanya aura dingin yang kurasakan.
“Ar, jadi ini designer yang kamu maksud? Teman kamu saat SMA dulu?” Suara lembut wanita itu mengalun indah ditelingaku, bahkan mungkin mengalun lebih indah lagi ditelinga Arash.
Arash tidak menjawab pertanyaannya, hanya mengangguk. Wajahnya masih tetap datar tanpa ekspresi. Nafasku kembali tercekat saat mengingat pikiran negatif tentang keduanya, Seketika itu mataku memandang perut rata wanita cantik yang tengah menggandeng lengan Arash. Disana, tidak mungkin, kan, ada… Entah kenapa, memikirkan itu membuat hatiku sesak. Ayolah Nara, ini sudah lima tahun berlalu. Masa kamu masih belum bisa juga mengendalikan perasaanmu? Arash bahkan sudah melupakanmu dan akan menikah dengan wanita ini.
Melodi mengulurkan tangannya, “Kenalin, aku Melodi.” Nada ceria tak pernah hilang dari suaranya. Namanya saja Melodi, sama seperti suaranya yang terdengar seperti sebuah melodi yang mengalun indah.
“Naraya Putri. Panggil saja Nara. Sebelumnya saya meminta maaf karena telah membuat kalian menunggu lama.” Aku menjabat tangannya sambil memaksakan sebuah senyuman.
“Jangan seformal itu. Lagian aku senang ada di sini, baju-bajunya bagus. Apa semuanya kamu sendiri yang desain?” Tanyanya antusias, aku hanya mengangguk. Kulihat kembali wajah Arash, auranya sudah tidak sedingin tadi. Tapi dia masih saja tidak mau menatapku. Apa kamu sebegitu bencinya padaku? Sampai-sampai menatap saja tidak mau. Kalau kamu benci dan tidak mau menatapku, lalu untuk apa kamu melakukan fitting baju dibutik milikku?
“Iya, semua baju di sini saya sendiri yang desain. Kalian ke sini untuk melakukan fitting baju, kan? Ayo, saya bantu pilihkan baju yang cocok untuk kalian.”
“Ya begitulah. Sebenarnya pernikahan kami masih tiga bulan lagi, tapi Ar memaksa melakukan fitting baju hari ini. Katanya yang punya butik ini teman SMA-nya dulu, dan Arash bilang semua baju desainan temannya itu bagus-bagus. Ternyata Ar benar, semua baju di sini bagus-bagus.” Aku tidak mendengarkan lagi ucapan Melodi, pikiranku melayang pada ucapan Melodi yang mengatakan bahwa pernikahannya tiga bulan lagi. Pernikahannya dengan Arash. Tiga bulan lagi. Dan setelah itu, semua penantian yang aku lakukan, akan berakhir sia-sia.
****
.
"Seharusnya aku tidak menanti, berharap kau akan kembali. Hanya saja hati menolak untuk berpaling, masih mendamba agar nanti dapat bersama kembali."
.

Komentar Buku (81)

  • avatar
    Ha KyoLee

    Dilanjut dong kak. Sayang banget kalau digantung. Padahal ceritanya seru, menarik banget dan sangat berbeda sama cerita lainnya😍😍😍. Tetap semangat ya kak buat ngelanjutin ceritanya💪💪💪.

    14/04/2022

      2
  • avatar
    syakirapro

    comel

    19h

      0
  • avatar
    KotongSas

    bagus banget ceritanya

    22d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru