logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

KEHADIRAN JESSICA

Hawa yang dibawa oleh Jessica memang berbeda. Gadis periang itu seakan membawa serta segala kehangatan ke desa yang dingin. Atma tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Jessica sejak pertama kali mereka bertemu, wajahnya begitu cantik dan memancarkan aura yang ceria. Kalau perempuan seperti Atma pun terbius akan kecantikan Jessica, apa lagi pria, Atma bisa mengerti kenapa Bhaga bisa jatuh hati kepada Jessica. Bukan hanya Bhaga, Bu Sona pun sudah begitu menyayanginya. Kalau tak ada halangan, minggu depan mereka akan menikah secara agama.
Sejak tiba di desa, Jessica tak bisa diam. Dia ingin melihat kebun teh, ingin melihat sawah, ingin melihat jembatan, ingin melihat air terjun, serasa dia datang bukan karena Pak Giring sedang sakit tapi untuk berlibur. Namun siapa yang bisa menghentikannya? Tak ada. Jiwanya bebas seperti seekor burung elang. Dan sejak kehadiran Jessica di rumah, Atma makin berjarak dengan Bhaga. Sebelumnya Bhaga yang menghindar, sekarang giliran Atma yang menghindar.
"Atma, tolong buatkan teh, ya," ucap Bhaga suatu hari.
"Ya." Atma menyahut pelan, tak menatap sama sekali.
"Atma, bisa tolong temani Jessica ke rumah sakit hari ini?" Bhaga bertanya pada esok harinya.
"Ya." Lagi-lagi Atma menyahut pelan, masih menghindar dari kontak mata.
"Kamu nggak apa-apa? Lagi ada masalah?" Bhaga bertanya kemudian, tak betah dengan sikap dingin Atma.
"Nggak ada, Mas. Aku baik-baik aja, emang kenapa?"
"Kamu kelihatan berbeda."
"Apanya yang berbeda? Aku kerja kurang cekatan? Terlalu banyak mengeluh? Atau ..."
"Atma, bukan itu maksud aku," sela Bhaga. "Maaf."
Percakapan mereka berakhir di sana.
***
Selama menemani Jessica di rumah sakit, Atma sekaligus mengambil pakaian-pakaian kotor untuk dibawa pulang dan dicuci. Pak Giring yang sudah siuman memegang lemah tangan Jessica di atas tubuhnya yang terbaring tak berdaya. Atma mau tak mau menguping obrolan mereka.
"Kalau ..., kalau kamu sudah menjadi istri ... istri Bhaga, hati Bapak tenang, Bapak akan mati dengan ..., tenang." Kalimat Pak Giring terputus-putus.
Secara tak sengaja pula mata Jessica bertemu dengan mata Atma. Kecanggungan Jessica bisa dirasakan oleh Atma. Dengan gugup, Jessica menarik tangannya perlahan, sepertinya dia sendiri pun tak siap untuk menerima tanggung jawab sebesar itu. Sebelum pulang, Jessica meminta sedikit waktu untuk duduk dulu di sebuah warung makan. Di sana, untuk pertama kalinya Atma melihat Jessica merokok.
"Aku nggak tau kalau Mbak Jess perokok." Atma membuka suara setelah agak lama mereka diam membeku.
"Sekali-sekali aja, kalau lagi pusing. Jangan bilang Bhaga ya, apa lagi bilang ibu sama bapak!" Jessica mengembuskan kepulan asap rokok ke udara.
"Emang pusing kenapa, Mbak?" selidik Atma.
"Ya ..., nikah tiba-tiba, kalau kamu jadi aku, emang kamu nggak pusing?"
Atma mengangguk pelan. "Pasti pusing sih, Mbak. Tapi juga terharu, bapak begitu sayang sama Mbak, sampai mempercayakan Mas Bhaga kepada Mbak. Apa yang lebih berharga dari itu?"
"Jangan anggap enteng, amanah itu berat nanggungnya!"
"Iya, Mbak, aku paham, kok."
Habis setengah batang diisap, Jessica memadamkan bara rokoknya di asbak. "Jadi, kamu mau ikut ujian paket C? Mau sekolah lagi?" Diubahnya topik pembicaraan.
"Mbak tau dari mana? Mas Bhaga yang minta sih, katanya biar aku bisa dapat kerja yang lebih baik nanti."
"Kamu serius mau? Mau jadi apa? Udah mikirin?"
Kepala Atma menggeleng pelan. "Ribet amat, udah ..., nikah aja!" Jessica tertawa kecil.
Atma diam, tidak menyahut lagi perkataan Jessica yang terdengar bernada mengejek. Saat pulang ke rumah, Jessica langsung mengecup Bhaga dengan lembut.
"Kamu kayak bau rokok." Bhaga berkomentar singkat, namun Jessica melengos ke kamar begitu saja.
Sesaat Bhaga beradu pandang dengan Atma, tapi Atma dengan cepat menghindar. Tak ada obrolan di antara mereka. Malam-malam pun menjadi begitu dingin bagi Atma. Mengetahui bahwa Jessica tidur di kamar yang sama dengan Bhaga, membuatnya tak bisa terpejam tiap malam. Dirinya tak tahu bahwa Bhaga pun sebenarnya tak bisa tidur nyenyak lagi, dan kerap menghindar tidur bersama Jessica. Dengan alasan rindu kepada Pak Giring, seringkali Bhaga pindah ke kamar Pak Giring untuk tidur di tengah malam, meninggalkan Jessica sendiri di kamarnya.
***
Meski sudah beberapa hari Jessica di rumah, Bu Sona belum sempat melayaninya selayaknya tamu. Sebagai sambutan untuk Jessica, Bu Sona menyembelih seekor ayam kampung terbaik dari seorang peternak di desa. Malam itu mereka makan bersama tanpa Pak Giring yang masih dirawat di rumah sakit. Sebetulnya ada alasan lain kenapa Bu Sona mengajak seisi rumah untuk makan malam bersama, yaitu untuk mengumumkan sesuatu.
"Bukan cuma Bhaga dan Jessica yang akan menikah minggu depan ..." Bu Sona memulai kalimatnya.
Mata Bhaga langsung menatap ibunya dengan lekat. Menunggu kelanjutan.
"Tapi ada juga lamaran untuk Atma," lanjut Bu Sona yang sontak mengejutkan semua orang, terlebih Bhaga. Mungkin hanya Jessica yang terlihat lebih santai.
"Oya? wah, pucuk dicinta, ulam tiba. Akhirnya ada juga lamaran yang datang buat Atma. Siapa, Bu?" tanya Jessica penasaran.
"Dari Salman, anak kepala desa. Atma sudah kenal lama dengan dia. Ya kan, Ma?" Bu Sona menatap Atma lembut sepatutnya seorang ibu yang berbahagia untuk putrinya.
"Cowok yang penampilannya kayak penyanyi dangdut itu?" sambar Bhaga dengan suara yang terdengar sinis.
"Hush, kamu ini! Dia itu cakep loh, baik lagi anaknya!" Bu Sona memukul pelan lengan Bhaga.
Atma sejak tadi cuma menunduk, makan dengan pelan, tak bicara, tak melawan. Sementara Bhaga terus memandanginya, berharap ada satu kata yang keluar dari mulut Atma, sebuah penolakan, atau protes, atau apa saja. Kenapa Atma hanya pasrah dengan nasib yang ditentukan untuknya? Bhaga menggerutu dalam hati. Tak tahan dengan sikap diam Atma, terpaksa Bhaga angkat bicara untuk mewakilinya.
"Gimana, Atma? Gimana menurut kamu? Kamu mau menikah? Kamu masih anak-anak."
Akhirnya mata mereka bertemu lagi setelah agak lama saling menghindar.
"Anak-anak apa maksud kamu, Bhaga? Ini di kampung, bukan di kota, cewek seumuran Atma di sekitar sini malah udah punya tiga anak, Atma termasuk terlambat menikah." Bu Sona tak sepakat dengan pendapat Bhaga.
"Ya, anggaplah begitu, terus gimana? Kamu mau?" Bhaga menatap lurus mata Atma, sendok di tangannya dia pegang dengan kuat.
Atma tergagap, tak tahu mesti berkata apa. Dilihatnya Bu Sona yang menunggu dengan cemas, lalu beralih kepada Jessica yang tetap tampak datar-datar saja. Jantung Atma berdebar kencang. Bhaga sendiri akan segera menikah, apa alasan dia untuk menolak? Bila dia menolak, Salman mungkin akan menggila, cepat atau lambat, dia akan jatuh juga ke dalam cengkeraman Salman.
"Ya, aku terima lamarannya."
Saat itu juga Bhaga bangkit dari tempat duduknya. "Kamu udah selesai makan, Ga?" tanya Bu Sona.
"Aku mau ke pabrik teh, mengambil upah bulan ini."
Atma tak bisa melihat bagaimana ekspresi Bhaga saat itu.
"Kamu nggak ikut ke rumah sakit? Ibu sama Jessica mau ke rumah sakit habis ini." Bu Sona bertanya lagi.
"Nggak. Kalian aja yang pergi, pakai aja mobilnya, mungkin nanti aku mau ketemu sama temen-temen, mau nginap sekalian."
Bhaga menghilang begitu saja di balik pintu. Sebetulnya dia sedang lari, lari sebelum ada seseorang yang melihat air mata jatuh di pipinya.

Komentar Buku (138)

  • avatar
    a******5@gmail.com

    Cerita nya bagus banget.. sempat ikut meneteskan air mata..karena ikut larut dalam cerita nya .. ada bab bab yg terasa mengajak sy kembali kemasa lalu.. terus berkarya ya kak.. semangat..semoga sukses ..🙏

    21/12/2021

      3
  • avatar
    Cntaa

    bagus banget

    3d

      0
  • avatar
    DurahmanTurina

    Bagus sekali ceritanya

    03/09/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru