logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 10 Aku Bukan Wanita Murahan!

Hosh … hosh … hosh
Napas Aleya terengah-engah karena berlari dari tempat ia menumpahkan kekesalannya tadi. Dengan napas yang masih tersengal, ia berusaha membuka pagar besi rumahnya yang berwarna putih dengan tangan gemetar.
"Oh, ayolah! Kenapa ga bisa dibuka, sih!" Keluh Aleya berusaha membuka pagarnya.
Suara berisik dari luar, membuat Saraswati, sang mama segera beranjak dari meja jahitnya dan melihat gerangan yang terjadi. "Aleya!" teriak Mama dari teras rumahnya.
"Oh, Mama."
"Kamu lagi ngapain? Macam anak kecil aja." Ucap Mama yang melihat Aleya kesulitan membuka pagarnya.
"Eng-enggak apa-apa, Ma." Tak lama Aleya berhasil membuka pagarnya dan mengulas senyum kikuk pada sang mama.
"Kamu udah makan belum? Udah Mama siapkan di meja makan. Adik-adikmu sudah makan."
"Nanti saja, Ma. Aleya belum lapar."
"Al," Mama tiba-tiba menatap Aleya lekat sambil mengusap wajah ayu sang putri.
"Ada apa, Ma?"
"Ada yang harus Mama sampaikan padamu."
"Tentang?"
"Kondisi keluarga kita, keuangan kita, Sayang." Mama menatap Aleya sendu dan serasa ada genangan di kelopak mata sang mama.
"Maafkan Aleya, Ma. Sampai sekarang Aleya belum bisa buat Mama juga Kija dan Dinda bahagia. Aleya malu, Ma … ke mana ayah sebenarnya? Kenapa ayah tak bisa dihubungi sampai sekarang?" Aleya langsung memeluk sang mama yang terlanjur menangis di depan putrinya.
"Biarkan ayahmu bekerja mencari uang untuk keluarga kita, Sayang. Kita juga jangan merepotkan ayah dan selalu menghubunginya, biar ayah bekerja dengan tenang. Yang terpenting, kita juga harus berusaha untuk membantu ayah, ya."
Aleya terdiam. Wajahnya tertunduk mendengar ucapan sang mama dan tiba-tiba mama mendengar isak tangis putri tercinta yang semakin lama semakin kencang.
"A-Aleya, kamu kenapa? K-kenapa malah menangis?" tanya Mama memegang bahu putrinya.
"Kenapa Mama masih bisa memiliki pikiran seperti itu pada ayah? Sementara ayah tak pernah berkabar pada kita. Kenapa Mama bisa sangat tegar menghadapi sikap ayah yang tak lagi peduli pada kita? Kenapa Ma … kenapa?" Aleya tak lagi dapat menutupi kesal dan amarahnya.
Mama langsung memeluk Aleya erat. "Sayang, jika Mama terlihat lemah di hadapan kalian, Mama takut kalian akan semakin terpuruk. Biarlah Mama yang menjadi tameng kalian asal kalian bisa melanjutkan hidup dan bahagia."
"Tidak! Itu tak adil! Kami bahagia, Mama juga harus bahagia! Aleya janji, Ma Aleya akan bahagiakan Mama. Aleya pasti akan menemukan ayah yang selama ini tak lagi peduli pada kita!" tegas Aleya.
"Aleya …," Mama hanya menatap putrinya lekat sambil tersenyum dan memeluk sekali lagi dengan erat. "Mama bangga pada kalian. Kalian semua malaikat Mama, kalian semua sayap Mama."
****
"Della … Della … Della!" suara lantang Syam memenuhi rumahnya yang besar di kawasan elit ibu kota. Derap langkah sepatu pantofel milik sang ayah begitu terdengar nyaring memenuhi ruangan di rumah itu.
"Ayah, kenapa teriak-teriak?" tanya Tia, istri Syam menyambangi dirinya yang tampak emosi.
"Mana anakmu? Panggil dia ke sini!" perintah Syam sembari melempar tasnya ke sofa coklat gelap di ruang tamu.
"Sabar, Ayah. Tenang dulu, aku buatkan kopi, ya." Senyum sang istri sambil memegang bahu suaminya.
"Kopi … kopi … kopi lagi … kopi lagi! Tahukah kau bagaimana aku hampir tersedak karena minum kopi yang membuatku ingin muntah, hah! Sekarang cepat panggil anak itu ke sini! CEPAT!" Sentak Syam pada istrinya dan langsung bergegas menuju kamar putri mereka.
Suara ketukan pintu yang terus-menerus membuat Della yang sedang santai di kamarnya seraya mendengarkan musik melalui gawainya terusik dan membuka pintu kamarnya sembari kesal.
"Ada apa, sih Ma? Ga tau lagi enak-enak denger musik, apa!" kesal Della.
"Udah, jangan banyak ngomong! Ayah sedang mencari kamu itu! Cepat sana turun, jangan sampai membuat ayahmu tambah marah!" perintah Mama.
"Hhh, apa lagi sekarang? Belum selesai juga apa soal yang tadi?" gerutu Della dengan ekspresi malas.
"Soal yang tadi? Emangnya ada apa, Della?" tanya Mama penasaran.
"Della! Della!" teriak Syam.
"Nanti ajalah, Ma Della ceritain. Sekarang mau menghadap 'Yang Mulia Diraja Syam' dulu." Seringai Della dengan santainya bergegas menghampiri sang ayah.
"Ada apa, Ayah? Mau memarahiku lagi seperti di sekolah?" tanya Della duduk di sofa dengan santainya.
"Anak ini! Apa kamu mau buat Ayah malu, hah? Apa kamu mau lihat keluarga kita jatuh miskin karena sikap konyolmu tadi!'
"Halah, Ayah kan bisa tutup pake duit sama orang-orang yang kaya gitu! Biasanya kan Ayah selalu begitu, jangan sok alim, deh, Yah." Ucap Della memainkan bola matanya seakan tak menghormati Syam yang sedang bicara.
"DELLA! APA BEGINI CARAMU BICARA PADA AYAH, HAH! APA MAUMU? KENAPA SETELAH KAU KULIAH, SIKAPMU SEPERTI BERANDALAN, HAH!" suara keras dan sentakan memenuhi ruang tamu rumah besar itu.
"Hah …," Della menarik napas panjang dan melihat sang ayah.
"Apa Ayah sudah selesai atau masih ada lagi yang ingin dibicarakan?" tanya Della dengan malas.
"KAU!" Syam hampir saja kelepasan ingin menampar putrinya. "Masuk kamarmu! Ayah melarangmu keluar dari rumah ini selama seminggu!"
"Tanggung amat seminggu, Yah. Kenapa ga selamanya biar balik lagi kaya Siti Nurbaya!" Seloroh Della langsung bangun dari duduknya dan menuju kamarnya.
"Della …," panggil Mama ketika ia melewati sang Mama.
Tak digubris, Della langsung membanting pintu kamarnya. "Ada apa dengan anak itu?" tanya lirih Tia.
"Ayah, apa ada masalah di sekolah? Kenapa Della mengatakan 'soal sekolah'?" tanya Tia menghampiri Syam yang sedang duduk menenangkan diri dan men-stabilkan emosinya.
"Jangan tanya apa pun dulu! Kepalaku rasanya mau pecah!" Ucap Syam memijat keningnya.
Sementara itu, di kamar Della menangis terisak dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal. Mata sembab dan hidung memerah karena tangisan yang tiada berakhir terlihat jelas di wajah wanita manis ini. Dirinya kemudian bangun dari pembaringannya dan menatap ke cermin meja rias yang berukuran tak terlalu besar.
'Aku membencimu, Ayah! Aku benci!'
****
Keesokan harinya, Aleya telah berpakaian rapi layaknya pekerja kantoran. Setelan blazer warna hitam di padukan dengan short skirt warna senada kemeja warna putih, serta heels yang tingginya tak lebih dari 5cm.
"Aleya, kamu mau ke mana, Sayang? Pagi-pagi sudah rapi dan cantik?" tanya Mama yang sibuk menyiapkan bekal Kija dan menyuapi Dinda.
"Aleya akan mencari kerja, Ma. Semoga saja Aleya bisa segera mendapat pekerjaan yang layak." Senyumnya.
"Semoga, Sayang. Mama selalu doakan yang terbaik buat Aleya."
"Kija, Kakak antar kamu ke sekolah, ya." Tawar Aleya sambil mengulas senyum.
"Ga apa-apa, Kak Kija berangkat sendiri aja. Kan katanya Kakak mau cari kerja. Nanti telat, lho," ucap sang adik polos.
Aleya hanya tersenyum, "Enggak, Kakak ga akan telat. Kakak antar, ya."
Kija mengangguk. Seutas senyum yang terulas di wajah Aleya hanyalah sebuah tirai untuk menutupi kesedihan yang sedang ia rasakan. 'Tanda maaf' yang diberikan oleh Syam padanya ternyata adalah sebuah penghinaan dan pelecehan terhadap dirinya. Dengan tekad bulat dan kuat, dia memberanikan diri untuk berhadapan langsung dengan orang yang telah memberikan 'tanda maaf' itu padanya. Sepanjang jalan menuju sekolah sang adik, Aleya terus mengumpulkan kekuatan agar tak ragu menghadapi pria seperti Syam! Dengan terus mengepalkan tangannya, Aleya menguatkan dirinya agar tak gentar dan mundur sedikit pun.
Dan kini, langkah Aleya telah berhenti pada tujuan utamanya, sekolah Kija. Dengan langkah mantap Aleya mengikuti sang adik hingga masuk ke dalam sekolah. "Kakak ikut ke dalam juga?" tanya Kija tiba-tiba.
"Kakak hanya ingin memastikan Kija baik-baik saja." Kilah Aleya menyelasar tiap sudut ruangan.
'Hmm, mobil orang itu belum datang. Berarti waktuku tepat memberi shock theraphy padanya!' gumam Aleya tanpa sadar dia telah berada di depan ruang kelas sang adik.
"Baik-baik, ya Kija. Kakak mau cari kerja dulu. Nanti Kakak jemput." Ucap Aleya mengelus rambut sang adik lembut.
"Huum, Kakak hati-hati, ya."
Aleya mengangguk dan tersenyum. Tak lama ketika ia hendak melangkah meninggalkan ruang kelas Kija, sang kepala sekolah telah tiba di tempat. Dengan langkah tegap dan pandangan tajam, Aleya menghampiri Syam yang baru saja turun dari mobil.
"Selamat pagi, Pak Syam."
"M-Mbak Aleya? Pagi-pagi sudah di sini?" tanya Syam seketika sumringah.
"Apa masalah buat Bapak saya datang ke sini pagi-pagi?" tanyanya sinis.
"Tidak. Ndak ada masalah, Mbak." Senyum Syam.
Aleya mengeluarkan amplop putih yang Syam berikan padanya.
"Bapak ingat ini?" tanya Aleya menunjukkan amplop dengan logo dan stempel sekolah miliknya.
"I-itu …," Syam membelalakkan matanya.
"Saya tanya, Bapak masih ingat ini?" tanya Aleya dingin.
Syam mengangguk. Tanpa diduga Aleya melemparkan amplop yang ia terima dari Syam dan membuat laki-laki paruh baya itu naik darah.
"MBAK ALEYA! DI MANA SOPAN SANTUN ANDA?" teriaknya langsung membuat ramai kerumunan.
Aleya hanya menyeringai melihat kerumunan yang langsung menghampiri mereka.
"Bapak ga takut jika semua orang di sini tahu apa isi amploo itu?" tanya Aleya seakan mengancam.
"A-apa maksud Mbak Aleya? Jangan memfitnah saya, ya!"
"Fitnah?" Aleya mengambil amplop yang jatuh itu ke tanah dan membuka isinya.
"Uang, kartu nama, dan … sebuah kunci."
Samar, Aleya mendengar para guru serta beberapa orang tua murid sekolah sedang berbisik-bisik. "Uang ini mungkin saya masih bisa terima, tapi kartu nama dan kunci ini … apa kalian tahu tulisan apa yang ada di kartu nama ini?"
Syam mulai panas dingin dan pucat.
"Sun Flower Hotel dan 113!" lantang Aleya bersuara.
"Hah? Ga nyangka, ya selama ini Kepala Sekolah di sekolah ini kaya gitu kelakuannya." Bisik sebagian dari kerumunan itu.
"M-Mbak Aleya, kita-kita bisa bicarakan ini baik-baik, kan?" Syam mulai berusaha melunak dan mendekati Aleya.
"Jangan sentuh saya dengan tangan kotor Anda, Tuan Syam! Saya memang miskin! Tapi saya bukan wanita MURAHAN! CAMKAN ITU!"
Prok
Prok
Prok
"Drama yang bagus di pagi hari!"
"A-Anda …!"

Komentar Buku (64)

  • avatar
    Adilah Syafiqah

    good lucky

    4d

      0
  • avatar
    AmaliaNurul

    kerenn sangatt

    23d

      0
  • avatar
    CaturMahmudah

    seru

    17/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru