logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 49 Kebingungan Farzan

Kening Farzan mengernyit ketika mendengar perkataan Brandon barusan. Dia melihat netra hitam sayu itu bergantian. Sang Kakak berada dalam kondisi sadar sekarang, tidak sedang mengigau. Apa yang dikatakannya, diucapkan secara sadar.
“Maksudnya gimana, Mas? Kok bisa Zizi yang selamatkan Mas?”
Brandon menarik napas berat, kemudian menggelengkan kepala. “Justru itu yang mau Mas tanyakan sama dia. Kenapa Nadzifa bisa ada di sana? Mana dia?” sahutnya berbohong.
“Mas yakin kalau wanita itu Nadzifa? Kata polisi yang lapor itu berkerudung, Mas.” Farzan masih belum percaya wanita tersebut adalah Nadzifa.
Pria yang sedang berbaring di ranjang pasien itu berdecak pelan. “Walau pakai kerudung tetap aja Mas bisa kenali dia, Zan. Emangnya ada yang berubah wajah setelah mengenakan kerudung?” ujar Brandon meyakinkan adiknya.
Mata Farzan menyipit melihat Brandon. Dia masih belum yakin bahwa gadis yang menolong kakaknya adalah Nadzifa. Terlalu janggal jika hal itu benar-benar terjadi.
“Udah telepon Nadzifa sekarang, kalau kamu nggak percaya. Mas juga mau ucapkan terima kasih,” suruh Brandon geregetan.
Farzan terdiam, tidak bisa melakukan apa yang diminta oleh kakaknya. Bagaimana bisa ia menghubungi Nadzifa, sedangkan chat dan teleponnya tidak mendapatkan respons dari gadis itu. Kepala pria itu menggeleng pelan.
“Maaf, Mas. Aku nggak bisa.”
Kali ini giliran Brandon yang bingung melihat ekspresi adiknya. “Lho kenapa?”
Pria itu menundukkan pandangan. “Ada kesalahpahaman antara aku dan Zizi, Mas. Satu minggu setelah Mas hilang, dia marah kemudian pergi. Sampai sekarang aku nggak bisa hubungi dia,” jelas Farzan apa adanya.
Brandon memandang sang Adik yang menunjukkan raut sedih. Terpancar penyesalan mendalam dari sorot mata elang Farzan sekarang.
“Pinjam handphone Iin, biar Mas yang telepon sendiri. Pasti dia mau datang ke sini,”titah Brandon mengerling ke arah pintu yang kini tertutup.
Farzan mengangguk singkat, sebelum bergerak ke luar menemui Arini. Dia berharap wanita yang menyelamatkan Brandon benar-benar Nadzifa, agar bisa bertemu lagi dengan gadis itu. Walau kehadirannya masih menyisakan tanda tanya besar.
“Gimana?” Arini langsung mengajukan pertanyaan begitu melihat Farzan muncul di sela pintu.
“Mas mau pinjam handphone.” Farzan tersenyum singkat.
“Buat apa?” Kedua alis Arini naik ke atas, karena Farzan tak perlu meminjam ponselnya jika ingin menghubungi seseorang.
“Mau telepon Zizi. Penting, Kak. Nanti aku ceritain ya.”
Arini memperlihatkan raut serupa dengan Farzan tadi. Begitu juga dengan El dan Bram. Mereka sama-sama bingung.
“Ya udah nih.” Arini menyerahkan ponselnya kepada Farzan. “Itu nggak pake sandi, takut kakak lupa.”
“Makasih ya, Kak,” ujar Farzan sebelum kembali ke ruangan.
“Zan,” panggil Arini membuat pria itu membalikkan tubuh menghadap kepadanya.
“Kenapa, Kak?”
“Kakak boleh masuk nggak?” Arini memberikan tatapan memelas tingkat bidadari. Dia berharap bisa berada di dekat Brandon lagi.
Farzan menggelengkan kepala. “Maaf, Kak. Sabar ya.”
Arini memberengut, terpaksa harus menyabarkan diri agar bisa menemu Brandon lagi di dalam.
“Aku masuk dulu ya, Kak, El,” pamit Farzan ke dalam ruangan lagi.
Dia juga heran dengan Brandon kenapa meminta Arini menunggu di luar ruangan terlebih dahulu. Padahal pria itu bisa bercerita tentang Nadzifa di dekat istrinya.
“Ini Mas.” Farzan menyerahkan ponsel kepada Brandon.
“Tolong bantu sambungkan, Zan. Trus nyalakan loudspeaker. Mas masih belum bisa banyak gerak, lemes.”
Farzan mengangguk singkat, kemudian menekan nomor ponsel Nadzifa yang sudah dihafal di luar kepala. Dalam hitungan detik terdengar nada sambung. Tak perlu menunggu lama, suara gadis itu sudah terdengar.
“Assalamualaikum, Kak Arini?” sapa Nadzifa dengan nada suara terkejut. Ternyata gadis itu menyimpan nomor ponsel Arini.
“Wa’alaikumsalam. Ini Mas Brandon, Nadzifa,” sahut Brandon berusaha mengubah posisi menjadi miring.
“Mas Brandon gimana kabarnya sekarang?” Nada suara Nadzifa terdengar cemas.
Farzan hanya mendengarkan percakapan kedua orang itu dengan saksama. Ada keanehan yang terasa saat Nadzifa tidak terkejut ketika mendapatkan telepon dari kakaknya. Apalagi gadis itu menanyakan kabar Brandon dengan menambahkan kata ‘sekarang’.
“Alhamdulillah Mas udah mendingan sekarang. Kalau kamu nggak datang bantuin mungkin Mas udah meninggal,” balas Brandon lesu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika Nadzifa datang terlambat.
Radar Farzan langsung naik, bersiap menangkap apa yang ingin dikatakan Nadzifa setelah ini.
“Maaf saya baru bisa cari jalan keluarnya sekarang, Mas. Harusnya saya udah lakukan minggu lalu, tapi nggak berani,” sesal gadis itu terdengar jelas dari nada bicaranya.
Brandon mengerling kepada Farzan dengan sebelah alis naik ke atas, seolah berkata; “Tuh gue bilangin lo nggak percaya.”
“Tapi Tante A—”
“Kamu lagi di mana sekarang, Nadzifa? Mas nggak lihat kamu lagi sejak tadi,” sela Brandon sebelum gadis itu menyelesaikan perkataannya.
Farzan menatap curiga dengan ekspresi yang ditunjukkan kakaknya sekarang. Seperti ada yang sedang ditutupi. Lagi pula dia benar-benar kebingungan. Ada banyak pertanyaan yang mengisi otaknya sekarang. Salah satunya bagaimana Nadzifa bisa tahu dengan keberadaan Brandon?
“Saya?” Nadzifa hening selama tiga detik sebelum meneruskan kalimatnya. “Saya lagi di lobi rumah sakit sekarang, Mas.”
Farzan tersentak mendengar jawaban gadis itu. Berarti benar perempuan berkerudung yang dilihat oleh Bramasta tadi adalah Nadzifa. Jantungnya berdegup dengan cepat. Dia harus pergi menemui Nadzifa sekarang.
“Sebentar, Mas,” bisik Farzan mengembangkan kelima jarinya. Dia menunjuk ke arah pintu ruangan dengan ibu jari.
Brandon mengangguk paham. Adiknya harus segera ke lobi rumah sakit untuk menemui Nadzifa. Tanpa mengulur waktu lagi, Farzan berlari ke luar ruangan.
“Kenapa, Dek?” Arini tampak cemas, takut terjadi apa-apa dengan Brandon.
“Kakak temani Mas dulu. Aku mau ke depan temui Nadzifa.” Tanpa menjelaskan lebih detail lagi dia langsung pergi dari sana, meninggalkan kebingungan di raut wajah Bramasta, El dan Arini.
“Ke mana, Zan?” teriak Bram penasaran.
“Menjemput masa depan gue, Bram. Hidup dan mati gue,” balas Farzan tanpa menoleh ke belakang.
Kaki panjang Farzan terus berlari menyusuri lorong rumah sakit, kemudian menuruni tangga sebelum tiba di lobi. Pandangan mata elangnya menyapu seluruh sisi lobi yang mulai lengang menjelang malam. Napasnya terengah karena berlari cepat.
Tilikan matanya berhenti ketika melihat gadis mengenakan baju tunik panjang hingga dua centimeter di atas lutut, dipadu dengan celana jeans. Kerudung segi empat bermotif bunga tampak cantik membungkus mahkota penghias kepala. Wajah gadis itu terlihat teduh ketika mengulas senyum dengan ponsel menempel di telinga.
“Zizi,” panggil Farzan setelah berada di dekat gadis berkerudung tersebut. Napasnya menderu keluar dari hidung dan mulut bersamaan.
Perlahan kepala yang dibalut kerudung itu menoleh dalam gerakan slow motion. Mata hitam lebar miliknya melebar begitu melihat sosok yang berdiri di depan, begitu juga dengan bibir berisi kemerahan yang sedikit menganga.
Bersambung....

Komentar Buku (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru