logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 47 Bertemu Kembali

Setelah mendapatkan telepon dari salah satu tim yang dibentuk kepolisian, seluruh keluarga Harun tanpa terkecuali segera berangkat ke Sukabumi. Mereka berangkat menggunakan dua mobil, karena tidak cukup menampung semuanya.
Farzan mengemudi sendirian. Ada Arini dan Elfarehza yang ikut bersama dengannya. Sementara yang lain berada di mobil yang satu lagi, dikemudikan oleh supir.
Sepanjang perjalanan, Arini terus melafalkan doa agar informasi yang diberikan oleh polisi benar. Dia berharap semoga orang tersebut benar-benar Brandon. Meski menurut petugas tersebut, tubuhnya lebih kurus dan tidak terawat dari yang ada di foto.
“Mami nggak boleh lupa, El,” gumam Arini yang duduk di jok belakang, “Mami harus ingat.”
Arini mengerahkan seluruh kemampuan, agar tidak melupakan apa yang telah terjadi. Dia tidak membiarkan penyakit Alzheimer mengambil kendali atas dirinya. Sejak tadi, Arini mengetikkan kalimat yang sama di ponselnya.
‘Brandon hilang selama sebulan. Hari ini baru ditemukan. Kamu dalam perjalanan ke Sukabumi menemui Brandon.’
“Kalau lupa nanti aku yang ingetin, Mi,” sahut Elfarehza menoleh ke belakang.
Arini menggelengkan kepala. “Mami nggak boleh lupa.”
Farzan melirik ke kaca spion agar bisa melihat bagaimana wajah Arini sekarang. Wanita itu tampak sedikit lebih cerah dibanding sebelumnya.
“Sebentar lagi kita sampai, Kak. Menurut map, lima menit lagi sampai.”
Senyum mengambang di paras wanita itu ketika membayangkan pertemuan dengan cinta sejatinya, Brandon Harun. Pria yang mampu menghadirkan getar cinta di hati seumur hidupnya.
Tak lama kemudian, mobil yang dikemudikan Farzan memasuki pelataran parkir klinik yang berada di kabupaten Sukabumi. Polisi mengabarkan, pria yang diduga Brandon langsung di bawa ke klinik terdekat, karena kondisi yang tidak baik.
Begitu kendaraan berhenti sempurna, Arini segera turun dan berlari memasuki klinik. Farzan dan El mengejar wanita itu, khawatir jika nanti tersesat jika penyakitnya kambuh.
“Brandon,” panggilnya menggema di klinik yang tidak terlalu besar tersebut.
Langkahnya berhenti ketika melihat dua orang berseragam polisi berdiri di depan pintu kamar pasien. Mata cokelat lebarnya membesar dengan genangan bulir bening.
“Bran!” pekik Arini setelah memastikan pria yang berada di ranjang pasien itu adalah Brandon. Dia segera berlari menghampiri suaminya yang terbaring lemah di sana.
“Maaf, Bu. Pasien belum bisa diganggu,” cegah perawat yang berada di dalam ruangan.
Arini menggelengkan kepala. “Saya mau ketemu suami saya, Sus. Bukan ganggu,” balasnya keberatan.
“Kak,” henti Farzan menggelengkan kepala.
Wanita itu memalingkan paras kepada Farzan dengan raut memohon, agar diizinkan untuk mendekati Brandon.
“Nanti dulu, Kak. Ya?” Farzan melangkah mendekati Arini, kemudian menariknya menjauh dari Brandon.
“Kakak janji duduk tenang di sana, nggak akan ganggu Brandon,” tutur wanita itu berusaha meyakinkan perawat dan Farzan.
“El.” Farzan memberikan kode kepada Elfarehza agar membawa Arini keluar dari ruang perawatan.
Pemuda itu segera mengajak ibunya keluar sebentar, agar Farzan bisa memastikan pria tersebut adalah Brandon. Setelah dibujuk, akhirnya Arini mau menunggu di luar.
Farzan melangkah pelan mendekati ranjang pasien. Dari kejauhan pria itu memang tampak seperti Brandon. Ketika mendekat, ia bisa melihat tingkat kemiripan orang tersebut dengan kakaknya.
“Bagaimana, Pak Farzan?” tanya polisi yang berdiri di sampingnya.
Pria itu mematut lekat wajah pria yang tertidur lelap itu beberapa saat. Mata elangnya menelusuri setiap jengkal paras yang lebih kurus dibanding sebelumnya. Ada perbedaan mencolok di antara lelaki itu dengan Brandon yaitu bentuk tubuh yang susut. Embusan napas lega beriringan dengan kalimat hamdalah keluar dari sela bibir Farzan.
“Pria ini benar Kakak saya, Pak,” ungkap Farzan terharu.
Akhirnya sang Kakak yang menghilang sebulan lebih telah ditemukan dengan kondisi lengkap, tanpa kekurangan apapun.
“Syukurlah, Pak. Kalau begitu kami dari pihak kepolisian turut bersuka cita atas ditemukannya Bapak Brandon.”
Farzan mengulurkan tangan kepada pihak kepolisian. “Terima kasih atas bantuannya, Pak. Karena Bapak sudah menemukan Kakak saya.”
Petugas itu menggelengkan kepala. “Bukan saya yang menemukan Bapak Brandon, Pak. Ada perempuan melaporkan kepada pihak berwajib kalau pria mirip Pak Brandon berada di salah satu rumah warga. Setelah kami datangi ternyata benar.”
“Kami menemukan Pak Brandon dalam kondisi pingsan, karena kurang cairan. Sepertinya ada yang menyembunyikan beliau di rumah itu,” sambungnya menjelaskan.
“Perempuan, Pak? Siapa?” Farzan menatap dengan penasaran.
“Perempuan berkerudung. Saya lupa tanya namanya siapa, Pak. Yang menginterogasi rekan saya. Kebetulan rekan saya kembali ke kantor lagi.” Polisi mengalihkan pandangan kepada perawat yang sejak tadi berada di kamar perawatan. “Mbak yang tadi ada di mana, Sus?”
“Lagi keluar, Pak. Katanya cari makan siang,” jawab perawat tersebut.
Farzan mengangguk. Siapa perempuan tersebut tidak penting, karena Brandon sekarang telah ditemukan. Dia bisa mengucapkan terima kasih kepada orang yang melaporkan kepada polisi nanti.
“Gimana keadaan kakak saya, Sus?”
“Pasien sekarang masih dalam kondisi lemah, karena kekurangan asupan gizi dan cairan. Sebaiknya dirawat intensif dulu di rumah sakit. Itu yang disarankan oleh dokter,” papar perawat kepada Farzan.
“Kalau begitu saya mau temui dokter terlebih dahulu, agar kakak saya bisa dibawa ke Jakarta,” tanggap pria itu bersiap keluar dari ruangan.
Tiba di depan ruang perawatan, dia melihat seluruh keluarga Harun berkumpul di sana.
“Gimana, Zan? Beneran Brandon, ‘kan?” Arini menatapnya penuh keyakinan.
Senyum mengembang di paras Farzan sebelum menganggukkan kepala. “Iya, Kak. Kakak nggak salah. Yang ada di dalam benar Mas Brandon.”
Tangis Arini pecah seketika. Dia bersyukur luar biasa atas kesempatan yang diberikan Tuhan untuk bertemu lagi dengan suami tercinta. Lisa, Sandy, El, Al dan Fatih juga turut bersyukur karena Brandon selamat dari kecelakaan naas itu.
“Kakak belum boleh masuk, karena kondisi Mas sekarang lagi lemah.” Farzan menatap lurus Arini, mencoba memberi pengertian. “Aku mau temui dokter dulu buat urus surat pindah Mas Brandon ke Jakarta. Biar Mas bisa diberikan perawatan terbaik.”
Arini mengangguk paham. Dia harus menahan diri untuk tidak bertemu dengan Brandon di dalam. Dunia yang nyaris hancur, kini berdiri tegak. Pria yang sangat dicintai akhirnya kembali lagi ke pelukannya.
***
Tiba di Jakarta, Brandon langsung dibawa ke rumah sakit langganan keluarga Harun. Di sana ia mendapatkan perawatan intensif dan lengkap. Namun sayang, belum ada yang diperbolehkan untuk masuk ke ruang perawatan.
“Kamu udah tahu siapa yang temukan Bran, Dek?” Arini mengajukan pertanyaan setelah hening sejak tadi.
Farzan menggelengkan kepala. “Polisi yang ada di sana tadi nggak tahu siapa namanya. Katanya sih nanti dikabari lagi sekalian dengan berkas Mas Brandon.”
“Kakak mau ucapkan terima kasih sama orang itu.” Tampak kelegaan luar biasa di paras cantik itu.
“Sama aku juga, Kak. Berkat bantuan orang itu, Mas Brandon bisa ketemu.” Farzan menarik napas panjang seraya berjinjit, agar bisa melihat Brandon dari kaca berukuran kecil di bagian tengah pintu. “Yang penting lega banget karena Mas udah ketemu.”
Arini menganggukkan kepala setuju. “Kakak juga gitu. Sebulan ini nggak bisa tidur nyenyak mikirin Bran.”
Farzan memiringkan kepala mengamati Arini. Ada yang aneh dari kakak iparnya belakangan ini.
“Kakak ngerasa ada yang aneh nggak sih?”
“Aneh apanya?”
“Kakak ingat loh apa yang terjadi. Nggak lupa dengan Nadzifa. Trus barusan bilang nggak bisa nyenyak tidur sebulan ini. Artinya Kakak juga ingat apa yang terjadi belakangan ini, ‘kan?” selidik Farzan masih memandang kakak iparnya.
Arini terdiam berusaha menelaah dan memanggil memori akhir-akhir ini. Dia tidak lagi linglung seperti biasa. Dan hari ini, gejala AlZheimer tidak lagi muncul.
“Masa sih, Dek?” Mata Arini membulat tak percaya.
“Bisa aja. Kakak periksa lagi yuk! Aku anterin,” ajak Farzan.
“Kakak nggak check up di sini, Dek.”
“Emang kakak ingat biasa check up di mana?” pancing pria itu.
Arini mengangguk tanpa ragu. “Di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON).”
Farzan memantik jari. “Itu dia. Periksa lagi ya, Kak?”
Arini menutup mulut yang ternganga. Apa mungkin ia bisa sembuh dari penyakit yang tidak ada obatnya itu?
“Dek?”
Farzan manggut-manggut. “Who knows, Kak. Allah kasih keajaiban lewat kejadian ini.”
Mata cokelat lebar itu berkaca-kaca. Arini membentangkan kedua tangan, agar Farzan memeluknya. Tanpa diminta dengan kata-kata pria itu segera menarik kakak iparnya ke dalam pelukan.
“Kalau benar, ini ajaib banget, Dek. Brandon masih hidup dan kakak sembuh,” gumam Arini dalam pelukan Farzan.
Pria itu melonggarkan pelukan kemudian menatap netra cokelat itu bergantian. “Tandanya Allah sayang sama Kakak. Makanya habis ini aku antar kakak periksa.”
“Ada apa ini peluk-pelukan? Nanti kalau ada yang lihat bisa salah paham loh.” Tiba-tiba terdengar suara setengah matang menyela perbincangan mereka.
“El,” panggil Arini mengulurkan tangan kepada putranya, “Elfarehza Harun, lahir tanggal 05 Juli pukul sepuluh pagi. Kuliah di fakultas Teknik, jurusan Teknik Sipil, Universitas Indonesia. Sekarang tingkat akhir. Jomlo yang masih simpan perasaannya sama Syifa.”
Arini tersenyum lebar melihat putranya menatap heran.
“Mami apa-apaan sih?” Kening El berkerut bingung. “Kok bisa lancar sebutin itu semua?”
“Farzan. Ternyata … lo di sini.” Gangguan lainnya datang ketika Arini ingin menjawab pertanyaan El. Mereka semua menjadi teralihkan ketika melihat makhluk berkacamata, terengah-engah menghampiri.
“Ngapain lo, Bram? Kok kayak orang lagi dikejar setan?” gurau Farzan. Semenjak Brandon hilang, baru sekarang ia bisa bercanda seleluasa ini.
Bram menunjuk ke lorong kanan dari tempat ruang perawatan Brandon. Dia berusaha mengatur napas sebelum menjawab perkataan Farzan.
“Gue … barusan … lihat ….”
“Lihat setan?” sela Farzan.
Bramasta menggeleng cepat. “Gue … lihat … bidadari … cantik banget,” katanya terputus-putus karena napas yang masih sesak.
“Bidadari?”
Pria berkacamata itu mengangguk cepat. “Bidadari … cantik banget. Mirip sama … Mbak Nadzifa. Tapi yang ini … pake kerudung.”
Bramasta mengusap dada sendiri seraya mengatur lagi napasnya. “Tapi dia nangis gitu, Zan. Kayak habis lari dari arah sini,” sambungnya lagi setelah napas kembali normal.
Farzan melihat ke arah tempat yang baru saja ditunjuk Bramasta. Perempuan cantik mirip Nadzifa, tapi berkerudung? Mungkinkah perempuan yang baru saja dilihat sahabatnya itu benar-benar Nadzifa, wanita yang hampir saja dinikahinya?
Bersambung....

Komentar Buku (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru