logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 43 Kenyataan Pahit

“Tujuan lo nikah ‘kan cuma meyakinkan Bang Brandon kalau lo nggak ada perasaan apa-apa sama Kak Arini. Sekarang waktu yang tepat untuk batalin pernikahan.”
Langkah Nadzifa berhenti ketika mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan Bramasta. Dia berdiri di depan kamar seraya memegang nampan berisikan dua cangkir teh yang baru saja dibuat.
Kening gadis itu berkerut memikirkan maksud perkataan sahabat Farzan tersebut. Pikiran Nadzifa kembali ke saat pertama bertemu dengan Arini, tepat satu hari setelah menyetujui rencana pria itu untuk menikah. Dia bisa melihat perubahan yang signifikan dari cara Farzan memperlakukan wanita usia pertengahan empat puluhan itu.
Pujian-pujian yang dilontarkan Farzan terhadap Arini, ditambah lagi dengan kecemasan yang ditunjukkan terhadap wanita itu. Hingga saat ini, Nadzifa belum mengetahui alasan yang sebenarnya kenapa lelaki itu diminta menikah oleh Brandon secepatnya. Semua memperkuat dugaan Nadzifa.
Pegangan tangan mengerat di pinggir nampan yang dipegang. Kenyataan pahit yang baru saja diketahui benar-benar menorehkan luka yang dalam.
Rasa nyeri yang timbul di hati gadis itu sekarang, menyebabkan pegangan yang tadi erat kini melemah. Perlahan nampan yang berada dalam genggamannya terlepas ke bawah.
“Gue nikah bu—”
Kalimat Farzan berhenti ketika mendengar bunyi cangkir jatuh ke lantai. Sontak pandangannya beralih ke arah pintu dan melihat Nadzifa berdiri mematung di sana.
Nadzifa yang melihat Farzan mendekat langsung berlari menuju tangga. Langkah kakinya terasa ringan menuruni anak tangga. Sesampai di lantai dasar, ia meraih tas dari atas nakas antara ruang tamu dan ruang keluarga, kemudian keluar dari rumah.
Tak peduli dengan beberapa pasang mata yang memandang heran kepadanya, Nadzifa terus melanjutkan langkah.
“Zi,” panggil Farzan berlari di belakangnya.
Gadis itu tidak peduli dengan panggilan Farzan. Dia terus mengayunkan kaki meninggalkan kediaman keluarga Harun, membawa hati yang tercabik pilu.
Sungguh sakit mengetahui pria yang akan dinikahi ternyata mencintai wanita lain. Perasaan Nadzifa semakin sakit lagi ketika tahu wanita itu adalah istri dari kakak Farzan sendiri. Dan lelaki itu tidak pernah memberitahukan hal tersebut kepadanya. Tanpa sadar mata hitam lebar miliknya menghangat.
“Zi. Dengerin aku dulu,” tahan Farzan meraih tangan Nadzifa erat.
Nadzifa berusaha melepaskan pegangan tangan itu dengan menyentakkannya. Air mata tampak mengalir di pelupuk mata hitamnya.
“Itu semua nggak seperti apa yang kamu dengar,” kata Farzan berusaha menjelaskan.
“Semua udah jelas, Zan. Kamu bohongin aku. Kamu nggak pernah bilang apa alasan kamu tiba-tiba ajak aku nikah. Ternyata itu alasan yang kamu rahasiakan?” cecar Nadzifa dengan napas mulai sesak. Dadanya terasa sakit, sehingga ia tidak ingin melihat Farzan lebih lama lagi.
“Aku nggak buta, Zan. Aku bisa lihat gimana perlakuan kamu sama Kak Arini. Perhatian kamu itu beda! Cara kamu memandangnya juga beda,” sambungnya tercekat. Bulir bening terus mengalir di pipi Nadzifa. Hati yang baru saja mulai percaya dengan laki-laki kembali terluka.
Farzan diam tidak menyangkal tuduhan yang diarahkan. Semua yang dikatakan oleh Nadzifa benar. Namun, itu dulu. Sekarang perasaannya terhadap Arini tidak seperti sebelumnya. Gadis itu telah menggantikan posisi Arini yang dicintai Farzan selama ini.
“Ya. Alasanku menikah sama kamu, karena nggak ingin Mas Brandon salah paham. Tapi sekarang aku—”
“STOP!! Aku nggak mau lagi dengar alasan kamu, Zan. Semua udah jelas,” henti Nadzifa mengembangkan kelima jari, “aku nggak mau nikah sama pria yang mencintai wanita lain.”
Dia menatap Farzan dengan penuh kekecewaan. Nadzifa tidak pernah menyangka kalau pria itu sama dengan Brandon dulu. Sama-sama mempermainkan perasaan wanita.
“Aku pikir kamu beda, Zan,” lirih Nadzifa terisak, “ternyata kamu sama aja kayak cowok lain.”
Gadis itu memutar balik tubuh dan pergi meninggalkan Farzan begitu saja.
“Zi!” teriak Farzan lagi, tapi tidak diindahkan oleh gadis itu.
Farzan mengerang frustasi melihat Nadzifa menghilang di balik pagar membawa hati yang tercabik berantakan. Dia ingin mengejar gadis itu. Namun apa yang terjadi kepada keluarganya sekarang, membuat Farzan terpaksa kembali lagi ke dalam rumah.
“Ada apa, Bang? Kenapa Kak Zizi pergi?” tanya Elfarehza bingung setelah melihat Farzan memasuki rumah dengan langkah gontai.
Farzan menggeleng pelan. “Ada salah paham,” jawabnya melirik kepada Bramasta yang menunjukkan raut menyesal.
Pria berkacamata itu tidak menyangka Nadzifa mendengarkan percakapan mereka. Bram merasa bersalah, karena sudah mengungkit masalah tersebut di saat yang tidak tepat.
Mata elang Farzan mengamati anggota keluarga yang lain. Dia sedikit merasa lega, karena hanya El yang bertanya tentang hal itu. Sementara pikiran kedua orang tuanya, Arini dan Alyssa masih tersita dengan Brandon yang belum ditemukan sampai saat ini.
“Gue minta maaf, Zan. Gara-gara gue, Mbak Nadzifa pergi,” ucap Bram setelah mereka berada di ruang kerja sekarang.
Farzan melihat sahabatnya seraya menggelengkan kepala. “Lo nggak salah, Bram. Gue yang salah. Harusnya gue jujur dari awal.”
“Ya tetap aja salah gue. Coba kalau gue nggak bahas, pasti Mbak Nadzifa nggak bakalan tahu,” sanggah pria itu penuh sesal.
“Cepat atau lambat Zizi pasti tahu, Bram.” Farzan menarik napas pendek sembari menyandarkan punggung di sofa.
Bramasta memandang sendu sahabatnya. “Gue jadi nambahin beban buat lo.”
“Apaan sih?”
Pria itu menaikkan frame kacamata yang sedikit turun. “Trus rencana lo ke depan gimana?”
“Gue harus fokus cari Mas Brandon dulu, Bram.”
“Mbak Nadzifa?”
Farzan mendesah saat mengusap pelan wajah sendiri. “Nanti aja. Keluarga gue lebih membutuhkan gue sekarang.”
Bramasta memandang sahabatnya lekat. “Gue boleh tanya nggak sama lo, Zan?”
“Apa?”
“Perasaan lo sama Mbak Nadzifa gimana?” selidik Bramasta mengamati raut wajah sahabatnya.
“Penting ya bahas perasaan gue sekarang?” Farzan menatap lelah Bramasta. “Gue lagi capek, Bram. Fisik dan batin gue lelah. Kakak gue hilang, belum ketemu sampai sekarang. Apa perasaan gue masih penting?”
“Sorry, gue nggak bermaksud.” Bramasta menundukkan kepala sebentar. Dia menepuk pundak sahabatnya pelan. “Ya udah, gue pamit dulu. Besok gue ke sini lagi pulang kerja.”
“Jaga kesehatan, jangan sampai kecapekan. Gue nggak mau lo kenapa-napa juga,” sambungnya lagi.
Farzan tersenyum samar kepada sahabatnya. Pikirannya sekarang kalut dan sedang tidak jernih, sehingga jadi sensitif seperti ini.
“Thanks ya, udah datang,” kata Farzan mengurut pangkal hidungnya, sebelum berdiri.
Bramasta mengangguk singkat. “Nggak usah diantar. Lo istirahat gih. Tuh muka capek banget.”
Kepala Farzan mengangguk ke atas dan bawah.
“Mengenai Mbak Nadzifa biar gue yang ngomong nanti.”
“Nggak perlu, Bram. Biar gue yang selesaikan sendiri.” Farzan menghela napas singkat sebelum melangkah ke luar ruang kerja. “Nanti gue ngomong ke Zizi kalau Mas Brandon udah ketemu.”
“Oke. Besok gue datang lagi. Lo harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit,” ujar Bramasta sebelum beranjak meninggalkan ruang kerja.
“Iya bawel. Udah kayak emak-emak lo sekarang,” balas Farzan malas.
“Jelas dong. Lo sahabat gue, Zan. Jangan sampai kenapa-napa juga.”
Lagi-lagi pria itu tersenyum samar seraya mengangkat sebelah tangan ke atas. “Thanks ya. Lo juga harus istirahat. Besok kerja.”
Bramasta berpamitan kepada seluruh keluarga Harun yang sedang berkumpul di ruang keluarga.
“Farzan sini dulu,” panggil Sandy ketika melihat putra bungsunya ingin naik ke lantai dua.
“Kenapa, Pa?” sahut pria itu kembali memutar balik tubuh.
“Duduk dulu sini,” suruhnya mengerling ke sofa single yang belum terisi.
Dengan patuh Farzan duduk di sana. Dia melihat Sandy, Lisa, Arini dan Elfarehza bergantian. Ada rasa was-was yang terselip di hatinya saat ini. Khawatir jika apa yang diucapkan sang Ayah berkaitan dengan kepergian mendadak Nadzifa barusan.
“Papa tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas hal ini.” Sandy tampak menahan air mata yang ingin keluar dari netra hitam kecilnya.
“Tapi Papa minta, kamu ambil alih perusahaan untuk sementara waktu sampai Brandon ketemu,” pinta pria berusia lanjut itu sungguh-sungguh.
Bersambung....

Komentar Buku (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru