logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 39 Suasana Diselimuti Duka

Ponsel yang ada di dalam genggaman Farzan terjatuh kemudian tergeletak ke lantai. Tubuhnya langsung lemas mendapatkan kabar dari El. Kakak yang sangat disayangi mengalami kecelakaan.
Nadzifa yang melihat wajah pucat Farzan, segera mengambil ponsel dan menekan tombol speaker.
“Abang langsung ke kantor polisi aja. Polisi bilang mobilnya hancur, tapi Papi nggak ada di lokasi kejadian,” jelas Elfarehza setelah sedikit tenang. Namun masih terdengar getar dari suaranya.
“Mas Brandon kenapa, El?” tanya Nadzifa ikut cemas.
“Papi kecelakaan di jalan ke Sukabumi, Kak. Kita lagi di kantor polisi sekarang,” jawab El di sela napas yang masih sesak.
“Iya, Kakak dan Farzan ke sana sekarang. Kasih alamatnya aja ya,” pinta Nadzifa sebelum panggilan berakhir.
Netra hitam lebar milik Nadzifa berpindah ke arah Farzan yang tampak sangat terpukul. Wajah pria itu kusut sekarang. Dia meraih tangan yang mengepal erat di atas lutut, lalu menggenggamnya.
“Kamu tenangin diri dulu, kalau udah tenang baru kita pergi,” ujar Nadzifa prihatin.
Dia juga tidak menyangka Brandon mengalami kecelakaan, padahal tadi siang mereka sempat berkomunikasi melalui aplikasi chat.
Farzan memutar tubuh menghadap Nadzifa, kemudian memeluknya erat. Hanya dengan begini ia mendapatkan ketenangan. Perasaan pria itu sedang tidak baik sekarang. Shock, itulah yang bisa menamai kondisinya.
“Kalau nggak bisa bawa motor, kita naik taksi aja ya?” bisik Nadzifa sambil mengusap punggung Farzan.
Pria itu mengangguk di atas bahu kanan Nadzifa. Mustahil ia bisa konsentrasi mengemudi dalam kondisi saat ini. Risiko terlalu besar.
Setelah merasa tenang, Farzan dan Nadzifa langsung bergerak turun ke lobi apartemen. Gadis itu sudah memesan taksi online sebelumnya, agar tidak memakan waktu mencari taksi biasa. Ternyata lokasinya di kabupaten Sukabumi.
Sepanjang perjalanan, Farzan tak henti mengucapkan doa semoga tidak terjadi apa-apa dengan Brandon. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana hidup Arini tanpa suami yang sangat dicintai. Tentu apa yang terjadi bisa mengguncang kondisi kejiwaan wanita itu.
Selang satu jam kemudian, mereka tiba di kantor Satlantas (Satuan Lalu Lintas). Farzan langsung berlari ke dalam ruangan mencari keberadaan Arini. Ternyata wanita itu tidak ada di sana.
“Mami mana, El?” Itulah pertanyaan yang pertama kali diucapkan Farzan.
“Mami lagi di rumah sama Nenek dan Al, Bang.”
“Kak Arini udah tahu?”
El menggelengkan kepala pelan. “Nenek dan Kakek belum bolehin Mami tahu tentang Papi.”
Farzan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ternyata di sana hanya ada sekretaris Brandon, Elfarehza dan Sandy. Lalu ada seorang pria berkepala botak yang bernama Firto, sahabat sekaligus karyawan Brandon.
Sementara Nadzifa memilih berdiri di samping Farzan dengan tenang, agar bisa mendengarkan cerita keseluruhan.
Farzan melangkah ke bangku panjang dan duduk di sana. Dia memeluk erat Sandy yang tampak terpukul dengan kecelakaan yang menimpa putra sulungnya.
“Apa yang terjadi El? Kenapa Mas bisa kecelakaan?”
“Pak Brandon tadi katanya mau pergi ke Sukabumi. Ada keperluan.” Pak Habib, sekretaris Brandon angkat bicara mewakili El dan Sandy. “Bapak kekeh nyetir sendiri, tidak mau diantar supir.”
“Ada proyek di sana, Pak?”
Pria paruh baya berkacamata itu menggeleng. “Bukan, Mas. Katanya ada perlu, tapi Bapak tidak katakan detailnya apa.”
Tautan tangan Nadzifa mengerat di depan tubuh. Khawatir jika kepergian Brandon ada kaitannya dengan pria yang menghamili Indah. Rasa bersalah muncul di hati, apalagi calon kakak iparnya mengalami kecelakaan selang beberapa jam setelah memberi informasi tentang pria tersebut.
“Kenapa Mas nggak ada di mobil?”
“Polisi hanya menemukan mobil yang hancur di lokasi kejadian, Zan. Ada darah di sana dan setelah diperiksa, darah itu milik Brandon,” jelas Sandy tercekat.
“Dilihat dari kondisi bagian kemudi, polisi bilang mustahil Papi bisa selamat, Bang,” imbuh El kembali terisak.
Farzan menutup wajah dengan kedua telapak tangan sambil terus beristighfar. Dia tidak menyangka hal ini akan terjadi kepada Brandon, tepat satu minggu menjelang pernikahannya dengan Nadzifa. Hati pria itu hancur membayangkan kondisi sang Kakak sekarang.
“Pak Habib, tolong antar aku lihat mobil Mas Brandon,” pinta Farzan setelah mencoba menenangkan diri.
Habib mengangguk setuju, kemudian berdiri. Pria yang masih tampak gagah meski sudah memasuki usia enam puluhan itu mengantarkan Farzan menuju bagian belakang, tempat parkir mobil yang mengalami kecelakaan berada. Nadzifa yang penasaran juga ikut serta menemani Farzan melihat mobil yang dikendarai Brandon.
Pandangan mata elang Farzan langsung tertuju kepada mobil sedan berwarna hitam dengan plat nomor yang diakhiri dengan HRN. Kendaraan yang biasa digunakan Brandon ketika bekerja tampak hancur di sebelah kanan, tempat bagian kemudi berada. Kaca dan jendela depan kanan pecah. Ada darah yang masih merah di jok kemudi.
Tungkai Farzan langsung lemas, sehingga nyaris terduduk di atas aspal area parkir. Dengan cekatan, Nadzifa kembali menariknya ke posisi berdiri lagi.
“Aku harus gimana sekarang, Zi?” lirih Farzan pilu.
Nadzifa tidak menanggapi perkataan calon suaminya. Dia sendiri juga cemas luar biasa sekarang. Hanya tepukan pelan yang mampu diberikan agar bisa menenangkan Farzan.
“Hasil analisa polisi gimana, Pak?” Farzan menoleh kepada Pak Habib, sekretaris yang telah ikut dengan Brandon berpuluh tahun.
“Itu yang sedang kami tunggu sekarang, Mas. Hasil olah TKP akan keluar sebentar lagi.”
Farzan kembali menatap nanar mobil yang ringsek itu. Dilihat dari kondisinya, mustahil jika Brandon selamat. Namun pertanyaannya, kenapa pria itu tidak ditemukan?
“Kita masuk ke dalam lagi ya,” ajak Nadzifa tak kuasa melihat keadaan Farzan sekarang.
Pria itu setuju, kemudian beranjak lagi memasuki ruangan tempat Elfarehza, Sandy dan Firto berada. Laki-laki berkepala plontos itu sama shock-nya dengan Farzan sekarang. Sejak tadi dia hanya diam memikirkan nasib sahabat dan juga bos yang telah dikenalnya selama dua puluh tahun lebih.
Tak lama kemudian seorang berseragam polisi datang menghampiri. Dia mempersilakan perwakilan dari keluarga Harun untuk memasuki ruang penyidik. Karena Sandy sudah terlalu tua untuk mendengarkan penjelasan polisi, maka Farzan dan El yang akhirnya pergi ke ruangan tersebut.
“Melihat dari kondisi mobil dan posisi kendaraan setelah kecelakaan terjadi, kami menarik kesimpulan kecelakaan yang terjadi merupakan kecelakaan tunggal. Mobil sempat oleng ke kiri, terlihat dari goresan pada bagian kiri sebelum Pak Brandon membanting setir ke kanan dan mengenai pagar jembatan,” jelas polisi lugas seraya memperlihatkan foto samping mobil yang dikemudikan Brandon. Polisi juga mengatakan kalau pria itu diduga dalam kondisi mengantuk saat berkendara.
“Kuat dugaan tubuh Pak Brandon terpental ke luar dan jatuh ke sungai yang kebetulan sedang deras pada saat kejadian. Apalagi daerah itu sedang terjadi hujan yang cukup deras,” sambungnya kemudian, “hal ini diperkuat dengan kondisi pintu kemudi yang terbuka.”
Farzan menarik napas berat mendengar perkataan polisi. Sementara Elfarehza berusaha dengan sekuat tenaga menahan tangis. Dia tidak boleh cengeng saat kondisi genting seperti ini, karena Arini dan Alyssa membutuhkan dirinya.
“Bagaimana dengan pencarian kakak saya, Pak?” Farzan mengajukan pertanyaan.
Polisi itu menegakkan tubuh lalu melihat Farzan dan Elfarehza bergantian. “Kami masih melakukan pencarian di area pinggir aliran sungai, Pak. Karena saat ini masih belum memungkinkan untuk mencari di dalam sungai, mengingat arus yang masih deras.”
Mata elang Farzan tertutup rapat membayangkan kondisi Brandon saat ini. Jangan ditanyakan lagi bagaimana kondisi jiwanya sekarang. Belum lagi bagaimana reaksi Arini jika mengetahui apa yang telah terjadi kepada suami yang sangat dicintainya.
“Kira-kira kapan pencarian di bagian sungai bisa dilakukan, Pak?”
“Segera setelah arus sungai kembali normal, Pak.”
Farzan mengurut pangkal hidung ketika menarik napas berat. Dia mengangguk lagi dengan masih berdoa semoga sang Kakak bisa ditemukan secepatnya.
Setelah mendengar penjelasan dari polisi, Elfarehza dan Farzan keluar dari ruangan dan bergerak ke tempat Sandy, Nadzifa dan yang lainnya berada.
Sandy melihat Farzan dengan tatapan penuh tanya, meminta penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi di lokasi kejadian.
“Nanti aku ceritain ya, Pa. Sekarang kita pulang dulu. Kasihan Mama dan Kak Arini,” anjur Farzan dengan raut lelah.
“Aku minta tolong rahasiakan hal ini dari Kak Arini sampai kita dapat kabar tentang keberadaan Mas Brandon.” Farzan melihat ke arah lima orang yang ada di sana satu per satu. “Aku khawatir Kak Arini shock. Bisa bahaya mengingat kondisinya sekarang.”
Semua orang yang ada di sana mengangguk serentak. Farzan menghela napas lagi ketika memikirkan alasan apa yang akan diberikan kepada kakak iparnya, jika bertanya di mana keberadaan Brandon? Matanya kembali menghangat tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepada Arini.
“Kita pikirkan alasannya sama-sama, Zan,” ujar Nadzifa tahu apa yang ada di kepala Farzan.
Farzan tersenyum samar kepada wanita yang seharusnya ia nikahi satu minggu lagi. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Apakah pernikahan itu akan tetap terlaksana meski suasana diselimuti duka? Ataukah harus ditunda?
Bersambung....

Komentar Buku (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru