logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 38 His Secret

Satu minggu menjelang pernikahan
Seorang gadis mematut dirinya di cermin yang berukuran besar, lebih tinggi dari dirinya. Senyum merekah tampak cerah di wajah tirusnya. Dia melihat kebaya berwarna putih terbuka di bagian dada, tapi tidak sampai memperlihatkan aset yang selama ini terjaga. Bagian bahu ditutupi brokat yang dipadu dengan inner warna kulit. Nadzifa tampak menawan dengan balutan kebaya yang membungkus tubuh semampainya.
“Kamu jangan banyak makan dulu. Bahaya kalau berat badan kamu naik lagi,” desis pria berkepala botak, desainer langganan keluarga Harun.
Dulu sekali, Brandon dan Arini juga mengambil foto pernikahan dadakan di butik miliknya. Suami istri tidak menikah secara wajar. Pada awalnya mereka hanya menikah di bawah tangan, karena Brandon telah dijodohkan dengan wanita lain oleh Sandy.
“Naik sedikit ya tidak apa-apa, George,” timpal Lisa yang sejak tadi berdiri di belakang, “biar terlihat lebih ayu nanti ketika pesta.”
“Nggak apa-apa gimana, Mbak?” Georgio, desainer itu, mengacungkan jari telunjuk dengan lentik ke bagian lipatan belakang kebaya. “Aku nggak lebihin banyak loh di bagian ini. Bisa bikin yang baru lagi kalau berat badannya nambah.”
Lisa tertawa mendengar celotehan desainer gemulai itu. “Tapi segitu udah cukup. Cantik loh.”
Georgio bertepuk sekali seraya tersenyum manis. “Aku masih ingat waktu Arini dan Brandon datang ke sini. Berapa tahun yang lalu itu? Ah, pokoknya segitu.”
“Romantis banget. Jadi bikin baper,” sambung pria tersebut mengenang betapa romantisnya mereka.
“Sampai sekarang Mas Brandon dan Kak Arini masih romantis, Om,” komentar Nadzifa sembari memutar tubuh di depan cermin.
Wajah semringan Georgio mendadak mendung. “Tapi sayang Arini sekarang sakit,” desisnya menyeka air yang menggenang di sudut mata.
“Tuh, ‘kan. Jadi nangis. Habis Arini baik sih. Nggak pernah aneh-aneh, tapi malah dikasih ujian sama Tuhan.” Pria paruh baya itu tak kuasa menahan tangis. Dia dan Arini cukup dekat. Setiap kali mendatangi butik, wanita itu selalu membawa beraneka makanan untuk dirinya dan karyawan yang ada di sana.
“Doakan aja terjadi keajaiban, George.” Lisa tersenyum samar. Dia sendiri juga masih belum bisa terima kalau menantu kesayangannya bisa terkena penyakit yang serius.
Georgio manggut-manggut sedih. Dia masih berusaha mengeringkan air yang keluar dari pelupuk mata. Setelah tenang, ia kembali menghadap kepada Nadzifa.
“Farzan kenapa nggak datang sekalian aja?” tanya Georgio merapikan rok batik silver yang dihiasi payet putih.
“Katanya nanti aja lihat aku pakai baju pengantin pas hari H, Om,” jawab Nadzifa tersipu malu.
Georgio berdecak pelan dengan menggoyangkan kepala plontosnya. “Nggak nyangka dia mau nikah. Rasanya baru kemarin bikinin jas buat pesta pernikahan Brandon.”
“Ya namanya jodoh, George. Nggak ada yang tahu. Lagian Farzan ‘kan udah cukup umur buat nikah.” Lagi-lagi Lisa menanggapi.
“Ayu apa kabar, Mbak?” celetuk Georgio menoleh kepada Lisa. Sesaat kemudian dia memukul pelan bibir sendiri. “Maaf, keceplosan. Aduh ini mulut kenapa nggak bisa ditahan sih?”
Nadzifa melirik pantulan Lisa di cermin. Dia melihat perubahan raut wajah calon ibu mertuanya sekarang.
“Tidak apa-apa. Ayu masih di Uluwatu,” sahut Lisa sekenanya.
“Uluwatu, Bali?”
Lisa menganggukkan kepala. “Brandon yang kirim dia ke sana. Katanya biar tidak ganggu Mas Sandy lagi.”
Nadzifa memilih mendengarkan percakapan kedua orang yang sangat dewasa ini dengan baik. Apalagi topik pembicaraan mereka tentang Ayu.
“Nggak datang dong ke nikahan Farzan besok?” tanya Georgio lagi.
“Farzan nggak mau Mommy-nya datang, Om.” Kali ini Nadzifa yang bersuara.
“Why?”
“Tante Ayu nggak restu dengan pernikahan kami,” ungkap Nadzifa tercekat.
Lisa segera menghampiri Nadzifa, lalu memeluknya. Dia mengusap punggung gadis itu lembut.
“Kehadiran Ayu nggak penting, Darling. Ada Mbak Lisa juga. Apalagi Farzan laki-laki jadi nggak terlalu masalah,” kata Georgio berusaha memperbaiki suasana yang dirusaknya.
Nadzifa mengangguk membenarkan perkataan pria berkepala plontos itu. Dia membalas pelukan Lisa dengan erat. Dalam hati sangat bersyukur karena Tuhan telah mempertemukan dirinya dengan wanita berhati lembut seperti Lisa. Gadis itu tidak diperlakukan sebagai menantu, tapi seperti anak sendiri.
Keluarga Harun juga tidak mempermasalahkan asal usulnya. Mereka menyambut Nadzifa dengan tangan terbuka. Sangat berbeda dengan Ayu yang ingin memiliki menantu dari keluarga terpandang.
Setelah melakukan pengepasan baju pengantin, Nadzifa segera berganti pakaian. Selepas ini, ia akan kembali ke Cikarang untuk melepaskan rindu bertemu Farzan. Apalagi hari ini adalah hari terakhir mereka diperbolehkan berjumpa, sebelum menjalankan tradisi dipingit.
Baru saja ingin keluar dari ruang ganti, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk ke aplikasi chat yang biasa digunakan. Keningnya mengernyit ketika melihat nama si Pengirim.
“Mas Brandon?” gumamnya pelan.
Nadzifa segera membuka aplikasi tersebut dan membaca pesan yang dikirimkan oleh calon kakak iparnya.
Mas Brandon: Orang yang mas suruh selidiki masa lalu Indah mau kirim hasilnya nanti malam. Kalau udah diterima, Mas langsung forward ke kamu.
Tampak kelegaan di paras Nadzifa sekarang. Sebentar lagi ia akan mengetahui siapa pria yang tega menghamili sang Tante sampai akhirnya bunuh diri.
***
Sore harinya
Farzan duduk bersandar di kursi meja makan flat Nadzifa sembari memandanginya. Dia melihat metapa khusyuk gadis itu ketika sedang memasak. Ternyata wanita yang sebentar lagi akan dinikahi bisa memasak, meski masakannya tidak selezat buatan Arini.
“Jangan lihatin aku kayak gitu deh, Zan. Nggak konsen masak nih,” protes Nadzifa memutar bola mata.
“Habis seminggu nggak ketemu loh, Zi,” balas Farzan melipat kedua tangan di depan dada.
“Dih lebay.”
“Emang kamu nggak kangen sama aku nanti?”
Nadzifa menarik napas singkat sebelum memutar tubuh ke belakang. Dia memiringkan kepala, kemudian mengangguk. Sudah pasti rindu, karena biasanya bertemu setiap hari. Mulai besok gadis itu akan tinggal sementara waktu di apartemen yang pernah ditempati Brandon dulu, sewaktu Farzan masih kecil.
“Kangen sih.” Nadzifa menjepit bibir sebentar. “Habis itu ‘kan bisa ketemu setiap hari. Lagian masih bisa video call juga, Zan.”
Farzan menahan diri untuk tidak memeluk gadis itu sekarang. Satu minggu bukan waktu yang lama jika dilewati dengan penuh kesabaran. Haha!
“Kamu nggak mau undang kakak kamu?” tanya Farzan mengamati paras Nadzifa dari jarak yang lumayan jauh.
Gadis itu mengangkat bahu singkat. “Diundang juga paling nggak bakalan datang.”
“Emang ada apa sih di antara kalian? Maksudnya kok nggak bisa akur?” selidik Farzan yang sangat penasaran tentang hubungan Nadzifa dan sang Kakak.
“Aku dan Mas Brandon saudara tiri loh, tapi kami akur.”
Nadzifa menundukkan kepala seraya duduk di pinggir meja dapur. Lagi-lagi tarikan napas berat terdengar dari hidung. Sebenarnya masih ada alasan lain kenapa ia enggan memperkenalkan Farzan kepada kakaknya.
Dia kembali memutar balik tubuh, lalu menyalakan kompor. Setelah mengaduk-aduk sebentar, gadis itu mengecilkan api kompor dan melangkah ke meja makan. Nadzifa duduk dengan menegakkan tubuh dan menumpu tangan di atas meja. Mata hitam lebar miliknya menjelajahi wajah Farzan.
“Kakak nggak pernah ada buat keluarga sejak lulus SMA.” Nadzifa mulai berbicara. “Baginya uang yang dikasih Nyokap nggak pernah cukup.”
Mata Nadzifa mulai berkaca-kaca mengenang masa lalu yang telah dilewati bersama dengan sang Ibu. “Gaya hidup kakak hedon, Zan. Jauh lebih mewah dari aku.”
“Begitu lulus SMA, dia pergi entah ke mana. Menghilang gitu aja. Tahu-tahu ….” Kalimat Nadzifa berhenti ketika tubuhnya bergetar.
“Tahu-tahu Nyokap dapat kabar kalau kakak jadi pelacur.” Gadis itu mengedipkan mata berkali-kali seraya menyeka bulir bening yang menetes di pipi.
“Kamu masih mau nikah sama aku setelah tahu aib dari keluargaku?” sambung Nadzifa menatap sendu Farzan.
Pria itu meraih tangan Nadzifa yang berada di atas meja makan. Dia menggenggam tangan itu erat dengan mengusap lembut punggungnya.
“Seperti kamu yang mau terima aku, Zi. Ingat aku ini anak luar nikah,” sahut Farzan tersenyum kecut.
Nadzifa menangis keras, sehingga air mata kembali mengalir. Dia menarik tangan Farzan dan meletakkannya di pipi. Rasa hangat telapak tangan pria itu mampu membuat ia tenang lagi. Perlahan tangisnya mereda.
“Aku malu, Zan. Khawatir keluarga kamu tahu dan mereka batalkan pernikahan kita,” isak Nadzifa kemudian.
Farzan menggeleng tegas. “Itu nggak akan terjadi, Zi. Kita akan tetap nikah, apapun yang terjadi.”
Pria itu menyeka sisa air mata yang ada di pipi tirus Nadzifa. Dia memandang paras cantik itu beberapa saat.
“Ada yang mau aku katakan sama kamu, Zi,” kata Farzan kemudian. Dia berencana ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Nadzifa, tentang perasaan yang pernah disimpan selama ini.
“Karena kita udah mau nikah. Sebaiknya aku jujur sama kamu, mengenai rahasia yang selama ini aku simpan,” sambung Farzan lagi.
Nadzifa mengangguk dan memfokuskan pikiran mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh Farzan.
“Sebenarnya aku mencin—”
Nada dering handphone Farzan menyela pengakuannya. Dia mengacungkan jari telunjuk meminta Nadzifa menunggu terlebih dahulu. Mata elang itu bergerak melihat layar ponsel yang berkedip menampilkan nama si Penelepon.
“El telepon. Sebentar ya,” ujar Farzan mengambil ponsel yang ada di atas meja.
Gadis itu mengangguk maklum.
Terdengar napas tidak beraturan di seberang sana setelah Farzan menggeser tombol hijau.
“Abang … Abang,” gumam El dengan napas sesak.
“Kenapa, Dek? Kamu kenapa?” Farzan menjadi panik mendengar suara El yang sengau.
“Papi, Bang. Papi kecelakaan.”
Bersambung....

Komentar Buku (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru