logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

5. Ibu Pingsan

"Jadi Mbak sudah yakin akan bercerai dengan suami?" tanya Bang Herman.
"Yakin, Bang," jawabku mantap.
Bang Herman adalah teman Mas Tio, yang ternyata seorang pengacara. Kemarin aku langsung menghubunginya dan membuat janji untuk bertemu.
Karena jadwal Bang Herman lumayan padat, kami baru bisa bertemu di jam istirahat kantornya. Sengaja memilih tempat di sebuah kafe, supaya lebih santai.
"Saya sudah terlanjur kecewa, Bang. Lagi pula kami belum punya anak, tidak ada alasan yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini," jelasku.
"Tapi bagaimana dengan keluarga yang lain?" tanyanya lagi.
Rupanya Bang Herman termasuk teliti dan sangat profesional dalam bekerja. Ia tak segan untuk bertanya apapun, yang menyangkut permasalahan yang akan ia tangani.
"Saya rasa tidak ada masalah," kataku meyakinkan. Bang Herman mengangguk paham.
Sebenarnya bisa saja aku mengambil paksa semua kekayaan dari Mas Bayu, karena semua aset masih atas namaku. Hanya saja usaha travel yang sekarang sedang berjalan atas nama Mas Bayu, sedangkan modalnya murni dariku.
Aku ingin membalik nama usaha travel itu menjadi namaku. Sudah ada lima belas armada di sana, sangat sayang kalau kelepas begitu saja.
Aku yakin dengan bantuan Bang Herman, urusanku bisa lebih mudah.
"Kalau begitu saya perlu beberapa berkas, semuanya sudah saya tulis di sini. Secepatnya berikan pada saya, lalu akan langsung saya proses," ucap Bang Herman sembari menyerahkan secarik kertas.
Aku menerima dan membaca apa-apa saja yang tertulis di kertas itu. Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan masuk dari Mbak Wulan tetanggaku.
"Maaf, saya menjawab telepon dulu."
Bang Herman mengangguk mempersilahkan.
Klik, sekarang sambungan telepon sudah terhubung.
"Asalamualikum, Mbak Wulan," salamku.
"Waalaikumsalam, Jenar kamu di mana? Ibumu pingsan! Sekarang kami sedang perjalanan ke rumah sakit."
"Apa Ibu pingsan? Aku segera menyusul ke rumah sakit, Mbak!"
Klik, sambungan telepon segera kuakhiri. Aku sangat khawatir dan panik mendengar kabar dari Mbak Wulan.
"Maaf, Bang sepertinya kita sambung lagi lain kali. Saya harus pergi sekarang," ucapku pada Bang Herman.
"Baik, segera hubungi saya dan hati-hati di jalan."
Kalimat Bang Herman kudengar sambil berlalu. Dengan langkah tergesa aku segera menuju parkiran, fikiranku saat ini hanya ingin segera melihat keadaan ibu.
Aku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, bersyukur kondisi jalan tidak sedang ramai.
Ya Allah, kenapa Ibu pingsan? Padahal tadi saat aku pergi ia baik-baik saja, malah mengajakku kekebun sore nanti untuk memanen buah pepaya.
Perjalanan menuju rumah sakit yang hanya sepuluh menit terasa lama. Beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan di depanku, fikiranku tidak fokus, yang ada di otaknya sangat menghawatirkan keadaan Ibu.
Akhirnya aku sampai di rumah sakit. Di parkiran segera kuhubungi Mbak Wulan, ternyata Ibu masih di ruang UGD. Setengah berlari aku segera mencari ruang UGD di rumah sakit terbaik kotaku.
"Bagaimana keadaan Ibu, Mbak?"
Ruang UGD masih beberapa meter di depanku, tapi mulutku sudah lebih dulu menanyakan keadaan Ibu. Mbak Wulan berdiri tepat di depan ruangan UGD.
"Jenar."
Mbak Wulan menyongsong kedatanganku, wajah perempuan berjilbab itu juga menyiratkan kekhawatiran.
"Tadi, Mbak menemukan Ibumu sudah pingsan. Mbak tidak tahu apa sebabnya," ujar Mbak Wulan.
"Ibu sempat menerima tamu, karna Mbak lihat pas mereka masuk ke rumahmu. Mbak mau nganter kolak, ndak jadi. Setelah kira-kira tamu itu pergi, Mbak kerumahmu lagi, Ibu sudah pingsan," beber Mbak Wulan.
"Astagfirullah, Ibu," kataku lirih.
"Lalu bagamana keadaan Ibu sekarang, Mbak?"
"Dokter masih di dalam, memeriksa. Kita berdo'a semoga Ibu ndak kenapa-napa," kata Mbak Wulan sembari mengelus bahuku lembut.
Aku mengangguk dalam hati terus berdoa untuk kebaikan keadaan Ibu. Tak lama pintu ruang UGD terkuak dan keluar seorang dokter bersama dua orang perawat.
Aku dan Mbak Wulan segera menghampiri dokter perempuan berkaca mata itu, sedangkan dua perawat tadi berlalu meninggalkan kami.
"Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?" tanyaku.
"Mbak anaknya Ibu Esti?" Dokter menatapku dan Mbak Wulan bergantian.
"Iya, dia anaknya, Dok. Saya tetangga dekat rumahnya," jawab Mbak Wulan cepat.
Mungkin dokter perempuan itu mengira kami adik, kakak. Karna tadi Mbak Wulan di bantu warga lain yang membawa Ibu, sedangkan aku datang belakangan.
"Jadi begini, kemungkinan Ibu Esti terkena serangan struk. Banyak faktor yang bisa jadi penyebab, kalau dilihat dari gejala yang Bu Esti alami kemungkinan akan terjadi kelumpuhan."
Kakiku rasanya lemas seketika mendengar keterangan dari dokter, tulang-tulangku seperti sudah dilolosi dari tempatnya. Mbak Wulan merangkul pinggangku, memberi kekuatan. Aku berusaha dengan sisa tenaga yang ada untuk tetap berdiri. Kamu kuat Jenar, kamu kuat.
"Sekarang beliau belum sadar, tapi kondisinya sudah stabil," lanjut Dokter muda itu.
"Astagfirullah, Ibu. Tapi bisa di sembuhkan, 'kan, Dok?"
"Kita berusaha dan berdo'a, kesembuhan datangnya dari Allah. Ya sudah, saya permisi dulu. Kalau Mbak berdua mau melihat pasien silahkan," kata Dokter ramah itu sebelum meninggalkan kami.
"Terima kasih, Dok," ucapku dan Mbak Wulan kompak.
Setelah dokter itu pergi, pecah tangisku. Kesedihan yang dari tadi kutahan sekarang tak bisa lagi, Mbak Wulan memelukku erat. Kulihat mata perempuan dua anak itu juga berkaca-kaca, mungkin ia juga merasakan kesedihan yang sama.
"Sabar, Dek. Kita usaha dan berdo'a Ibu pasti sembuh," ucap Mbak Wulan menenangkanku.
Aku dan Mbak Wulan sudah saling menganggap keluarga, usianya lima tahun di atasku. Selama ini Mbak Wulan yang sering menemani dan menjenguk Ibu saat aku bekerja di luar negeri.
Mbak Wulan sudah lama yatim piatu, Ibu Esti ia anggap seperti ibunya sendiri. Ia tak segan curhat dan berkeluh kesah pada Bu Esti. Begitu pun dengan Bu Esti saat ia rindu padaku, Ibu akan berkunjung ke rumah Mbak Wulan dan berlama-lama di sana bermain dengan anak-anak Mbak Wulan.
"Kita masuk, kita lihat kondisi Ibu," kata Mbak Wulan setelah tangisku reda.
Aku mengangguk, kuhapus air mata yang tadi menganak sungai. Mbak Wulan masih setia menggandeng tangaku.
Bismillah, aku dan Mbak Wulan masuk ke ruangan yang semua dindingnya bercat putih. Ada dua ranjang di ruangan itu, salah satunya tempat tubuh Ibu di baringkan.
Rasanya hancur hati ini melihat orang tua satu-satunya yang kumiliki terbaring tak berdaya. Jarum Infus terpasang di tangan kiri Ibu, alat bantu pernapasan menutup hidung dan mulutnya. Beberapa alat lain yang aku tak tahu namanya terpasang di tubuh Ibu, semakin dekat jarakku dengan Ibu hatiku semakin hancur.
"Ya Allah Ibu, Ibu kenapa?" ucapku lirih, ketika sudah berdiri di samping ranjang Ibu.
Kuraih tangan Ibu yang tidak terpasang jarum infus, mengelusnya lembut. Hangat, tangan Ibu sangat hangat. Air mataku kembali mengalir deras.
Ya Allah biar aku saja yang menggantikan posisi Ibu, aku tidak tega melihat perempuan yang sangat kusayangi seperti ini.
"Dek, jangan terus bersedih. Ibu pasti sembuh, kita harus yakin," kata Mbak Wulan dengan suara tertahan.
Mbak Wulan mengelus bahuku lembut.
"Iya Mbak, Ibu pasti sembuh. Sebetar lagi pasti Ibu bangun, Ibu tidak sakit," timpalku dengan memaksakan bibir tersenyum.
Selama ini Ibu sehat, ia tidak punya keluhan kesehatan apa pun. Ibuku selalu menjaga asupan makanan dan pola tidur, kalau rata-rata perempuan seusianya mengeluhkan asam urat dan rematik tidak dengan Ibu.
Satu jam sudah kami di ruangan UGD, Ibu belum juga sadar dari tidur panjangnya. Dokter sudah memperbolehkan Ibu pindah ke ruang perawatan, karena kondisi Ibu sudah stabil.
Mbak Wulan pamit pulang lebih dulu, karena sudah waktunya anak-anak pulang sekolah.
"Dek Jenar, Mbak pulang dulu. Ndak enak terlalu lama menitipkan anak-anak di rumah tantenya."
"Iya, Mbak. Terima kasih sudah membantu bawa Ibu ke rumah sakit," ucapku sembari meraih tangan Mbak Wulan untuk bersalaman.
"Iya, Dek. Kabari Mbak perkembangan Ibu, ya," ucap Mbak Wulan di iringi senyum lembut, kuanggukkan kepala sebagai jawaban.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. hati-hati, Mbak."
****
Hari sudah beranjak malam, ibu belum juga sadar. Malam ini aku menginap di rumah sakit menemani ibu, berharap ia segera sadar dan sehat kembali.
Perutku terasa perih, kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Jam delapan malam, aku ingat belum ada makanan yang masuk ke perut sedari pagi.
Aku punya riwayat maag, harusnya tidak boleh terlambat makan.
"Bu, Jenar keluar sebentar cari makanan," ucapku pelan sembari mengelus tangan Ibu, sebelum beranjak dari sisi tempat tidurnya.
Walaupun ibu belum membuka matanya, tapi aku yakin ia bisa merasakan. Kuseret langkah malas keluar dari ruang perawatan ibu, mencari letak kantin rumah sakit ini.
Setelah bertanya pada perawat, ternyata kantin bersebelahan dengan mushola di samping rumah sakit. Suster menyarankan lewat pintu belakang, lebih dekat. Aku memilih keluar lewat pintu utama, tidak apa sedikit memutar dari pada lewat pintu belakang yang pencahayaannya remang-remang.
"Jenar."
Baru saja selangkah melewati pintu keluar, aku merasa ada yang memanggil namaku. Kucari kesekeliling ingin tahu siapa yang memanggil.
"Jenar, bagaimana keadaan Ibu?"
Ternyata Mas Bayu yang tadi memanggilku, sekarang ia berdiri tepat di depanku.
Ingin kupeluk tubuh laki-laki yang masih sah menjadi suamiku untuk meminta kekuatan, tapi hatiku menolak. Kupaksakan, rasanya semakin sakit.
"Mau apa kamu ke sini, Mas?" tanyaku dengan membuang muka darinya.
"Aku ... aku ingin tahu keadaan Ibu," jawab Mas Bayu terbata.
"Masih perduli kamu sama Ibuku?" cibirku.
Kudongakkan sedikit kepala supaya bisa bertatapan dengan mata Mas Bayu. Tajam, kupandang wajah laki-laki yang selama ini kuhormati.
"Selama ini apa kamu anggap Ibu ada, Mas? Apakah selama ini kamu pernah menjenguk Ibuku, Mas? Apakah selama ini kamu pernah menanyakan kabar Ibuiu, Mas? Tidak pernah, 'kan Mas? Bahkan uang yang selalu aku kirimkan untuk Ibu tidak pernah kamu berikan! Lalu sekarang kamu datang dan ingin tahu keadaan Ibu?"
Semua kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Seakan ada sesuatu yang mendorongnya untuk keluar.
"Kenapa, Mas? Kenapa baru sekarang?" ucapku dengan penuh penekanan.

Komentar Buku (54)

  • avatar
    StathamAdiezha

    kapan lanjutannya ini? nanggung bet

    19d

      0
  • avatar
    SafitriAfif

    gatau caption nya🦖

    17/08

      0
  • avatar
    IngrizaResva

    bagus alur ceritanya

    03/01

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru