logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

2. Mengirim Hadiah

Hari ini aku ingin memberi sedikit hadiah untuk Mas Bayu dan si pelakor, aku menghubungi seseorang.
"Mas, tolong buatkan karangan bunga berukuran besar. Tulis ucapan selamat menempuh hidup baru untuk suamiku dan pelakor, dari istri sahmu. Nanti alamat pengirimannya menyusul," ucapku pada Mas Tio lewat sambungan telepon.
"Loh, ini Jenar? Kamu kapan balik? Jadi kamu masih hidup."
Suara Mas Tio dari seberang sambungan telepon membuatku mengerutkan kening, apa maksudnya?
"Kemarin, Mas. Ya jelas masih hiduplah, buktinya aku masih bisa menelepon, Mas Tio."
Terdengar tawa yang khas dari lawan bicaraku di ujung sambungan telepon.
"Berarti suamimu itu yang edan, istri masih sehat walafiat di bilang udah meninggal, di pelet apa dia sama si Bebi" kata Mas Tio, pengakuan Mas Tio membuat aku mengerutkan kening.
Jadi Mas Bayu mengatakan pada orang-orang kalau aku sudah mati? Memang dasar suami tidak tahu diri. Tak heran kalau dia tega menikahi gundik itu, ternyata aku sudah dia anggap mati. Tega kamu, Mas! Di negeri orang aku mengadu nasib, ternyata pperjuanganku tak kau anggap.
Sekarang aku tahu pelakor itu bernama Bebi. Nama yang terkesan imut, tak sesuai dengan kelakuan orangnya yang amit-amit.
"Ya sudah Mas, buatkan pesananku tadi. Ingat harus yang spesial, sekalian sama spanduk besar pasang foto mereka berdua di sana."
"Siap!"
Klik, sambungan telepon kuakhiri. Bisa-bisanya Mas Bayu membuat pengakuan palsu, pasti ini akal-akalannya supaya bisa menguasai semua hartaku. Atau sandiwara supaya bisa menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda dan cantik. Apapun itu alasannya, aku tidak akan tinggal diam.
[Pesanan sudah beres.]
Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau, dari Mas Tio. Ia mengirim gambar karangan bunga dan spanduk yang sudah terpasang di depan sebuah rumah.
Tanpa membalas pesan itu aku langsung meraih kontak mobil, ingin melihat langsung bagaimana tanggapan Mas Bayu dan istri barunya mendapat hadiah spesial dariku.
Sebenarnya rumah yang Mas Bayu tinggali dengan si pelakor adalah rumah kami. Rumah yang dibangun dari uang hasil kerjaku. Rumah impian. Banyak hal yang ingin kulakukan di rumah itu kelak. Tempat yang kuharapkan selalu hangat dengan cengkerama bersama suami dan anak-anak. Rumah yang kusiapkan untuk menua bersama suamiku. Aku akan mengisi rumah itu dengan cinta untuk keluarga.
Ah, ternyata semua itu terlalu jauh untuk bisa kucapai. Bahkan sebelum aku menginjakkan kaki di sana, rumah itu sudah ternoda oleh kehadiran si pelakor.
Kuhentikan mobil di depan gang, ternyata jalan gang sudah di penuhi oleh orang-orang yang berkerumun melihat karangan bunga dan spanduk besar itu. Aku memilih berjalan kaki untuk menghampiri kerumunan orang-orang itu. Dari jauh sudah kudengar sahut-sahutan mereka saling menimplai omongan. Ramai, entah kenapa sesuatu yang berbau pelakor selalu berhasil memancing keramaian.
Sepertinya akan sangat menarik. Aku menyibak kerumunan warga, dan berhasil berdiri tepat di depan karangan bunga yang memang sangat indah. Pekerjaan Mas Tio memang patut di acungi jempol.
"Mau apa kamu ke sini?" Bebi si pelakor berkecak pinggang di depanku. Pantas saja orang-orang ramai, ternyata Bebi sudah ada di tengah-tengah mereka.
"Aku hanya ingin memastikan hadiah ini tidak salah alamat," jawabku santai.
"Jadi yang mengirim ini semua kamu!" Suara cempreng Bebi menggelegar.
Di belakangku ramai warga berbisik-bisik. Sebagian tak menyangka kalau aku istri Mas Bayu, sebagian lagi menyalahkan dan mengumpat Bebi. Warga saling sahut beradu suara meluapkan apa yang mereka rasakan.
"Jadi istrinya masih hidup?!"
"Ya ampun, dasar pelakor ndak tau diri!"
"Lakinya yang kegatelan!"
"Istri kerja keluar negeri, kok malah di tinggal kawin sama pelakor!"
"Hati-hati kena karma!"
Nafas Bebi memburu, dadanya turun naik. Warga di sini memang sangat sensitif dengan urusan yang berbau pelakor. Aku yakin kabar ini bisa dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok negeri.
Dari dalam rumah keluar Mas Bayu dengan muka kusut dan rambut berantakan. Sepertinya ia baru bangun tidur.
"Ada apa ini, 'kok rame-rame?" tanyanya, tanpa beban dan rasa berdosa.
"Huuuuuuu .... "
Sontak warga yang berkerumun menyoraki Mas Bayu, beberapa mengumpat ada juga yang melempari dengan tisu. Mas Bayu menghalau lemparan itu dengan kedua tangannya.
Aku berharap bukan hanya tisu yang mereka lempar, mungkin batu atau potongan kayu.
Aku sangat puas melihat wajah Mas Bayu dan Bebi panik diserang warga. Itulah balasan kalau berani main-main denganku.
"Cukup!" Kataku sembari mengangkat tangan kanan.
Seperti dapat komando dari pemimpinnya, mereka menghentikan aksinya. Kembali tenang.
"Aku ingin bicara sama kalian, boleh aku masuk?"
Tanpa menunggu jawaban dari keduanya aku langsung nyelonong, toh ini rumahku sendiri. Mereka saja tidak meminta persetujuanku untuk tinggal di sini. Kenapa aku si pemilik harus menunggu jawaban mereka?
"Aku datang kesini untuk menagih hutang!"
Aku menjatuhkan bobot pada sofa yang empuk di ruang tamu, mataku meneliti sekeliling. Ini pertama kalinya aku masuk ke dalam rumah yang berdiri dari hasil keringatku. Aku puas melihat kondisi bangunan yang rapi dan bagus.
"Kami tidak punya hutang!" sahut Bebi dengan wajah menantang.
"Terserah apa katamu, mana buku tabunganku Mas?"
Aku malas meladeni si pelakor, lebih baik segera mengambil yang menjadi hakku.
"Jenar, aku akan menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Kamu jangan salah paham dulu." Mas Bayu duduk di sampingku, aku menggeser duduk tak sudi berdekatan dengannya.
Sedang Bebi tetap berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. Gayanya seperti bos besar.
"Apa lagi yang mau kamu jelaskan, Mas? Bukankah kamu sudah menganggap aku mati?" ucapku sinis. Mas Bayu tergagap, mungkin dia kira aku belum tahu apa yang dia katakan pada orang-orang.
"Maksudku bukan begitu, aku hanya bercanda kemarin. Tolong kamu dengarkan aku."
Bercanda katanya, setelah kabar itu menyebar ke seluruh penjuru. Kematian dijadikan bahan candaan aku mulai meragukan kewarasan Mas Bayu. Atau memang dia menginginkan aku mati di tanah rantau.
"Aku punya waktu sepuluh menit." Mendengarkan sedikit penjelasan darinya kurasa tidak merugikan. Mas Bayu menarik nafas lega.
"Aku dan Bebi terpaksa menikah, karena dia hamil keluarganya meminta aku bertanggung jawab."
Seperti mendengar suara petir di siang hari yang cerah. Pengakuan Mas Bayu benar-benar di luar dugaanku. Laki-laki di sampingku yang kukenal selama ini suami soleh dan selalu menjaga pandangan, ternyata sama saja tak bisa mengendalikan nafsunya. Aku salah menilai suamiku sendiri. Apakah semua laki-laki seperti itu?
"Aku minta, kamu bisa menerima Bebi sebagai adik madu. Sebenarnya aku masih sangat mencintaimu," sambung Mas Bayu.
"Tidak bisa Mas, aku tidak mau di madu! Kamu menikahi dia tanpa izinku, dan mengatakan pada orang-orang kalau aku sudah mati!" ucapku tegas.
"Jenar aku mohon, ini demi keutuhan rumah tangga kita. Biarkan Bebi jadi adik madumu, apa kamu tidak kasihan pada bayi yang dikandungnya kalau lahir tanpa Ayah?" Mas Bayu memohon, kuacungi jempol untuk usahanya. Tapi aku tidak mau rugi dua kali, enak saja mereka mau memanfaatkan kekayaanku untuk numpang hidup.
Dia tidak sadar, siapa yang selama ini bekerja? Membanting tulang untuk memperbaiki taraf hidup. Setelah terlihat hasilnya dia ingin memasukkan makhluk asing dalam rumah tangga kami.
"Rumah tangga kita sudah tidak utuh Mas, kamu sendiri yang mulai menghancurkannya. Kamu yang bawa pelakor itu masuk kedalamnya, lalu sekarang kamu bilang demi keutuhan rumah tangga? Di mana otakmu Mas?" cecarku, geram hanghadapi suami sepertinya.
"Kita coba dulu, kita mulai pelan-pelan," rayu Mas Bayu.
"Aku sama sekali tidak tertarik dengan tawaranmu Mas! Sepuluh menit sudah berakhir." kataku tegas.
Aku beranjak meninggalkan Mas Bayu dan istri barunya. Di depan rumah masih banyak warga berkerumun, aku memang tidak salah memesan hadiah untuk mereka. Buktinya banyak yang kagum dengan apa yang aku berikan pada pasangan baru itu. Semoga berkesan.
Sebelum pulang aku singgah ke toko Mas Tio, untuk membayar karangan bungan dan spanduk tadi.
"Tiga ratus ribu saja buat kamu, Nar." Mas Tio menyerahkan selembar nota padaku.
Kuberikan lima lembar uang seratus ribu, sengaja kulebihkan.
"Aku turut prihatin sama kamu dan suamimu, Nar. Kalau perlu bantuan bilang saja sama aku, akan kuusahakan."
Mas Tio sebenarnya temanku semasa sekolah, kami sudah seperti keluarga. Kebetulan aku sedang membutuhkan seseorang yang bisa membantuku, untuk mmengmbil kembali hakku. Mungkin Mas Tio bisa membantu.
"Kamu hubungi orang ini, dia pasti bisa membatumu," ucap Mas Tio sembari menuliskan nomor telepon pada selembar kertas.
Setelah mengucapkan terimakasih aku segera pamit pulang, masih banyak yang harus kuurus.
"Dari mana, Nduk?" Ibu ternyata sudah pulang dari kebun. Ia sedang duduk di dapur saat aku datang.
"Bertemu Mas Bayu dan istri barunya, Bu," jawabku sembari menuang air minum kedalam gelas.
"Buat apa?"
"Memberi hadiah dan ucapan selamat."
Lalu keteguk segelas air putih sampai tandas. Ibuku tahu kalau Mas Bayu menikahi perempuan lain, aku yang memberitahunya kemarin.
"Ternyata pelakor itu sudah hamil, Bu," ucapku setelah menandaskan air dalam gelas.
"Astagfirullah, lalu bagaimana?"
"Jenar ingin bercerai saja, Bu." Keputusanku sudah bulat, buat apa mempertahankan suami seperti Mas Bayu.
"Fikirkan baik-baik, jangan mengambil keputusan saat emosi," ujar Ibu lembut.
Ibu benar aku harus memikirkan masalah ini baik-baik, jangan sampai merugikan diri sendiri. Apalagi semua asetku masih di pegang oleh Mas Bayu. Aku tidak mau merugi.
"Apa Ibu ingin pernikahan ini berlanjut?"
Ibu mengukir senyum lembut. "Kamu yang menjalani. Ibu yakin kamu tahu mana yang harus kamu pilih," ujarnya dengan suara halus.
"Ibu tidak menyuruh juga tidak menghalangi. Keputusan ada di tanganmu," sambung Ibu.
Ya begitulah Ibu. Tak mau jauh mencampuri urusan rumah tanggaku. Sifatnya itulah yang membuatku berani mengambil keputusan dan bertindak sendiri. Tidak bergantung pada orang lain.
"Kamu masih muda, perjalanan hidupmu masih panjang. Jangan terlarut dalam masalah yang membuatmu kehilangan semangat hidup."
"Terima kasih, Bu."

Komentar Buku (54)

  • avatar
    StathamAdiezha

    kapan lanjutannya ini? nanggung bet

    19d

      0
  • avatar
    SafitriAfif

    gatau caption nya🦖

    17/08

      0
  • avatar
    IngrizaResva

    bagus alur ceritanya

    03/01

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru