logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6

Aku memang seperti ini. Cepat mudah bergaul dengan orang yang baru kukenal sekalipun. Mungkin karena aku hidup bersama dengan dua orang yang selalu ramah dan humoris, kedua sifat itu jadi mempengaruhi pribadiku.
“Berapa usiamu, Bil?” tanyaku setelah lelah mendengar ocehannya tentang hiruk- pikuk ibukota. Ia terlalu cerewet jika dikategorikan sebagai pria, tidak seperti Charisma, yang punya aura dingin dan sepertinya sulit diajak bicara.
“Coba tebak?”
“Hm…” aku mulai memperhatikan Bily. Wajahnya lumayan manis dengan kumis halus dan rambut cepak yang diberi banyak gel. Ia tipe cowok playboy kurasa, melihat matanya yang suka menggerling dan penampilannya yang tidak serapih Charisma. Kulit coklatnya pun sepertinya ia rawat dengan baik, jauh berbeda denganku.
“Melihat sikap dan penampilanmu, pacarmu pasti banyak. Biasanya wajah sepertimu berumur…dua puluh tiga!”
“Kok bisa tepat? Kuliah di jurusan psikologi ya?”
“Bukan, jurusan Perdagangan Internasional.” Ucapku, mengubah intonasi suaraku agar terdengar keren. Jurusan kuliah yang jarang ada di Indonesia, aku memilih itu karena Titan yang sangat bersemangat masuk ke sana. Mungkin kelak besar nanti, ia ingin melakukan perdagangan internasional antar manusia, menjualku misalnya. Aku tidak tahu kenapa aku bisa terjerumus ke jurusan yang matematika dan bahasa asingnya harus di atas rata-rata, mungkin aku sedang tidak beruntung kala itu.
“Kalau Charisma berapa tahun?” Bily masih mau mengujiku. Aku berusaha bersikap biasa saja melihat pemuda super serius itu mengendarai mobil dengan patuh.
“Empat puluh lima.” Ucapku yakin.
“Ha..ha…jangan bercanda.” Bily tertawa keras, lalu terdiam merasakan Charisma memandangnya tajam.
“Aku tidak bercanda kok, memang umurmu empat puluh lima kan, pak?” tanyaku, pura-pura lugu. Charisma hanya mendengus kesal namun tidak tampak marah.
“Maksudku, umur mentalmu yang empat puluh lima.” Aku dan Bily pun tak tahan untuk tidak tertawa. Kali ini Charisma membiarkan kami menertawakannya, ia menggelengkan kepala dan sedikit tersenyum.
“Hei, kau tersenyum.” Ucap Bily dengan pandangan agak heran. “Sesuatu yang sangat jarang…” gumamnya yang terdengar olehku. Aku langsung menanggapi dengan bernyanyi lagu Syahrini yang judulnya Sesuatu.
“~Sesuatu, yang ada di hatimu…” Bily ikut bernyanyi dengan suara sangat fals, aku bernyanyi sambil memutar-mutar kepala ala rock star, membuat mobil ini seketika berubah gaduh. Charisma tidak bisa lagi menahan senyumnya.
Lagi asik memutar kepala, kulihat di dekat kakiku ada kaca mata rayban yang tergeletak, tanpa pikir panjang kupakai kacamata berwarna coklat gold itu dan terus bernyanyi.
“Ha…ha…” Bily terus tertawa, apalagi ketika melihat Charisma ikut menganggukkan kepala, ikut menikmati. Aku berhenti bernyanyi ketika kusadari perjalananku hampir sampai.
“Eh, aku turun di sini aja deh. Stop, stop.” Mobil Charisma perlahan menepi, Bily menoleh kebelakang kursi. “Yah…kamu sudah harus turun? Terima kasih ya, atas bantuannya. Mau dibayar berapa?” Bily mengeluarkan dompet, aku segera mencegahnya.
“Tidak usah, aku lagi nggak niat jadi joki kok. Makasih yaa udah nganterin. Muah!” aku berlagak mencium mereka dengan mimik lucu, membuat mereka kembali tergelak dan segera berlari dengan riang.
***
“Gila, dia adalah cewek paling menarik yang pernah aku temui!”
Charisma melamun mengingat suara mengebu-gebu Bily saat gadis yang menurutnya unik itu keluar dari mobil.
“Kak Charis, ngelamun apa?” Charisma cepat tersadar mendengar suara Liona berada dekat dengannya. “Liona” Charisma membenarkan letak duduknya, menggeser laptop yang masih dalam keadaan menyala ke pangkuannya.
Hari ini akhir pekan dan Charisma masih menyibukkan diri dengan pekerjaan kantor walau sudah berada di rumah sekalipun. Tinggal sendiri di rumah yang begitu besar membuatnya kesepian, apalagi melihat pribadinya yang anti sosial, menjadikan rumah berpilar angkuh itu jarang dikunjungi teman atau kerabat.
Charisma tahu sebenarnya ia sangat kesepian, tapi karena sudah sejak kecil terbiasa tinggal jauh dari orang tua, ia jadi tidak bisa membedakan antara perasaan sepi dan hangat. Sudah lama sekali semenjak calon tunangannya pergi ia lupa bagaimana perasaan itu.
Hati yang menghangat.
“Ada tiga tempat yang sepertinya hanya kakak datangi di rumah besar ini. Ruangan kerja, kamar dan di sini, gazebo.” Tutur Liona yang telah duduk di sampingnya, memulai percakapan. “Waktu kulihat ruang kerja kakak kosong, aku segera kemari. Aku tahu kakak suka menikmati sore di gazebo ini.” Liona memandang ke depan, mengagumi hamparan rumput dan pepohonan ringan berderet sejajar mengelilingi pagar rumah bercat hitam pekat.
Gazebo berada di halaman belakang, di sebelah kolam renang, dibuat dengan nuansa Eropa pertengahan, bercat putih pucat dengan beberapa pilar yang menyanggah atapnya yang cembung. Tempat duduk sengaja dibuat lesehan, beralaskan karpet tebal yang nyaman dan tidak lupa cemilan dan teh hangat selalu tersedia bila Charisma mengunjungi tempat ini.
Gazebo adalah sudut yang sempurna untuk menikmati pesona matahari tenggelam, hampir tiap akhir pekan di sore hari Charis selalu memindahkan pekerjaannya di ruang kerja ke tempat ini, untuk sekedar menghilangkan kejenuhan.
Charisma menoleh ke arah Liona, melihat gadis manis itu sebagai adiknya. Walaupun tidak ada hubungan darah di antara mereka, namun perasaan kehilangan yang mereka rasakan, kehilangan Sarah tentu saja, membuat mereka menjadi dekat. Selain ayah Liona yang selalu membujuknya untuk dekat dengan calon tunangan kakaknya, Liona merasa bertanggung jawab atas sikap arogan dan antipati Charisma yang semakin hari semakin bertambah parah.
“Bukan cuma tiga tempat itu yang selalu kukunjungi, aku juga butuh ke kamar mandi.” Ucapnya datar, tapi mampu membuat Liona tertawa kecil.
“Oh iya, aku lupa.” Liona berhenti tersenyum melihat Charisma yang tidak berekspresi. Sikapnya begitu dingin.
“Ada perlu apa kemari?”
“Hanya ingin mengunjungi kakak, tidak boleh?”
“Bagaimana kondisi mama? Lebih baik?” Charisma tidak menanggapi candaan Liona, ia ingat ibunda Liona yang sering dirawat di rumah sakit karena hipertensi dan diabetes, tapi semua orang tahu penyebab utama penyakit ibunya sering kambuh hanyalah kejiwaannya yang belum siap kehilangan Sarah.
Liona terdiam, raut wajahnya berubah sedih. “Sudah lebih baik, walau kami butuh seseorang yang mampu menjaganya 24 jam non stop.”
Charisma menganggukan kepala, merasa perlu mengganti topik pembicaraan. Iya pun teringat sesuatu, merogoh saku celana dan mengeluarkan sejenis kartu identitas.
“Kamu kenal mahasiswi ini tidak?” Charisma menyerahkan kartu mahasiswi seseorang ke tangan Liona, membiarkannya memperhatikan dengan seksama.
“Ara Amiruldin?” Liona membaca nama mahasiswi yang tertera, sangat heran.
“Ya, aku baru sadar kalau nama kampusnya sama denganmu. Aku kira, mungkin kau mengenalnya.” Ucap Charisma, terselip harapan Liona mengenalnya. Sebenarnya ia sengaja tidak mengembalikan kartu mahasiswa Ara, entah kenapa gadis itu membuatnya berbeda. Terlalu dini memang untuk memutuskan, tapi jauh dari lubuk hati, Charis ingin bertemu lagi dengannya.
“Kakak dapat dari mana kartu mahasiswa ini?” Benak Liona kini dipenuhi pertanyaan, melihat foto mahasiswi tomboy berwajah familiar itu membuatnya tanpa sadar menggigit sudut bibirnya.
Ara bukanlah salah satu teman yang setia mengikutinya di kampus, ia juga tidak yakin apa Ara mengenal mahasiswi populer seperti dirinya. Ara memiliki dunia yang berbeda dengan dunia glamor miliknya. Tapi satu hal yang pasti,
Liona mengenalnya…
***

Komentar Buku (75)

  • avatar
    BotOrang

    bagus

    21/08

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus endingnya👍

    21/03

      0
  • avatar
    NoepRoslin

    Kalau dah jodoh tak kan ke mana. Walaupun terpisah pasti akan berdatu kembali..🥰🥰

    22/07/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru