logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 14

Melihat Argatha yang memakai kaos hitam polos, dan celana jeans, membuat Ayana kehilangan titik fokusnya.
“Cowok kalau pakai kaos hitam, damagenya sampai bikini bottom,” ucap Ayana dalam hati.
Argatha melihat gadis disampingnya. “Mau sampai kapan ngeliatin?” tanya Argatha.
“Hah?” ucapan Argatha membuat Ayana tersadar.
“Lo mau sampai kapan ngeliatin gue?” tanya Argatha mengulang pertanyaannya.
“Argatha kenapa pakai kaos hitam sih?” protes Ayana.
Argatha mengerutkan keningnya, “Kenapa?” tanya Argatha tak mengerti.
“Bikin Ayana nggak fokus tau,” jujur Ayana.
“Terus gue harus gimana? Nggak pakai baju?” tanya Argatha yang masih tidak mengerti maksud Ayana.
“Ya nggak gitu juga Argatha.”
“Oh iya, Argatha majuin deh tangannya,” pinta Ayana.
“Kenapa?”
“Udah nggak usah banyak tanya, nurut aja.”
Argatha pun mendekatkan tangannya dengan Ayana.
Tanpa disangka, Ayana mengambil bolpoinnya dan menggambarkan seekor bebek di tangan Argatha.
“Pokoknya gambar ini nggak boleh hilang,” ucap Ayana.
“Kenapa?”
“Ya pokoknya nggak boleh hilang, besok harus masih ada gambarnya.”
“Iya, iya,” sahut Argatha pasrah.
Untuk beberapa menit keduanya nampak tenggelam dalam keheningan. Mereka asyik dengan kertas dan bolpoin yang berada dihadapan mereka.
Hingga Argatha menopang dagunya dengan tangan kirinya sembari melihat Ayana lekat.
Aku tak bisa berkata
Seakan detikku tak lagi berirama
Otakku tak bisa mencerna
Aku mau kamu
Seperti malam butuh rembulan
Atau siang butuh mentari
Aku ingin kamu
Sama seperti hujan
Mencipta pelangi
Aku ingin indahmu
Aku berharap dikamu
Dan memohon kepada Tuhan
Untuk melukis pelangi
Setelah rintik hujan menghujam hati
Untukmu yang kusebut purnama
Aku pernah memintamu menerangi gelapku
Aku pernah memintamu menemaniku
Namun,
Aku tidak pernah memintamu pergi dariku
Mulut Ayana terbuka sempurna. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia merasa tercengang mendengar ucapan Argatha barusan.
“Yeh, malah bengong lagi. Catat, itu puisinya,” ucap Argatha menyadarkan Ayana.
Ayana mengerutkan keningnya, baru saja ia ingin terbang tinggi, karena ucapan Argatha, namun ia harus menerima kenyataan bahwa Argatha tidak membuat kata seindah itu untuknya.
Echa mengintip dari balik pintu kamarnya. Melihat Argatha yang sangat dekat dengan Ayana. Pria itu tidak terlihat dingin seperti biasanya.
“Emang tugasnya harus dikerjain berdua ya?” tanya Echa dari balik pintu.
Argatha dan Ayana melihat Echa yang hanya menunjukkan kepalanya.
“Iya kak, ini tugas kelompok,” jawab Ayana.
“Kelompok Cuma berdua? Itu kerja kelompok apa nge-date?” goda Echa.
“Kenapa ngerjain tugasnya nggak vidcall aja? Kan lebih gampang,” tanya Echa.
“Kalau bisa tatap muka, kenapa harus virtual?” skakmat Argatha.
Echa mengelus dadanya seraya bersabar menghadapi Argatha yang paling handal membuat lawan bicaranya kalah.
“Tumben lo pakai jeans? Biasanya juga pakai boxer di rumah,” ucap Echa sembari melihat Argatha dari kepala sampai ujung kaki.
“Lo bisa diam nggak sih?”
“Nggak,” ledek Echa.
“Gue penasaran, kenapa dia mau temenan sama lo ya, Ga?” tambah Echa.
“Kak mending lo masuk, daripada laptop lo hancur, nanti nggak bisa buat nonton mas kunang lagi,” ucap Argatha dingin.
“Oke bos. Siap masuk sekarang,” Echa langsung masuk ke dalam kamarnya, karena Argatha sudah mengeluarkan tatapan mematikannya.
Kedua sudut bibir Ayana mengembang, “Mungkin kalau Ayana punya kakak pasti enak, nggak akan merasa kesepian,” ucap Ayana.
Argatha menoleh. “Ada gue,” ucapnya tersenyum.
“Lo bisa anggap gue jadi sahabat, ataupun kakak lo sekalipun, ya walaupun kita seumuran,” tambah Argatha.
“Kalau anggap pacar boleh?”
°°°°°
Langit mulai gelap. Argatha beranjak keluar rumah untuk mengantar Ayana pulang.
Raut wajah Ayana terlihat sangat lelah, karena ia dan Argatha tidak hanya membuat puisi, melainkan membahas beberapa materi baru diajarkan di sekolah.
Ayana merentangkan tangannya, melepaskan otot-ototnya yang tegang.
Argatha melihat Ayana, lalu mengerutkan keningnya. “Capek banget emang?” tanya Argatha.
“Banget,” jawab Ayana manja.
Argatha menyalakan mesin motornya, dan memakai helm. “Ayo naik,” suruhnya.
“Argatha,” panggil Ayana.
“Apa?”
“Nggak ada niatan jawab pertanyaan Ayana yang tadi?”
“Yang mana?”
“Yang tadi.”
“Rumus teorema pythagoras?”
Ayana menarik napasnya panjang, ia berusaha menghadapi Argatha dengan sabar, lama kelamaan Ayana mulai terbiasa dengan sikap pria itu.
Tanpa basa-basi lagi, Ayana langsung memakai helmnya dan menaiki motor Argatha.
Sebenarnya Argatha mengerti pertanyaan yang dimaksud Ayana, tapi Argatha masih ragu dengan perasaan yang sedang ia rasakan. Argatha tidak mau membohongi perasaannya atau memaksakan dirinya untuk menyukai Ayana.
°°°°°
Setelah selesai mengantar Ayana pulang, Argatha membaringkan tubuhnya di sofa. Ia merasa malas masuk ke dalam kamarnya, padahal jarak dari sofa ke kamar tidak harus melewati tol.
“Hai adik!” Echa duduk di sebelah Argatha yang sedang bermain mobile legend.
Argatha hanya melirik kakaknya itu sebentar, lalu kembali menatap layar ponselnya.
“Pacarnya udah dianterin pulang?” tanya Echa.
“Dia bukan pacar gue.”
“Gue harus percaya sama omongan lo?”
“Seterah.”
“Nanti kalau dia sama cowok lain, nangis lo,” ucap Echa.
“Udahlah, nggak usah dibahas,” Argatha bangkit, lalu berjalan masuk ke kamarnya.
“Kebiasaan kalau lagi diajak ngomong langsung ngeluyur. Sopan kah begitu?”
Jempol, kelingking, jari tengah.
Kedua mata Echa terbelalak, mulutnya terbuka dengan sangat sempurna. “Heh! Siapa yang ngajarin lo begitu?”

Komentar Buku (252)

  • avatar
    Cunda Damayanti

    keren bgt sumpa

    10d

      0
  • avatar
    EN CHo Ng

    hi thank u

    16d

      0
  • avatar
    NgegameAlfat

    ini saya yang mau bicara ya tolong cerita ini sangat menyentuh hati dan prasaan hampir sama seperti yang kisah ku

    22/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru