logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 12

Semenjak kejadian saat pagi tadi, Ayana tidak mengeluarkan satu kata pun pada Argatha.
Argatha sesekali melirik gadis yang duduk di sebelahnya. Gadis itu terlihat sangat canggung.
“Nggak mau ngomong sampai kapan?” tanya Argatha membuka pembicaraan.
Ayana tetap tidak menjawab. Gadis itu fokus melihat Bu Dania yang sedang mengajar.
“Kalau orang nanya tuh dijawab, bukan didiemin,” ucap Argatha.
Bu Dania merapikan tumpukan kertas yang berada di mejanya. “Lima menit lagi bel pulang, tugas rumah untuk kalian sangat gampang, kalian tinggal buat puisi aja,” ucap Bu Dania.
“Tugas ini bukan untuk individu, melainkan kelompok,” tambah Bu Dania.
“Kelompoknya kita tentuin sendiri, Bu?” tanya Farah.
Bu Dania menggelengkan kepalanya pelan, lalu tersenyum. “Karena kalian semua duduk berpasangan, jadi penentu kelompok adalah teman sebangku kalian,” jelas Bu Dania.
Mulut Farah terbuka sempurna, raut wajahnya terlihat sangat terkejut. “Hah? Ibu nggak salah? Masa saya satu kelompok sama si Mupret,” protes Farah.
“Mupret apa?” tanya Bu Dania tak mengerti.
“Muka kampret,” ucap Farah dalam hati.
“Bu, saya nggak mau kelompok sama Aldi,” tolak Farah.
“Lo pikir gue mau sekelompok sama lo? Ogah!” ucap Aldi tak mau kalah.
“Mending gue sama Gaeun,” tambah Aldi.
“Lah, lo pikir gue mau sama lo?” ucap Gaeun ikut bersuara.
“Gaeun sama gue. No debat,” sahut Azka.
Bu Dania memukul mejanya pelan, membuat para murid berhenti berdebat. “Keputusan ibu sudah bulat. Satu puisi dikerjakan berdua dengan teman sebangku. Dilarang nyontek, dilarang mencari di internet, dilarang copy paste. Besok harus dikumpulkan,” ucap Bu Dania.
“Dengar nggak lo?” tanya Argatha.
“Dengar,” akhirnya Ayana membuka suara, setelah beberapa jam menyembunyikan suaranya.
Argatha menganggukkan kepalanya pelan, “Oh, bagus deh kalau dengar.”
“Pulang sekolah mau ngerjain?” tanya Argatha.
“Biar Ayana aja nanti yang ngerjain sendiri,” ucap Ayana dengan sorot mata yang masih enggan melihat Argatha.
Perlahan Argatha menakupkan wajah Ayana dengan tangannya. Membuat gadis itu melihat ke arahnya.
“Kalau ngomong tuh liatin orangnya, tatap matanya,” ucap Argatha sembari menatap Ayana lekat.
Ayana menelan ludahnya kasar, ia merasakan jantungnya yang mulai berdegup tidak beraturan.
“Waktu itu lo mau kita saling menatap kan? Giliran udah ditatap gini malah grogi,” goda Argatha.
“Si.. si.. siapa yang grogi? Nggak kok?” elak Ayana.
“Yakin nggak grogi?” Argatha semakin mendekatkan wajahnya dengan Ayana.
Ayana dengan cepat membuang pandangannya, ia tidak ingin terlihat lebih grogi lagi, terlebih lagi jantungnya semakin berdegup kencang.
“Nanti mau ngerjain dimana? Taman? Café? Mall?” tanya Argatha.
“Rumah Argatha,” jawab Ayana asal.
“Oke,” jawab Argatha cepat tanpa keberatan.
Kedua mata Ayana terbuka lebar, apa ia tidak salah mendengar jawaban Argatha? Kenapa Argatha tidak menolaknya?
“Argatha serius mau ngerjain di rumah Argatha?” tanya Ayana memastikan.
“Iya.”
“Nggak becanda?” tanya Ayana.
“Nggak.”
“Nggak ada penolakan?”
“Nggak.”
Ayana menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sebenarnya ia tidak benar-benar ingin mengerjakan tugas di rumah Argatha. Ia hanya asal ceplos saja tadi, tapi Argatha tidak keberatan.
“Tadi Ayana Cuma becanda aja, nggak ada niatan serius, sumpah.” Ucap Ayana sembari menunjukkan kedua jarinya yang membentuk pis.
“Omongan Ayana tadi asaArgatha memasukkan bukunya ke dalam tas, dan membantu Ayana merapikan bukunya. Mengingat bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu.
“Aldi,” panggil seseorang dari tengah pintu.
Beberapa pasang mata yang berada di dalam kelas melihat ke arah sumber suara.
“Kenapa, Rin?” tanya Aldi.
Arin perlahan masuk ke dalam kelas. Langkah  kakinya memang mengarah pada Aldi, tapi tidak dengan sorot matanya. Ia melihat Argatha dengan lekat.
“Aldi, anterin gue pulang dong,” pinta Arin.
“Nggak bisa, Rin. Gue ada urusan,” tolak Aldi cepat.
“Pulang bareng Argatha aja,” tambah Aldi.
Argatha mengerutkan keningnya. “Lah, kok gue?”
“Anterin, Ga. Kasian,” ucap Aldi enteng.
“Lu pikir gue tukang ojek?” tanya Argatha sinis.
“Gue pulang bareng Ayana,” ucap Argatha.
Kedua mata Ayana membulat, ia tidak menyangka dengan ucapan Argatha barusan. Padahal ia sama sekali tidak meminta Argatha untuk mengantarnya pulang.
“Yaudah, gue aja yang nganter Ayana pulang,” ucap Aldi.
“Kenapa nggak lo aja yang nganter Arin?” tanya Argatha.
“Tadi katanya lo ada urusan?” tanya Farah ikut membuka suara.
“Rumah gue sama Ayana searah, jadi nggak perlu muter balik nanti,” elak Aldi.
“Gue mau pulang bareng Ayana,” ucap Argatha sambil menggendong tasnya.
Arin menatap Ayana dengan sinis. “Lo nggak bisa pulang sendiri apa? Manja banget minta dianterin!” 
Ayana menaikkan satu alisnya, “Anda nggak salah ngomong gitu? Anda yang minta dianter pulang, kenapa jadi saya yang disalahin.”
Argatha menahan senyumnya. Gadis di sampingnya saat ini pasti sudah lupa dengan rasa sakit diperutnya, sehingga sudah kembali normal.
Arin mengepal tangannya, kedua matanya melihat tangan Ayana dengan tatapan kesal.
“Kalau Argatha mau nganterin Arin pulang, silahkan. Ayana bisa pulang sendiri,” ucap Ayana berjalan melewati Argatha.
Dengan cepat Argatha kembali menarik tangan Ayana. Membuat gadis itu berbalik ke arahnya. “Lo pulang bareng gue,” ucap Argatha.
“Tuh anda liat sendiri, Argatha yang mau nganterin saya pulang, jadi anda nggak usah ribet!” ucap Ayana ketus.
“Ayo Ga, kita pulang,” Ayana menarik pergelangan tangan Argatha, membuat pria itu tidak bisa menolaknya.
“Duluan ya para rakyatku,” tambah Ayana sembari melambaikan tangannya.

Komentar Buku (252)

  • avatar
    Cunda Damayanti

    keren bgt sumpa

    10d

      0
  • avatar
    EN CHo Ng

    hi thank u

    16d

      0
  • avatar
    NgegameAlfat

    ini saya yang mau bicara ya tolong cerita ini sangat menyentuh hati dan prasaan hampir sama seperti yang kisah ku

    22/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru