logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Dua Insan

Dua Insan

E Rinrien


1. Gadis Berpayung di Pemakaman

Suasana pemakaman saat ini sangat sepi. Bagaimana tidak, sekarang hujan turun sangat lebat mengguyur hampir seluruh kota ini.
Hampir semua orang memilih berdiam diri di dalam rumah demi menghindari hujan. Namun, tak sedikit yang terpaksa berteduh, karena sudah terlanjur di luar dan terjebak hujan.
Brian menghentikan mobilnya. Hujan yang datang tiba-tiba, membuatnya harus bertahan di dalam kendaraan roda empat itu.
Ia mengambil ponsel yang berada di tas selempang hitam. Tas yang selalu ia bawa ke kantor.
Diusapnya layar benda pipih itu untuk mengusir rasa jenuh. Tak jelas aplikasi apa yang akan ia gunakan. Ia hanya membuka kemudian menutup kembali aplikasi berwarna hijau bergambar balon percakapan. Hal yang sama pada aplikasi berwarna biru dan merah muda.
Tak menemukan hal yang menarik di ponselnya, Brian menatap ke luar kaca jendela mobilnya yang berembun. Tak sesuai rencana. Mungkin itu yang dipikirkannya saat ini.
Rencana mengunjungi makam ayahnya sebelum kembali lagi ke Jakarta harus terhambat karena tiba-tiba hujan deras. Sebenarnya sejak tadi ia ragu datang ke tempat ini. Awan gelap yang menggelayut di langit membuatnya sejenak menimbang. Namun, janji pada sang ibu untuk menengok makam ayahnya membuatnya mau tak mau datang ke sini.
Benar saja saat ia tiba di sini, hujan langsung turun dengan derasnya. Bagai air ditumpahkan dari langit, hujan pertama di bulan Oktober menyambutnya saat memasuki kompleks pemakaman.
Parkir di depan gerbang pemakaman, masih tetap di dalam mobil. Brian mengusap jendela yang berembun. Ia tertarik pada seorang gadis dengan ransel di punggung. Gadis itu berlari-lari ke luar dari areal pemakaman.
Brian tersenyum melihat pemandangan di depannya.
"Sudah bawa payung, masih juga lari," ucapnya sambil tersenyum geli.
Bagaimana tidak, menurut Brian gadis itu memang lucu. Dengan payung hitam lebar di tangannya, seharusnya ia tak perlu berlari untuk menghindari hujan.
Brian terus memandangi gadis itu. Tak jelas, namun ia dapat melihat gurat kecantikan yang tergambar dalam wajahnya.
Gadis yang ditaksir berusia dua puluh tahunan itu terlihat sedang berdiri seperti menunggu sesuatu.
Lagi-lagi Brian tersenyum melihatnya. Dalam pikiran lelaki yang genap berusia tiga puluh tahun itu, tingkah gadis itu termasuk konyol. Lagi-lagi payung hitam yang menjadi alasannya.
Dengan payung hitam di tangannya, seharusnya gadis itu tidak perlu menunggu. Tak satupun kendaraan umum yang akan lewat di depan jalan pemakaman ini. Perlu jalan sedikit ke depan agar bisa mendapatkan kendaraan umum.
Selain itu, Brian pun tak melihat satupun kendaraan pribadi yang terparkir di sini selain mobil miliknya.
"Apa yang ia tunggu?" tanya Brian lirih.
***
Hujan tak kunjung berhenti, kedua muda-mudi itu masih ditempatnya masing-masing.
Sebenarnya bisa saja Brian ke luar kemudian mengunjungi makam ayahnya lalu pulang. Payung di kursi belakang telah ia siapkan sebelum ke sini. Namun, tanah kuburan saat hujan seperti ini membuatnya urung melakukan itu. Ia merasa sayang jika sepatu mahalnya harus terkena lumpur.
Brian lupa, ia tak membawa sandal jepit untuk mengganti sepatunya. Namun, untuk berbalik pulang pun ia enggan. Gadis manis dengan payung hitam menarik perhatiannya.
Pasalnya sudah satu jam mereka di sini. Tak ada tanda-tanda gadis itu akan pergi.
Duduk di kursi kayu panjang dengan tenda ala kadarnya yang menaungi. Gadis itu berulangkali mengusap-usap kedua telapak tangannya untuk mengusir rasa dingin.
"Jika memang sedingin itu kenapa tidak pergi saja," ucap Brian berbicara sendiri.
***
Hujan telah berhenti. Namun, Brian tak juga ke luar dari mobil. Sisa hujan yang menyebabkan tanah kuburan menjadi becek membuatnya malas untuk ziarah.
"Biarlah, kapan-kapan aku ke sini lagi, toh Ibu gak bakal tahu," gumamnya.
Langit gelap yang sejak tadi tertutup awan mendung, perlahan berubah menjadi cerah. Langit sore itu menampakkan cahaya jingga yang sangat indah.
Brian menengok ke tempat gadis yang sejak tadi menarik perhatiannya. Kosong. Gadis itu sudah tak ada di tempatnya.
Meski bingung, ia tetap acuh. Ia kemudian memutar kunci. Deru mesin terdengar dengan lembut. Perlahan mobil hitam itu pergi membawa Brian meninggalkan areal pemakaman.
***
Sementara itu, di arah yang berlawanan dengan Brian seorang gadis tengah berjalan kaki pulang menuju rumahnya.
Ia adalah Bening. Gadis yang sejak tadi diperhatikan oleh Brian. Gadis manis dengan payung hitam. Gadis yang berulangkali membuat Brian tersenyum geli melihat tingkahnya.
Brian pikir gadis itu aneh. Dengan payung hitam di tangannya, Brian berpendapat gadis itu bisa meninggalkan makam sejak tadi. Tak perlu menunggu hujan berhenti.
Hal itu pula yang dipikirkan oleh Bening. Dengan mobilnya, bisa saja orang dalam mobil itu pergi sejak tadi. Tak perlu menunggu hujan berhenti. Bening tak mengerti bahwa orang dalam mobil itu sedang memperhatikannya.
Begitu juga Brian, ia tak mengerti apa yang ditunggu oleh Bening.
"Hufttt ... hahhh." Bening menghirup napas dalam-dalam.
Ia suka sekali dengan bau tanah basah. Bau tanah yang pertama kali diguyur air hujan. Bahunya mengikatkan pada dua orang yang paling ia cintai. Ayah dan ibunya. Sengaja ia mengunjungi makam ayahnya saat mendung tadi agar bisa menghirup bau tanah basah yang diguyur hujan.
Peringatan ibunya tak ia hiraukan. Sengaja ia menunggu sampai hujan berhenti. Ia ingin melihat cerahnya warna jingga pada langit sore.
Hujan pertama di bulan Oktober, membuat gadis berkerudung itu rindu. Rindu pada ayahnya yang telah tiada.
Memang selalu seperti itu, hujan selalu membawa kenangan-kenangan dalam hidup. Duduk lama di bangku panjang setelah mengunjungi makam ayahnya, membuat rindu itu sedikit terobati.
Dalam rinai hujan yang turun, Bening memutar memori otaknya di masa lalu. Bagaikan di dalam film. Adegan demi adegan yang diperankan oleh ia dan ayahnya terlihat sempurna dalam titik-titik air yang jatuh di hadapannya.
Sebentar tersenyum, sebentar menangis. Setiap adegan dalam memorinya membuatnya bahagia sekaligus sedih. Beruntung hujan sedang turun dengan deras, sehingga air hujan itu bagai tirai yang menutupi kesedihan di wajahnya. Begitulah, rindu pada yang telah tiada adalah rindu yang paling menyiksa. Hanya pada Tuhan tempat paling tepat untuk mengadu.
***
Bening sampai di rumah. Lumpur yang menempel di celananya membuat ia tersenyum.
Tak ada hal lain yang dipikirkan selain membayangkan ia tadi berlari-lari menghindari hujan bersama ayahnya.
"Kelakuanmu itu kok kayak anak kecil." Terdengar suara lembut menyambutnya saat memasuki rumah. Itu suara sang ibu.
Bening hanya tertawa kecil menanggapi teguran sang ibu.
"Ya sudah, cepat mandi. Nanti masuk angin," ucap Saliha.
"Iya, ibuku sayang," ucap Bening sambil merangkul pundak wanita yang sangat ia cintai itu.
Saliha geleng-geleng kepala melihat anak semata wayangnya. Entah ia harus sedih atau bagaimana melihat anaknya seperti itu. Ia sudah sangat hapal dengan tingkah Bening yang akan pergi ke makam saat mendung sudah menggelayut di langit.
Kebiasaan yang aneh untuk sebagian orang. Tapi tidak bagi Saliha, karena ia sudah paham betul alasan Bening begitu.

Komentar Buku (46)

  • avatar
    GonjangAnton

    ok makasihh

    30/06

      0
  • avatar
    SanjayaKelvin

    bagus

    14/06

      0
  • avatar
    ATIKAH llvuidt ihjkugjv Bg ti ii OKNURUL

    best

    11/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru