logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

12. Ini sungguh salah

Selamat membaca!!
~~~
Untuk kesekian kalinya Pa Rahman telat menjemput Renata, gadis itu sudah mulai merasa kesal karena akhir-akhir ini Pa Rahman selalu telat, dia bahkan sudah berbicara padanya untuk tidak terlambat.
Renata masih setia menunggu Pa Rahman didepan gerbang sekolahnya, ini sudah hampir setengah jam, tapi tidak ada tanda-tanda Pa Rahman datang.
Dia juga sudah mencoba untuk menghubunginya namun ponselnya tidak aktif. Dia juga sudah menghubungi orangtuanya dan mereka mengatakan tidak bisa menjemput karena sedang rapat.
Renata hanya bisa membuang napas pelan hingga sebuah mobil berhenti tepat didepannya.
"Supirmu belum tiba? Masuklah aku akan mengantarmu pulang." suara itu sudah tidak asing lagi bagi Renata, semenjak pertemuan pertamanya, dia menjadi lebih sering bertemu dengannya, apalagi Renata tau jika Pria ini adalah anak dari psikoterapinya.
Siapa lagi jika bukan Anggasta pria yang akhir-akhir ini selalu mengganggu harinya.
"Tidak. Mungkin sebentar lagi dia akan sampai." ucap dingin Renata.
Anggasta menatap Renata heran, kenapa susah sekali untuk mengajaknya menjadi akrab. Dia benar-benar ingin menebus kesalahannya, tapi gadis itu selalu menolak dan bertingkah seolah tidak mengenalnya sama sekali.
Anggasta turun dari mobil miliknya dan berjalan menghampiri Renata, sekali lagi dia akan membujuknya untuk pulang bersama. Pikirkan saja jika dia memaksa, karena itu adanya.
"Aku tidak akan melakukan apapun padamu, kenapa kamu selalu tidak mau saat aku menawarkan tumpangan."
Kali ini Renata menatap Anggasta, dia tidak berbicara apapun hanya fokus memandang wajah Anggasta sampai pria itu terlihat bingung dan salah tingkah.
"Kenapa melihatku seperti itu? Apa ada yang salah?"
Anggasta terlihat sangat bingung dan salah tingkah mendapat tatapan seperti itu, apa ucapannya salah hingga gadis itu menatap dirinya.
"Baiklah antar aku pulang." Renata langsung berjalan menuju mobil Anggasta dan masuk begitu saja.
Bingung. Itulah yang tengah Anggasta pikirkan saat ini, beberapa menit lalu Renata menolak ajakannya untuk pulang bersama, terus kali ini tiba-tiba dia menyetujuinya setelah menatap dirinya seperti itu. Sungguh, Anggasta ingin bertanya apa yang salah dengan Renata.
Aneh sekali
Tak ingin Renata berubah pikiran, dia juga langsung ikut masuk kedalam mobil. Dia melihat Renata sudah siap dan sudah menggunakan sabuk pengaman.
"Rumahmu dimana?" tanya Anggasta.
"Jalan saja, nanti aku arahkan." jawabnya.
Anggasta hanya menjawab dengan anggukan dan mulai menyalakan mesin.
Suasana didalam mobil sangat canggung, Renata maupun Anggasta sama-sama terdiam. Lebih tepatnya mereka bingung harus berbicara mengenai apa.
Beberapa kali juga Anggasta melirik Renata yang tengah sibuk memandang jalanan.
Tiba-tiba hujan mulai mengguyur jalanan, mereka berdua terjebak hujan dan macetnya jalanan. Tapi Anggasta maupun Renata hanya bisa diam tanpa ingin berbicara apapun.
Anggasta kembali melirik Renata, kali ini bukan wajah gadis itu, dia melirik tangan kiri Renata yang tertutup oleh switter abu-abu yang tengah dipakainya.
"Apa tanganmu sudah baik-baik saja?" tanya Anggasta pelan.
Renata yang tengah sibuk melihat jalanan mulai menoleh saat Anggasta mengajaknya berbicara.
"Sudah lebih baik." jawabnya.
Anggasta kembali mengangguk. Jika boleh jujur dia merasa sangat canggung dan tidak tau harus berbicara apa untuk mencairkan suasana. Renata juga terlihat sangat tenang dengan suasan canggung ini.
"Apa sesi konseling kemarin berjalan dengan lancar?" tanyanya lagi.
"Biasa saja."
Mendengar jawaban itu Anggasta hanya bisa mengangguk kembali. Gadis ini memang sangat susah untuk diajak berbicara.
"Apa menjadi ketua OSIS melelahkan?"
Anggasta langsung menoleh pada Renata. Gadis itu akhirnya mau mengajaknya ngobrol.
Anggasta tersenyum dan menjawab. "Cukup melelahkan, tapi karena dijalani bersama anggota lain aku merasa terbantu. Sudah tiga tahun aku menjabat sebagai ketua OSIS, padahal nilaiku tidak sebaik nilaimu, kenapa mereka selalu memilihku untuk menjadi ketua OSIS."
"Mungkin karena kamu selalu bertanggung jawab akan sesuatu, aku selalu iri pada orang-orang sepertimu." Renata menjawab dengan wajah murung.
Dia selalu merasa iri pada orang-orang yang selalu bisa berbaur dengan hal apapun. Mereka selalu melalukan apapun sesuai keinginan, bisa berjalan-jalan, berkumpul atau hanya sekedar belajar bersama.
Anggasta yang melihat itu merasa sangat sedih, dia memang tidak tau apa yang tengah gadis ini alami, dia juga tidak tau mengenai penyakitnya. Tapi dia tau mengenai kesepiannya Renata, gadis itu selalu menyendiri.
"Aku lebih iri padamu." jawab Anggasta.
"Apa yang kamu iri-kan dariku? Aku memiliki banyak kekurangan."
"Aku iri karena kamu pintar dan populer, andai saja aku pintar dan populer sepertimu, aku pasti sudah memiliki banyak pacar."
Tanpa sadar Renata tersenyum mendengar ucapan Anggasta, dia merasa sangat lucu dengan ucapan pria ini. Bagaimana bisa dia merasa iri hanya karena dirinya pintar dan populer.
Anggasta diam. Senyum yang saat ini dia pancarkan langsung menghilang saat dirinya melihat Renata tersenyum. Dia tidak menyangka jika candaannya akan selucu itu untuk Renata. Gadis itu bahkan bisa tersenyum dengan sangat manis.
Anggasta benar-benar terpaku, dia tidak bisa mengalihkan pandangannya sedikitpun saat Renata terseyum.
Cantik. Itulah yang bisa dia definisikan untuk senyuman Renata, ini pertama kalinya dia melihat Renata tersenyum, gadis itu tidak penah menunjukannya pada siapapun. Di sekolah dia selalu memasang wajah dingin dan tanpa ekspresi.
Bahaya sekali
Renata langsung tersadar saat Anggasta terus menatapnya, dia langsung memudarkan senyumannya dan beralih pada jendela mobil.
Anggasta juga langsung tersadar saat Renata memalingkan wajahnya, dia langgung kembali fokus menyetir saat mobil didepannya mulai bergerak maju.
Hujan sudah mulai berhenti dan mereka masih berada diperjalanan menuju rumah Renata. Jarak rumahnya cukup jauh dari area sekolah.
Padangan Renata langaung tertuju pada sebuah tempat dimana sekelompok anak laki-laki selalu menyiksa kucing jalanan.
Dia sudah tidak mendapatu mereka disana, bahkan dia sudah tidao melihat kucing tersebut disana.
Apa ada seseorang yang memindahkannya?
Mobil mereka yang tumpangi sudah lewat begitu saja dari daerah itu. Hingga beberapa menit kemudian Renata maupun Anggasta sudah sampai dikediaman gadis itu.
Renata membuka sabuk pengamannya, dia beralih menatap Anggasta. "Terimakasih." ucapnya.
Anggasta hanya mengangguk mendegar ucapan Renata.
Renata langsung turun dari mobil, dan berjalan masuk kedalam rumah.
Setelah melihat Renata masuk kedalam rumah, Anggasta langsung membuang nafas lega.
"Canggung sekali." gumamnya pelan.
Anggasta masih belum menyalakan mesin mobilnya, dia benar-benar terpaku oleh senyuman gadis itu. Jika saja dia bisa melihat Renata tersenyum lebih lama mungkin–dia akan benar-benar terpesona olehnya.
Setelah dia benar-benar merasa lebih baik, Anggasta langsung menyalakan mesin dan mulai pergi meninggalkan rumah Renata.
***

Komentar Buku (138)

  • avatar
    SariLinda

    bagus banget ini

    03/08

      0
  • avatar
    WijayaAngga

    Bagus ka, ada lanjutannya ga? atau cerita yang 11 12 ma ini bagus banget soalnya

    23/07

      0
  • avatar
    Abima aKeynan

    bgs

    11/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru