logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Satu Kantor

Hansel membuka kedua mata ketika suara alarm membangunkan. Pada saat ini, Erin masih pulas dalam pelukan. Takut sang istri terbangun, dia segera mematikan suara nyaring yang sejajar di kepalanya.
Tidak berniat untuk turun dari ranjang, dia mengecup dahi istrinya dan memandangi wajah yang begitu cerah itu sedikit lebih lama. Jantungnya tidak dipungkiri berdegup kencang, sadar bahwa dia telah jatuh cinta sekali lagi pada Sakya Erina.
“Hans, hmmm ....”
Erin melenguh tiba-tiba, membuat Hansel menipiskan bibir. Dia membawa jarinya untuk mengusap bibir lembut itu perlahan, menciptakan suara lenguh lainnya.
Kedua mata Erin terbuka lambat-lambat, mendapati sang suami yang tersenyum. Terutama jari yang menyentuh bibir dapat dirasakan basah.
“A—apa yang Kau lakukan?” Erin segera mengusap bibirnya.
Hansel tergelitik untuk menjawab, “Apa Kau belum puas sampai harus memimpikan aku? Kita bisa menambah satu putaran lagi jika Kau menginginkannya.”
Erin membalikkan tubuhnya dan tidak sengaja melihat kemasan di meja nakas yang beberapa sudah terbuka. Mereka tidak memakai obat-obatan untuk mencegah kehamilan, tetapi alat kontrasepsi dalam bentuk lain karena Hansel tidak ingin jika tubuhnya menjadi rusak jika mereka memilih obat sebagai upaya pencegahan.
“Maafkan aku harus membuatmu menunggu."
Erin tahu kalau suaminya ingin memiliki anak dan dia juga tahu kalau suaminya ingin melakukan sesuatu yang lebih dari hubungan intim mereka. Namun, karena keegoisannya membuat Hansel harus menderita.
Hansel memeluk istrinya, menyingkirkan helai rambut yang menghalangi tengkuk sebelum menghadiahkan sebuah kecupan kecil di sana. "Aku sudah melupakannya. Aku akan menunggumu sampai benar-benar siap.”
***
Jadi, Hansel sudah menerima keputusan terbesar di dalam rumah tangga mereka?
Erin sangat senang dan tidak bisa melupakan hari yang begitu berkesan baginya. Perkataan Hansel tadi pagi terus terngiang meski dia sudah berada di kantor cukup lama dan membuat dia tersenyum sendiri tanpa henti.
Mereka yang melihat cukup bertanya-tanya akan penyebabnya. Perubahan Erin sangat signifikan dibandingkan hari kemarin, terutama pada bagian wajah yang begitu cerah.
“Apa tadi malam sangat menyenangkan?”
Erin yang sedang menikmati capuccino hangatnya sedikit terkejut. “Oh, apa maksudmu?”
Gina menyipitkan mata, menilai dari atas sampai bawah. “Hari pertama pernikahan pasti sangat melelahkan. Malam kedua mana mungkin dibiarkan lolos. Wajahmu sangat cerah sampai membuat seluruh isi ruangan menjadi pangling. Aura pengantin baru memang sangat berbeda.”
Erin tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti akan perkataan barusan. Setelah kemarin menyinggung pernikahan, sekarang dia disinggung mengenai malam pernikahan.
“Bagaimana rasanya?” Gina mendadak sangat penasaran.
Erin sangat bingung bagaimana menjawabnya karena tadi malam bukan pertama bagi mereka. Jadi, dia hanya tergelak dan beranjak meninggalkan dapur karyawan.
Sayangnya, Gina tidak berhenti sampai di situ saja. Makhluk yang dinamakan dengan teman itu terus mengikuti dan menanyakan hal yang bersifat pribadi. Jika tidak memberikan jawaban, maka Gina pasti akan terus mengusik dengan pertanyaan yang sama.
Erin memperhatikan sekeliling. Semua orang begitu sibuk bekerja. Tidak akan ada yang mendengar jika dia berbicara dengan nada suara rendah karena kantor terbilang ramai saat ini.
“Bagaimana?” tanya Gina sekali lagi.
“Menyenangkan,” ucap Erin, hampir hilang suaranya saat berkata.
“Itu saja? Tidak bisakah mengatakannya lebih spesifik lagi?” Gina merengek.
Erin menepikan diri agar suaranya tidak memiliki celah untuk didengar oleh orang lain. “Saat tubuhmu disentuh, rasanya sangat menyenangkan, hangat, dan juga nyaman.”
Gina seperti terhanyut dalam imajinasi yang tercipta dari rangkaian kata-kata itu. “Bagian mana yang disentuh?”
“Seluruhnya, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Rasanya jika tidak mendapatkan sentuhannya akan membuatmu sangat gila.”
“Ya, ampun! Benarkah?! Sampai seperti itu?!”
“Ssstt ....” Erin berusaha menenangkan respons berlebihan yang dapat mengundang perhatian itu.
Namun, mereka harus terkejut karena baru sadar kalau ternyata ada yang memperhatikan dari belakang. Langsung saja dua orang wanita yang telah merah rona mukanya menunduk hormat.
"M—mister Hansel." Gina berucap.
“Kalian berdua dapat mengikuti saya ke ruangan.” Setelah berkata, Hansel berlalu pergi bersama sang sekretaris.
Gina berekspresi takut, terlebih Erin begitu gelisah. Sejak kapan sang suami ada di belakang mereka?
“Kau pasti lihat bagaimana raut wajah seramnya tadi. Apa kita akan dipecat?”
Wajar saja Gina sampai berpikir tentang pemecatan karena baru kali ini dipanggil ke ruangan atasannya dan sungguh sangat berharap kalau itu bukan karena dirinya yang akan dipecat.
“Tidak mungkin. Apa yang terjadi tidak separah itu.”
Bahkan jika benar, Erin tidak akan membiarkan suaminya memecat karyawan hanya karena alasan sepele. Apalagi kesalahan hampir sepenuhnya dia yang melakukan.
Mereka sudah seperti murid yang dipanggil ke ruangan kepala sekolah, setibanya di sana hanya bisa menunduk sambil memasang tampang bersalah.
“Anda sudah bisa keluar,” ucap Hansel, menunjuk salah seorang dari dua orang wanita di hadapannya.
“Saya?” Gina tercengang. Dia baru beberapa menit di ruangan itu.
“Kenapa? Apa Anda ingin lebih lama tinggal di ruangan ini?”
Gina langsung menyeret sepuluh jarinya ke depan. Tidak mungkin. Dia seharusnya senang karena ternyata ketakutannya tidak terjadi.
“Saya akan keluar seperti apa yang diperintahkan.” Gina membalikkan badan, lalu menyemangati Erin melalui ekspresinya sebelum benar-benar hilang dari peredaran.
Tidak lama setelah pintu ditutup, tersisa dua orang saja di dalam ruangan. Hansel memijat pangkal hidungnya dengan tidak berdaya. Reaksi itu berhasil membuat kegelisahan Erin meningkat.
“Kenapa?”
“Aku tidak mengira akan mendengar cerita panas di perusahaanku sendiri.”
“Sampai mana Kau mendengarnya?”
Hansel mendekat, sedekat wajah dengan wajah. Dia juga melingkarkan tangan di pinggang Erin. “Rasanya jika tidak mendapatkan sentuhannya akan membuatmu sangat gila.”
Erin menggigit bibir. Percakapan mereka sama sekali tidak menghilangkan rona merah yang menjalari mukanya.
“Tadi Gina—“
Hansel berdecak sebelum kalimat istrinya selesai. “Aku sudah katakan padamu kalau kita bisa menambah satu putaran lagi jika Kau benar menginginkannya. Kau menolaknya dan sekarang membahas hal yang begitu privasi dengan orang luar.”
“Kau sudah salah paham.”
“Salah paham? Di saat dirimu menggumamkan namaku di pagi hari? Kau juga tahu bahwa bukan hanya bibirmu yang basah.”
Erin tidak membantah kenyataan. Sial sekali dia harus bermimpi tentang suaminya tadi pagi. Sekarang dia terlihat seolah menjadi wanita yang belum terpuaskan.
Sementara Hansel saat ini meletakkan telapak tangannya di leher yang hawanya panas terasa, membuat Erin langsung menatap terkejut. Apalagi ketika tangan itu bergeser hingga mencapai tali yang menggantung di bahu.
Tidak berhenti di situ saja, Hansel terus menggeser tangannya dan membuat tali tersebut jatuh ke samping dalam keadaan masih rapi pakaiannya.
Erin dapat merasakan hangatnya jemari mengusap bahu dengan lembut, menciptakan sensasi yang menggelitik. Jeritannya tertahan menjadi desahan kecil.
“Ki—kita sedang ada di perusahaan sekarang,” ucap Erin, menahan gerakan tangan yang semakin turun hampir menyentuh dadanya.
Hansel tidak menggubris, justru menjejaki leher putih itu dengan bibirnya, mengisapnya hingga meninggalkan bekas.
"Oh, Hansel ...."
Erin segera mendorong sang suami sebelum logikanya hilang semua. Dia merapikan pakaian dalamnya kembali, bertepatan dengan suara ketukan pintu.
Tidak berkata apa-apa lagi, Erin bergegas meninggalkan ruangan. Dia tidak menaikkan pandangan, berharap dapat menyembunyikan rasa malu pada banyak orang yang didapati sedang berdiri di depan pintu.
Hansel sendiri hanya tersenyum, membiarkan mereka yang memiliki kepentingan masuk ke ruangan. Sebelum melanjutkan pekerjaannya, dia membaca pesan masuk yang baru saja diterima.
Siapa lagi pengirimnya kalau bukan Erin yang marah atas sikapnya tadi. Lantas, dia hanya tertawa mengejeknya.
[Erin: Sikapmu sungguh tidak berperikemanusiaan!]

Komentar Buku (113)

  • avatar
    BilqisAqila

    Hansel tersenyum jahil dan hal itu membuat Erin semakin naik saja hasratnya. senyuman yang selalu menawan hati dan memaksanya untuk merelakan diri tenggelam dalam mata terpejam, melanjutkan ciuman mereka yang sempat berhenti dengan gairah membara.. dari bait inilah saya senyum dan tertawa sendiri saat membaca

    16/07/2022

      0
  • avatar
    16serli

    bagus thor ceritanya sangat menarik

    26/06/2022

      0
  • avatar
    SyifaAskiya

    aplikasinya bagusss banget aku suka semoga barokah bagi ku

    06/04/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru