logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 26 FLORA POV | MENGUNTIT

Flora pov
Di sinilah aku. Bersembunyi di balik pohon Bonsai yang lumayan besar, tadinya aku ingin mengagetkan mereka tapi niat itu kuurungkan karena mendengar pembicaraan mereka.
Menguping pembicaraan orang sesekali gak apa-apa kali ya. Berasa jadi stalker jadinya.
Dari tempat persembunyian, aku dapat melihat jelas wajah mereka. Mereka bertiga berbadan kekar dan berotot. Berpakaian hitam, dua orang berkepala plontos dan satu orang lagi berambut panjang.
Aku curiga Mereka ini maling apa Mafia sih? Aneh. Kalau maling pasti sudah masuk ke rumah dengan melompati pagar. Tapi mereka malah berdiri di depan pagar. Ku tajamkan pendengaranku untuk mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Lo yakin ini rumahnya Robert Ardhana Kusuma?" tanya pria berambut panjang.
"Iya, kita udah cari tau. Dan kita yakin ini rumahnya." Pria berkepala botak yang memakai kacamata hitam itu menjawabnya.
Apa mereka maling profesional ya? Sampai-sampai nama pemilik rumah pun mereka tahu.
Tapi tunggu dulu. Ada yang aneh. Dulu waktu oM Robert masih ada, mereka gak tinggal di sini dan setelah kejadian itu, Mamah Ambar dan Axel pindah ke sini. Dari mana mereka tahu ini rumah om Robert, sementara om Robert udah lama meninggal. Ini mencurigakan.
Bugghh!
"Aw, shit!!"
Ahh sialan aku tidak sadar tongkat Baseball yang aku pegang jatuh menimpa kakiku. Ini sakit sekali, jangan-jangan kuku kakiku terlepas.
Aku menunduk untuk meraba jari kakiku. Tiba-tiba seperti ada yang mengusel-ngusel bokongku. Kulihat ke arah bawah.
"Ih! Mamah Mamah! Kucing! Kucing!"
Duggg!
Kepalaku sakit sekali terbentur ke pohon Bonsai karena kucing sialan ini. Kenapa bisa ada kucing sih di sini, setahuku Mamah Ambar tidak punya kucing. Apa jangan-jangan milik Bi Mar yang sedang pulang kampung?
Aku membekap mulutku agar tidak mengeluarkan suara, nanti aku ketahuan menguping pembicaraan mereka.
"Apa itu! Kenapa pohonnya goyang-goyang begitu!" Entah suara siapa dari salah satu mereka aku tidak tahu. Karena aku hanya fokus menunduk untuk menyembunyikan diri. Jangan sampai ketahuan, jangan sampai ketahuan.
Aduh kucing pergi dong. Jangan ganggu, aku lagi menguping ini! dan sialnya Kucing itu malah mengitari kakiku.
"Jangan-jangan ada orang lagi!"
"Gila lo, tengah malam gini mana ada orang berkeliaran. Lagian ini rumah sepi."
"Kita gak tau. Kali aja pembantu atau supirnya. Kalau kita ketahuan gimana? Pasti gagal rencana kita nanti."
Aku tidak tahu siapa yang berbicara itu. Karena posisiku sekarang, duduk di atas rumput dengan kepala yang menunduk tepat di atas lututku.
"Lo berdua berisik!"
Plok!
Aw! Kampret! Siapa yang ngelempar kepalaku pake batu kerikil akan ku patahkan lehernya nanti.
Lengkap sudah penderitaanku, kakiku yang tertimpa tongkat Baseball, kepalaku yang terbentur ke pohon, di lempar pake batu kerikil lagi, di tambah kucing yang mengusel-ngusel pantatku. Ih bokongku sudah gak perawan lagi.
Aku gak tahan dengan kucing ini. Aku mengusir kucing itu, dan dia melompat ke arah pagar.
“Syuh!” Dan beruntungnya kucing itu benar-benar pergi.
"Aw! Aw! Kucing! Kucing!"
Kulirik orang-orang yang ada di luar pagar. Pria berambut panjang itu melompat ke arah pria Botak yang ada di sebelahnya, dengan tangan yang di kalungkan di leher si Botak dan sebelah kakinya di lingkarkan di pinggul pria itu.
Dia melompat karena kucing tadi melompat ke arahnya.
Ih! Badan sebesar badak kok takut sama kucing. Cocoknya jadi Penari Balet aja.
"Lo takut kucing?" tanya si botak berkacamata hitam.
"Ekem! Gak gue gak takut kucing. Cuma kaget." Si Rambut Panjang itu melepaskan diri dari si botak yang di sebelahnya.
Ihh alasan. Orang tadi dia lompat ketakutan gitu kok.
"Gue bilang juga apa, gak mungkin ada orang. Itu kucing!" seru si Botak yang tidak memakai kacamata.
"Terus gimana selanjutnya. Kita sudah menemukan rumah mereka. Apa yang harus kita lakukan?" ujar si Botak berkacamata hitam.
"Kita tunggu perintah dari Bos, tiga bulan lagi Bos akan pulang ke Indonesia!" jawab si rambut panjang.
"Kita habisi sekarang saja gimana?"
"Kalau kita bertindak sekarang. Kita yang di habisi Bos nanti. Sudah ayo pergi."
Mereka pun pergi. Aku hanya menganga tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan.
Apa maksud mereka?
Menghabisi siapa?
Perintah dari Bos? Bos siapa?
Jantungku benar-benar tak karuan saat ini. Rasa khawatirku menjadi semakin besar.
Siapa mereka?
Kenapa mereka menyebut nyebut nama Om Robert.
Apa mereka suruhan seseorang?
Kalaupun iya siapa dalang di balik ini semua?
Kenapa akhir-akhir ini banyak sekali kejanggalan yang kutemukan, mulai dari surat teror yang ada di apartemen, hingga mereka yang sepertinya mengintai rumah ini.
Apa ini ada hubungannya dengan kejadian tujuh tahun lalu?
Akh aku pusing memikirkannya. Dan syukurnya mereka sudah pergi.
Aku beranjak dari persembunyianku tadi untuk masuk ke dalam rumah, menuju kamar Axel sampai di sana kulihat Axel tertidur dengan pulas. Kuletakkan telapak tanganku pada keningnya.
"Baguslah demamnya sudah turun."
Saat aku ingin menjauhkan tanganku dari keningnya, tiba-tiba saja tangan Axel menggenggam tanganku sangat erat, tapi matanya dalam keadaan tertutup, dia masih tidur.
Kucoba untuk melepaskan genggaman itu namun sangat sulit, sepertinya dia tak ingin melepaskan tanganku, malah dia membawa tanganku ke pipinya seakan memintaku untuk menangkup pipinya.
Tanganku yang masih tetap setia digenggam olehnya di timpa dengan sebelah pipinya seakan itu adalah hal yang paling membuat dia nyaman. Kutarik perlahan tanganku agar terlepas dari genggaman dan tindihan pipinya, tapi tetap saja, seolah di tahan oleh dia malah dia bergumam tidak jelas seakan melarang untukku melepaskan tanganku.
Akhirnya aku duduk di lantai membiarkan dia dalam posisi seperti itu. Tanganku terulur membelai rambut hitam dan lurus itu.
Ku perhatikan setiap lekukan wajah tampan yang tidak pernah berubah, kuusap matanya yang masih tertutup, mata yang aku kagumi sejak dulu.
Ku belai pipinya yang di penuhi lebam yang sudah terlihat membiru. Ku perhatikan tiap inci dari wajah pria itu.
"Wajahmu tidak berubah Xel, masih sama seperti dulu. Tampan. Tapi sikapmu benar-benar berubah, sangat berubah. Bahkan sekarang aku tidak mengenal siapa kamu."
Aku tersenyum kecut. Membayangkan, betapa besar perubahan dari seorang Axel. Dia tidak sama seperti yang aku kenal dulu.
"Andai kamu tahu siapa aku, apa kamu tetap memintaku untuk pergi?" tanyaku, meski aku tahu dia tidak akan pernah menjawabnya.
Tiba-tiba rasa kantuk menyerang diriku. Aku memejamkan mataku menyusul Axel ke alam mimpi.
***

Komentar Buku (99)

  • avatar
    HutabaratElisawati

    Trimkh,msih ada penulis novel yg mengajak pembcanya utk belajar utk bisa mengampuni masa lalu dan menerima kekurangan org laintanpa kesan mengajari atau panatik dlm suatu agama tertentu,membacanya seperti melihat alur cerita nyata bkn seperti novel2 yg lain yg mengutamakan hayalan tingkat tinggi yg kadang keluar dr fakta kehidupan

    18/01/2022

      0
  • avatar
    Jaku.Reza

    Mantap

    3d

      0
  • avatar
    Adamezza

    bagus

    22/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru