logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu

ARINI
“El, Farzan, udah selesai? Buruan kita mau berangkat,” teriak Arini sembari memasangkan kerudung instan di kepala Al, putrinya.
“Iya, Mami.”
“Sebentar, Kak,” sahut El dan Farzan nyaris bersamaan dari kamar masing-masing.
“Aku turun ke parkiran dulu taruh ini ke mobil ya, Sayang. Takut kamu lupa lagi,” ledek Brandon disambut delikan dari Arini. Sebuah kantong berisi Shiny Crust Brownies menggantung di tangan kanan.
“Bercanda. Masa gitu aja marah,” ujar Bran mengusap puncak kepala istrinya yang terbungkus rapi dengan kerudung segi empat berwarna peach.
“Barengan aja, Bran. Sebentar lagi El dan Farzan juga keluar dari kamar,” tanggap Arini merapikan kerudung yang menghiasi kepala Al.
Brandon hanya mengangguk setuju mendengar perkataan istrinya.
“Mami, kenapa Al harus pakai ini?” tanya Al memegang ujung kerudung dengan tangan mungilnya.
Arini tersenyum lembut sambil mengelus pipi chubby sang Putri. “Agar kamu selalu terlindungi, Princess. Sama kayak Mami.”
“Emang karung ini melindungi?”
Wanita itu tergelak mendengar pertanyaan Al. “Ini bukan karung, tapi kerudung.”
Brandon menatap lama Arini sambil tersenyum. Dia senang melihat bagaimana istrinya berinteraksi dengan kedua buah hati mereka dan Farzan. Wanita itu tampak begitu sabar menghadapi ketiga bocah itu.
“Papi kenapa lihatin Mami gitu?” celoteh Al sambil mengedipkan mata bingung.
“Mami kamu cantik banget ya, Al,” kata Brandon mengerling nakal ke arah Arini.
“Cantik banget, Papi,” balas Alyssa manggut-manggut menyunggingkan senyum, sehingga lesung pipi di kedua belah pipi terlihat.
Arini berdiri, lantas melihat Al dan Bran bergantian. “Kalian ini jago banget ngerayu ya?”
Baru saja Bran ingin menanggapi perkataan istrinya, Farzan dan El muncul di sela pintu kamar masing-masing. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang besar, memiliki empat kamar yang bisa ditempati bersama kedua anak dan adik Brandon.
Mereka berlima langsung turun ke basemen parkir. Begitu tiba di sana, Brandon duduk di kursi kemudi. El dan Farzan duduk di belakang. Sementara Al minta dipangku oleh ibunya di kursi depan.
“Wah, kayaknya kita harus ganti mobil nih,” seru Brandon sebelum menyalakan mesin.
“Iya. Anak-anak udah tambah gede sekarang. Bagusnya ganti sama apa ya?” Arini menoleh ke arah suaminya.
“Lexus LM atau Mercedes Benz V-Class aja, Kak,” usul Farzan.
Brandon terkejut mendengar perkataan adiknya. “Kamu tahu dari mana seri mobil seperti itu?”
Farzan nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala.
“Dia ‘kan hobi pantengin acara otomotif di TV, Sayang. Pasti sering googling juga tuh di internet,” komentar Arini.
Di rumah itu yang paling perhatian dengan anak-anak adalah Arini. Dia tahu makanan kesukaan, kebiasaan dan hobi mereka juga. Bukan berarti Brandon tidak perhatian, tapi kesibukan sebagai Komisaris Utama The Harun’s Group membuatnya tidak memiliki waktu yang cukup bersama dengan keluarga.
Berbeda dengan Arini, meski melakoni dua profesi sekaligus tapi masih memerhatikan perkembangan kedua anak dan juga adik iparnya. Dia memang cerdas dan disiplin sejak dulu, sehingga tidak heran jika bisa membagi waktu di sela kesibukannya sebagai CEO perusahaan katering dan ibu rumah tangga.
“Kamu ambil jurusan teknik aja nanti, Farzan. Teknik mesin. Mau nggak?” Arini melihat ke arah jok belakang.
“Masih lama, In. Belum SMA loh,” desis Bran sambil menginjak gas. Perlahan mobil meninggalkan area apartemen mewah tempat mereka tinggal.
“Harus direncanakan sekarang, Bran.”
“Aku ikut Kakak Cantik aja. Tapi maunya kuliah di luar negeri. Boleh nggak, Mas?” tanya Farzan hati-hati.
“Kamu mau kuliah di luar negeri? Mau di mana?” Bran mengerling ke arah kaca spion, lantas fokus lagi melihat jalan raya.
“Belum tahu. Aku masih belum searching kampus mana yang bagus untuk jurusan teknik mesin.”
“Nanti kita cari sama-sama di internet,” cetus Arini.
“Kalau Abang kuliah di luar negeri, El nanti main sama siapa?” Raut wajah El tampak sedih sekarang.
Farzan tersenyum kepada keponakannya, lalu mengusap lembut rambut hitam tebal El. “Nanti kalau udah besar, kamu pasti punya banyak teman. Abang bakal balik lagi kok ke sini.”
“Janji ya?”
Farzan menganggukkan kepala. “Abang janji, Dek.”
Sejak kecil Farzan tidak mau dipanggil Om oleh dua keponakannya. Dia ingin dipanggil Abang, karena jarak usia hanya enam tahun dengan El.
“Oke, kamu kasih tahu Mas aja mau kuliah di mana kalau udah ketemu kampus yang cocok. Biar Mas yang urus nanti.”
“Beneran, Mas?” Mata kecil Farzan melebar.
Brandon mengangguk mantap dengan pandangan lurus ke depan.
Arini tersenyum melihat ke tempat Farzan duduk sambil mengedipkan mata. “Nanti kita cari yang bagus kampusnya.”
Mobil terus melaju menuju lapas khusus wanita di daerah Jakarta. Sepuluh menit kemudian, kendaraan roda empat tersebut berhenti di depan pintu gerbang.
“Kalau udah selesai telepon aja ya. Aku mau ajak anak-anak jalan-jalan dulu,” ujar Brandon sebelum Arini turun.
Wanita itu menganggukkan kepala, lantas memberi kecupan singkat di bibir Bran. Setelahnya Arini dan Farzan turun dari mobil.
“Brownies buat Mommy udah dibawa ‘kan, Farzan?”
“Udah, Kak.” Wajah Farzan tampah lesu ketika melangkah menuju gerbang.
Langkah Arini berhenti begitu memasuki pekarangan lapas, setelah pemeriksaan pertama. Dia menarik napas panjang sambil memandangi Farzan lekat.
“Kakak tahu gimana perasaan kamu sekarang, Dek. Sekali ini aja coba tersenyum bertemu beliau di dalam. Sebentar lagi Mommy kamu akan bebas, dia pasti butuh dukungan moral dari anaknya.”
Mata hitam Farzan tampak berkaca-kaca. “Kakak nggak minta aku tinggal sama Mommy, ‘kan?”
“Tentu nggak, Sayang. Kakak udah janji dari awal mau membesarkan kamu. Maksud Kakak, Mommy kamu nggak punya siapa-siapa lagi sekarang. Hanya kamu yang dimilikinya. Kamu harus berbakti, meski nggak tinggal dengan beliau. Paling nggak kalian bisa berkomunikasi dengan baik setelah Mommy bebas nanti,” jelas Arini mengusap lembut rambut hitam Farzan.
Anak itu menganggukkan kepala dengan tersenyum samar. “Aku nggak mau tinggal sama Mommy. Maunya tetap tinggal dengan Mas dan Kakak Cantik.”
“Pasti, Dek. Peluk dulu sini,” risik Arini menarik Farzan ke dalam pelukan.
Dia sangat memahami bagaimana perasaan Farzan. Sejak dulu, anak itu tidak terlalu dekat dengan Ibu kandungnya. Farzan malah lebih dekat dan sayang kepada Lisa, meski memiliki predikat sebagai ibu tiri.
Saat sang Ibu masuk penjara karena skandal penggelapan dana perusahaan, Farzan masih berusia enam tahun. Selama masa tahanan, baru dua kali anak itu datang berkunjung. Begitu tahu apa yang telah diperbuat oleh wanita itu, dia memilih untuk tidak lagi datang menemuinya.
Setelah bertahun-tahun membujuk Farzan, akhirnya Arini berhasil membawanya datang ke sini lagi. Surga berada di bawah telapak kaki ibu, itulah yang sering dikatakannya kepada Farzan.
“Nanti di dalam kasih senyum buat Mommy ya. Udah lama banget loh kamu nggak ke sini. Mommy pasti bangga lihat kamu udah gede sekarang,” hiburnya agar Farzan menarik bibir tersenyum.
Farzan selalu patuh dengan Arini. Dia lebih mendengarkan perkataan kakak iparnya daripada Bran. Sejak kecil, anak itu sudah menyukai Arini bahkan sejak pertama kali mereka berjumpa.
“Adik Kakak pintar banget. Kita masuk sekarang ya,” ajak Arini sambil menarik tangan Farzan.
Keduanya kembali menjalani pemeriksaan yang ketat, sebelum bertemu dengan tahanan. Mengunjungi saudara di Lembaga Pemasyarakatan tidaklah mudah, harus melalui beberapa prosedur administrasi terlebih dahulu, hingga pemeriksaan ketat. Setelah melewati semuanya, mereka baru diperbolehkan masuk ke ruang besuk tahanan.
Tiba di dalam ruang besuk, Farzan menggenggam erat tangan Arini karena sebentar lagi akan berjumpa dengan Ibu yang telah melahirkannya. Tampak raut tegang di wajah anak itu.
Arini juga bisa merasakan tangan Farzan yang dingin. Dia tersenyum lembut kepadanya, kemudian mengangguk.
Tak lama seorang perempuan muncul di balik kaca pembatas berukuran tebal. Hanya ada beberapa lubang kecil membentuk lingkaran, agar tahanan bisa berkomunikasi dengan pengunjung. Perempuan yang hanya berusia satu tahun di atas Arini itu, kini memandangi Farzan dengan mata berkaca-kaca.
“Farzan?” lirihnya sembari memegang kaca pembatas.
Anak laki-laki itu hanya tersenyum tipis. Perasaannya mulai berkecamuk melihat kondisi sang Ibu yang cukup memprihatinkan. Dalam ingatannya, Ayu adalah wanita yang cantik dan modis. Make up selalu menghiasi wajah tirusnya.
Keadaan sekarang berubah, dia tak lagi seperti dulu. Kulit yang dulu kenyal, kini mulai kering dan menunjukkan tanda-tanda penuaan. Dalam waktu lima tahun, Ayu berubah menjadi sosok berbeda. Tak lagi sama dengan yang dijumpai terakhir kali.
Arini juga menyaksikan hal itu. Dia tak menyangka perubahan fisik Ayu tampak begitu drastis dari sebelumnya. Tidak ada lagi rambut hitam tebal yang tergerai indah, kini rambut itu mulai menipis. Rambut putih juga tumbuh beberapa di helaiannya.
Ya ampun, kasihan juga lihat tampang Ayu sekarang. Nggak nyangka, gumam hati Arini.
Arini hanya melihat sendu interaksi ibu dan anak yang tidak berjalan dengan semestinya. Apalagi Farzan tidak terlalu menanggapi perkataan Ayu. Tampak jelas ketidaknyamanan dari paras anak itu.
“Pulang sekarang, Kak?” tanya Farzan setelah keadaan hening.
Iin mengerling ke arah Ayu yang sedang menggelengkan kepala. Dia bisa melihat sorot rindu di mata wanita itu kepada Farzan.
“Aku tunggu di luar ya,” kata Farzan sebelum meninggalkan Arini dan Ayu berdua di ruang besuk.
Wanita itu hanya bisa menarik napas singkat melihat Farzan menghilang di balik pintu. Dia menoleh kepada Ayu yang tersenyum kecut kepadanya.
“Makasih udah rawat Farzan dengan baik ya, Rin,” ucap Ayu menatap sendu Arini.
“Sama-sama, Mbak.”
Ayu memandangi Arini lama sebelum berujar, “Bulan depan aku udah bebas. Bisa minta tolong nggak, Rin?”
Kening Arini berkerut mendengar pekataan Ayu. “Minta tolong apa, Mbak?”
“Tolong carikan aku tempat tinggal. Nggak tahu lagi harus pergi ke mana setelah bebas. Kamu tahu sendiri gimana kondisi aku sekarang, ‘kan?”
Terdengar embusan napas berat dari sela hidung Arini. Dia tidak bisa memutuskan ini sendiri, karena harus berdiskusi dengan Brandon terlebih dahulu. Bagaimanapun, Ayu pernah menyebabkan retaknya rumah tangga ayah dan ibu mertuanya.
“Nanti aku diskusikan dengan Brandon dulu, Mbak,” ujar Iin kemudian.
“Makasih, Rin,” ucap Ayu tersenyum tipis.
“Mas Sandy apa kabar sekarang?” tanya wanita itu lagi.
“Papa baik-baik aja, Mbak. Alhamdulillah.”
“Bisa bujuk Mas Sandy buat jemput aku bulan depan, Rin?” pinta Ayu lagi.
Mata Arini membulat mendengar permintaan Ayu. Sumpah demi apapun, dia tidak akan membiarkan wanita ini merusak rumah tangga mertuanya yang kembali harmonis lagi lima tahun belakangan. Iin menggeleng dengan tegas sebagai jawaban, tanpa menanggapi dengan perkataan.
“Maaf, Mbak. Aku harus pamit sekarang. Farzan udah nunggu di luar,” cetusnya lantas berdiri.
Tanpa menoleh kepada Ayu, Arini melangkah menuju pintu keluar.
“Percuma kamu menghindar, Arini. Aku akan bujuk Mas Sandy agar mau menerimaku lagi,” teriak Ayu dari bilik besuk.
Genggaman Iin mengerat di tali sling bag yang menggantung di bahu kiri. Matanya terpejam erat.
“Coba aja kalau lo bisa. Gue dan Bran nggak akan biarkan hal itu terjadi,” bisiknya pelan sambil tersenyum di sudut bibir.
Bersambung....

Komentar Buku (141)

  • avatar
    WINATA WIJAJAADHI

    ngetot

    01/07

      0
  • avatar
    arya dinda

    novel nya sangat lah bagus dan saya menyukai nya dengan novel ini

    20/05

      0
  • avatar
    IkrimahFani

    baguss

    09/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru