logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

7. Janji

Suasana hati Eve sangat senang. Dia melewati gang sempit bersama Jevras. Tiba-tiba dia kaget saat tubuhnya dihadang oleh beberapa orang bertubuh kekar.
“Om,” lirih Eve mundur dan bersembunyi di belakang Jevras.
“Kalau kalian ingin lewat dari sini maka kalian serahkan uang dan barang kalian!” bentak salah satu dari mereka.
Temannya mengangguk dengan wajah angkuh dan sagar.
“Cepat! Kalian jangan membuang waktu kami!” desaknya.
“Kalau kalian masih ingin merasakan udara besok pagi, maka menyingkir di hadapanku,” ujar Jevras membuat mereka tertawa remeh.
Bugh!
Jevras segera menangkis serangan tinju oleh pria di depannya. Dia menatap datar dan mengeluarkan pistol miliknya.
“Beruntung malam ini aku hanya membawa pistol, jika membawa pisau, aku pastikan tubuh kalian terkoyak,” ujarnya.
“Bagaimana ini, Bos? Dia memiliki senjata api?” tanya anak buahnya cemas.
“Sudah! Serang saja!” Pria itu tampak nekat dengan menyerang Jevras menggunakan belati yang dibawanya.
Dengan sengit dia membabi buta ke arah Jevras. Sayangnya, mereka tidak tahu yang dihadapinya bukan orang biasa. Melainkan seorang mafia kelas atas.
Bugh!
Bugh!
Tubuh mereka terpental.
Jevras menepuk jasnya setelah melihat ketiga pereman gang itu jatuh tidak berdaya. Sebenarnya dia ingin melepas pelatuk untuk mereka, tetapi mengetahui jika Eve masih ada di belakangnya, sudah pasti tidak mau membuat gadis itu ketakutan.
Ekor matanya menangkap Eve yang sedang duduk di bersembunyi di belakang batu besar dengan mata terpejam. Dia tahu Eve pasti ketakutan.
“Kalian akan menemukan ajal kalian malam ini,” ujar Jevras tenang.
Ketiga pria itu berusaha kabur dengan sisa tenaga mereka. Dan, arah jalan yang mereka tuju sebenarnya arah menuju jalan kematian. Di depan sana, sudah ada yang siap menunggunya hanya dengan hitungan detik.
Klik.
“Dengar, kalian habisi pereman yang sering berjaga di gang sempit jln. ***. Buang mayatnya di kandang anjing liar,” titahnya saat earpiece-nya terhubung.
“Baik, Tuan.”
Klik.
Dia mematikan sambungannya karena sama saja kalau menyalakannya, Tuan Waston juga akan mendengarnya bersama seorang gadis jika Bosnya itu menyalakan earpiece-nya.
“Keluarlah, mereka sudah pergi,” ujar Jevras.
Eve membuka matanya dan melihat Jevras sendu. Dia segera menerima ulur tangan pria di depannya. Tatapannya menatap lekat wajah tampan yang diterangi temaram sinar rembulan.
“Apakah Om terluka?” tanya Eve khawatir.
“Tidak, kamu bisa melihat tubuh saya,” ujarnya.
Eve tersenyum lega. “Eve lupa mengatakan pada Om jika kata adik-adik Eve memang di sini selalu ada pereman yang suka meminta uang,” jelasnya sambil meneruskan langkah.
Butuh beberapa menit kemudian mereka tiba di gubuk Ibu Brenda. Mereka menatap Jevras dengan pandangan bingung, tetapi kagum sekaligus.
“Dia sangat tampan,” bisik Cora kepada Thea membuat gadis itu mengangguk.
Eve terbelalak mendengar ucapan Cora. Lain halnya dengan Jevras hanya tersenyum tipis.
“Bu, kenalin ini Om Jevras. Dia ... dia teman Eve,” ujar Eve.
“Silakan masuk, Nak,” ajak Bu Brenda.
Jevras masuk ke dalam dan melihat kondisi rumah Bu Brenda yang menyerupai gubuk. Dia duduk di bangku kau yang mulai koyak.
“Ada apa Nak Eve malam-malam datang ke sini?” tanya Ibu Brenda.
“Eve datang bawa makanan untuk Ibu dan adik-adik Eve,” ujar Eve mengeluarkan bungkusan makanannya di atas meja.
Wajah adik-adiknya langsung semringah. Mereka meneguk ludah saat Eve membukanya. Makanan itu tidak pernah dirasakan oleh lidah mereka.
“Terima kasih banyak, Nak Eve,” ucap Ibu Brenda terharu melihat kebaikan Eve yang memikirkan mereka.
“Sama-sama, Bu. Ini juga makanan dari Om Jev,” ujar Eve melirik Jevras yang hanya diam.
“Terima kasih, Nak Jev,” ujar Ibu Brenda.
Jevras berdehem. “Khm, sama-sama, Bu.”
Eve menemani Bu Brenda dan adik-adiknya makan. Setelah itu, dia pamit pulang karena takut terlalu larut malam di luar.
“Kalau begitu kami pamit, Bu, dan juga adik-adikku,” ujarnya.
“Iya, Kak Eve!”
“Hati-hati, ya, Nak.”
Eve mengangguk dan mengeluarkan lima uang merah untuk Bu Brenda. Tentu saja Bu Brenda langsung menolak. Matanya sampai berkaca-kaca.
“Tidak perlu, Nak. Gunakan untuk keperluan sekolahmu,” ujarnya.
“Bu, Eve masih ada, kok.” Eve menarik kembali tangan Bu Brenda dan meletakkannya di sana.
Bu Brenda hanya bisa diam dengan bibir bergetar. Eve terlalu baik padanya dan juga kepada anak-anaknya. Dengan penuh kehangatan dia memberikan sebuah pelukan hangat sebagai tanda terima kasihnya.
“Ibu akan selalu mengingat kebaikanmu,” ujar Bu Brenda.
“Hehehe, Eve sangat sayang sama Ibu dan adik-adik Eve,” ujarnya membuat adik-adiknya ikut menyerbunya dengan pelukan.
Jevras yang menyaksikan itu tertegun. Dia merasa jiwa sosial dalam diri Eve sangat tinggi. Dia peduli pada orang sekitarnya, padahal gadis itu memikul beban berat.
Di saat dia menangis, dia berusaha membuat orang lain tersenyum. Di saat dia terluka, dia berusaha mengobati luka orang lain.
Memang anak yang baik, walau hidupnya sangat malang. Dan, Jevras sudah berjanji akan mengubah hidup Eve yang malang itu menjadi lebih baik.
***
Sepulang dari rumah Bu Brenda. Jevras langsunf mengantar Eve ke kompleks. Mobilnya dia tinggal di depan jalanan. Ia memaksa menemani gadis itu melewati gang.
“Om, Eve tidak apa-apa,” tolak Eve berulang kali.
“Saya harus memastikan kamu masuk ke dalam rumahmu,” ujar Jevras bersih keras.
Eve sebenarnya takut jika Jevras menemainya sampai di depan rumah bibinya. Takut kalau bibinya melihatnya dan murka.
Jevras mempertahankan dirinya untuk tetap ikut sampai ke depan rumah gadis di sampingnya. Dia ingin tahu kondisi rumah Eve yang sebenarnya. Namun, saat dia melangkah, dia mencoba memerhatikan sekitar rumah di sini yang tampak sederhana dan tidak terlalu kumuh juga.
“Masuk ke dalam perumahan kompleks Eve ternyata lumayan jauh. Lalu, bagaimana bisa dia keluar berjalan kaki dengan kaki terluka?” batin Jevras.
Dia memandang sekitar dan melihat ada lorong lebih luas dan tembus jalan raya. Rupanya Eve menggunakan jalan pintas selama ini untuk lebih cepat sampai ke jalan raya, walau tidak bisa dikatakan cepat juga sebenarnya, karena lumayan membuat kaki terasa pegal saat berjalan kaki.
“I—ini rumah Bibi Eve, Om,” ujar Eve berhenti di sebuah rumah bercat hijau.
Jevras menatapnya penuh penilaian. Cat pagarnya mulai luntur dan terlihat beberapa dindingnya retak. Pilar lantai juga banyak yang retak.
“Kalau begitu masuklah. Saya akan pulang,” ujar Jevras.
Eve mengangguk. Dia menyunggingkan senyum membuat Jevras diam-diam memuji senyumannya.
Ketika Eve sudah masuk ke dalam gerbang rumahnya dan dia sudah mengambil tiga langkah saat berbalik, suara teriakan menggema membuatnya menoleh.
“Eve! Dasar anak sialan! Kau itu jadi pelacur di luar sana, hah?!”
“Hiks, ampun, Bibi!”
Eve meringis kesakitan saat rambutnya langsung dijambak keras. Matanya berlinang. Di samping sofa, Bella menatapnya dengan tatapan puas.
Bruk!
“Bella, berikan Mama gunting!”
Eve menggelengkan kepala. Dia berusaha menggapai kaki Bibi Eloisa. Memohon ampun dan menangis agar bibinya iba.
“Kau itu disekolahkan bukan sekolah yang benar malah bolos! Kau sudah dua hari tidak masuk sekolah, hah?!” bentak Bibi Eloisa.
“Hiks, ampun, Bibi. Eve tidak bermaksud bolos, tetapi Eve terlambat datang ke sekolah,” ibanya menjelaskan.
“Halah! Alasan dia, Ma!” Bella datang membawa gunting yang diminta mamanya.
“Pegang tangan dia!” titah Bibi Eloisa.
“Hiks, Bibi, ampun! Tolong kasihani Eve! Huwaa!” Eve meronta-ronta. Berusaha bersujud.
Rambut Eve berjatuhan di lantai. Bibi Eloisa tersenyum puas setelah membuat rambut panjang Eve berantakan dengan cara mengguntingnya asal-asalan.
“Hiks, Bibi,” isaknya menatap rambutnya nanar.
“Kalau kau berusaha menjadi jalang dan bolos sekolah, maka bukan memotong pendek lagi rambutmu, tetapi Bibi akan membuatmu botak!” bentak Bibi Eloisa.
Dia menyiram Eve air dan melempar gayungnya mengenai kepala gadis itu. Bella tidak merasa iba dengan penyiksaan yang didapatkan Eve, justru dia menoyor kepala Eve sebelum beranjak dari sana.
“Cih, kau tampak seperti sampah!”
Eve hanya menunduk setelah menerima perlakuan tidak beradab dari bibi dan sepupunya. Dia merasa kepalanya sangat sakit akibat jambakan bibinya. Lengannya bahkan terasa perih akibat cengkeraman Bella.
“Hiks, Ayah, maafkan Eve tidak bisa menjaga rambut Eve,” lirihnya sedih.
Padahal  ayahnya sangat mendukungnya memanjakan rambut. Pria itu mengatakan bahwa dia ingin melihat rambut Eve panjang da mengajak putrinya ke taman. Dia ingin berjalan, katanya, ‘Ayah ingin sekali berjalan denganmu dengan rambut panjang. Ibumu pasti senang jika membawa putrinya berkeliling layaknya seorang putri kerajaan.’
Namun, sekarang ayahnya pergi sebelum dia mengajaknya jalan-jalan. Tidak ada berjalan layaknya seorang putri, karena kini dia duduk dengan keadaan bsah kuyup. Penuh luka lembam dengan rambut acak-acakan.
Bruk!
“Siapa kau!”
“Dasar manusia sinting! Kau merusak pintu rumah kami!”
***
TBC
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya.
With purple 💜

Komentar Buku (436)

  • avatar
    SusantoDinar

    pinjam uang dana

    6d

      0
  • avatar
    LawatiSusi

    membaca sekilas sudah seru

    6d

      0
  • avatar
    FirdausMuhammad

    cerita yang sangat menarik dan saya amat menyukainya

    9d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru