logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Teror Pertama

Kabar tentang cinta pertamaku akhirnya sampai ke telinga Mayra. Gadis tomboy yang baru menginjak sweet seventheen itu semula kesal dengan cerita dan sikapku. Namun, langsung terbahak saat scene mobil hampir masuk jurang menjadi endingnya. Bian memang ekstrim, dan Mayra sangat-sangat absourd.
"Berarti Kak Bian perjuangan banget dong dapetin hatinya Kakak," celetuk Mayra tiba-tiba.
"Lebay kamu, May! Perjuangan apaan? Hampir diajak mati iya!" balasku kesal.
Lagi, Mayra terbahak dengan jawabanku. "Tapi, akhirnya mau kan jadi pacarnya?"
"Terpaksa!"
"Tapi, sekarang nggak terpaksa kan cinta sama dia?"
Aku segera menoyor pelan kepala Mayra. Dari tadi dikasih cerita bukannya menyahut baik, malah tidak berhenti meledek. Mana katanya seneng banget kalau punya Kakak sepupu Bian. Cakep, romantis, kaya, dan ... red flag kalau aku, mah.
Astaga, pikiran bocah kenapa sejauh dan se-absurd itu, sih?
"Padahal aku ke sini mau minta pendapat kamu, May. Bukan ledekan!" Dengan wajah kesal akhirnya kukatakan maksud ke rumah Mayra, siang ini.
Menoleh sekilas, gadis itu tetap fokus memakan coklat dalam hitungan beberapa menit. Membuatku harus bersabar entah sampai level ke berapa. Fokus amat takut coklatnya cepat habis kalau sambil ngobrol kayaknya.
"Sudah kubilang, kan, Kak Della. Aku setuju banget Kak Bian itu jadi pacar Kakak," ucap Mayra santai. "Harus ngomong berapa kali lagi?"
"Bukan itu, May!" Aku ngegas.
"Terus apa?"
Segera kukeluarkan gulungan kertas kecil dari saku baju, menyerahkan ke tangan Mayra beserta pita kuning pengikatnya. Tadi, saat menemukan tergantung di tangkai mawar halaman rumahku, kertas itu terikat rapi oleh pitanya. Karena penasaran, ya aku buka lebih dulu.
"Apa ini?" tanya Mayra keheranan.
"Udah, buka aja!" balasku.
Meletakkan satu bungkus coklat yang isinya tinggal setengah, Mayra kemudian membuka gulungan kertas, dan membaca perlahan.
JAUHI BIAN ATAU HIDUPMU HANCUR!
Beberapa saat kami saling pandang dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Menebak siapa pengirim tulisan meresahkan itu, dan ada hubungan apa dengan Bian. Semoga otak Mayra tidak berpikir receh lagi seperti tadi.
"Udah nerima berapa kali, Kak?"
"Tiga ini, May."
"Isinya sama?"
"Iya."
"Sejak kapan?"
"Seminggu setelah aku jadian sama Bian. Dan sekarang genap satu bulan."
"Seminggu sekali?"
Aku mengangguk.
"Berarti Kakak harus membicarakan masalah ini sama Kak Bian."
"Aku takut, May. Nanti dikira--"
"Ya kalau nggak mau, putus aja sekalian!" Entah kenapa, tiba-tiba Mayra semarah itu. "Cinta sih cinta, tapi harus realistis juga! Kalau ada masalah dibicarain, bukan diem-dieman!
Kak Della mau hidup dihantui teror? Nggak tenang, terus akhirnya itu ancaman jadi kenyataan? Enggak, kan?
Orang yang udah berani ngasih teror, artinya berani menanggung resiko. Dia akan nekat melakukan apa aja kalau tidak direspon!"
Trans Jakarta mulai melaju ke arah bandung.
Gadis itu tidak mau berhenti merepet tentang sinyal bahaya, hingga aku kehabisan kalimat hendak menanggapi. Nemu solusi enggak, sakit kepala iya. Meskipun setiap ucapan Mayra ada benarnya, aku tetap merasa seperti anak kecil yang sedang diajari membaca. Setelah ngobrol hal receh agak lama, aku memutuskan pulang.
Sampai di rumah, beraktivitas, bahkan tidur sekali pun terbawa mimpi kata-kata Mayra. Benar, tapi gimana ngomongnya ke Bian?
Aku kesulitan fokus mengerjakan apa saja, beberapa tugas kantor terbengkalai hingga beberapa hari setelah itu. Bahkan, ada saja alasanku jika Bian mengatakan ingin bertemu. Aku belum siap jujur.
Mungkin aku harus menjauh mulai saat ini. Belajar ikhlas bahwa ada yang lebih penting dari cinta laki-laki itu. Papa, Mama, dan nyawaku sendiri.
Bi, maafin aku.
°°°°
"Della, kenapa akhir-akhir ini kamu berubah? Apa salah aku?" Bian langsung menumpahkan kekesalan saat aku sudah berada di dalam mobilnya.
Dalam beberapa kesempatan bertemu, aku selalu menolak. Dan siang ini Bian menjemputku ke kantor, menyeret masuk mobil tanpa boleh ada penolakan. Alasan makan siang di luar membuat aku tidak bisa berkutik akhirnya.
Aku diam, tidak sanggup menjawab satu kalimat pun bentakan direktur perusahaan yang tengah dikuasai amarah itu. Lagipula ini salahku, memilih menghindar supaya teror itu selesai, daripada membicarakan baik-baik dengan Bian.
"Kalau ada masalah atau aku salah, kamu bicara! Aku bersedia minta maaf, dan kita selesaikan baik-baik. Bukan menghindar kayak gini, Del!" bentak Bian lagi. Frustasi.
Dengan air mata yang hampir jatuh, aku menatap laki-laki di sampingku ini. Masih dikuasai amarah, dia merepet panjang lebar menumpahkan apa yang dirasakan. Biar saja, semua itu belum seberapa sakit dari keputusanku setelah ini.
"Jawab aku, Della! Ada apa dengan kamu?" desaknya.
"Maaf, Bi. Aku ... aku ...." Tidak sanggup melanjutkan ucapan, isakan lebih mendahului sebagai gambaran hancurnya perasaanku saat ini.
"Aku nggak butuh maaf kamu, aku butuh penjelasan!" tukas Bian datar. Kemudian membelokkan mobil ke area parkir sebuah kafe.
Aku dan Bian turun dan menuju kafe. Sepanjang langkah dia membisu, membiarkan aku sibuk dengan pikiran sendiri hingga reda. Rasanya aku semakin serba salah.
"Maafin aku, Della. Udah mengingkari janji untuk nggak bikin kamu nangis." Bian menggenggam tanganku sambil minta maaf, sebelum mengajak menikmati menu pesanan kami.
Aku tahu, Bian sebenarnya tidak tega semarah tadi, membentak saja selama ini berusaha ditahan meskipun sikap kekanakan yang kumiliki sering keterlaluan. Bian lebih memilih mengalah daripada bertengkar. Namun, masalah ini seratus persen salahku!
Aku berusaha tersenyum. "Harusnya aku yang minta maaf, Bi. Ada masalah malah menghindar, nggak ngomong sama kamu. Maaf."
"Sstt, udah nggak apa-apa. Kalau kamu uudah tenang, cerita. Mau tetap di sini sambil makan, atau kita healing ke mana, terserah kamu," balas Bian lembut.
"Kamu udah nggak marah lagi, kan, Bi?" tanyaku ragu.
Laki-laki ini menggeleng, tersenyum tipis sebelum mendaratkan kecupan di tanganku. "enggak, aku tadi cuma kesal.
Selama berhari-hari aku mikirin kamu, Della. Tidak ada ketenangan sama sekali. Kecuali rindu, kamu yang menghindar terus menerus, serta perasaan tidak dihargai membuat aku frustasi.
Kalau memang ada yang lain, aku ikhlas. Asal kita selesaikan baik-baik," lanjut Bian panjang lebar, dengan intonasi lebih tenang.
Aku menghela napas berat, menyusun oksigen sekaligus kesiapan hati untuk bicara. Rasanya tidak lagi selera makan menu pesanan itu, pas Bian ngomong 'ada yang lain' tadi.
"Hubungan kita cukup sampai di sini aja gimana, Bi? Aku minta maaf, nggak bisa bertahan lagi." Meski terbata, aku bisa menyelesaikan kalimat itu akhirnya.
"Masalahnya?" tanya Bian.
"Aku nggak bisa cinta sama kamu."
"Selain itu?"
Astaga, bagaimana ini? Selain itu ... apa, ya?
Bian sepertinya jelas menangkap perasaan gelisah dan gugup di mataku. Ada tegas yang kupaksakan saat mengatakan 'putus' tidak jujur dari hati, dan sangat terpaksa. Sehingga beberapa saat setelah saling diam, dia kembali mendesak.
Astaga, aku harus apa?

Komentar Buku (427)

  • avatar
    KeringBatu

    aku suka dengan crita ini

    19/06

      0
  • avatar
    PirahSafirah

    Mantapp

    26/03

      0
  • avatar
    DinanaFiki Ariska

    👍👍👍👍

    06/03

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru