logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Mengingat Sejenak Masa Itu

Aku berdiri menatap luasnya lapangan sekolah. Mengingat sejenak, kala itu. Masa dimana aku baru menginjakkan kaki di sekolah ini. Masa yang cukup pahit dalam hidupku ketika aku menahan caci maki yang selalu terdengar nyaring di gendang telingku . Tapi, memang apa yang pernah mereka katakan itu benar.
Tiga tahun yang lalu, Jakarta 06 Juli 2012.
"Ternyata kecebong bisa sekolah di sini juga ya," celetuk Cindy dan diiringi tawa teman-temannya. Mereka menertawaiku. Tawanya menyayat hati, mencabik-cabik nuraniku, dan mematikan mentalku perlahan. Mengapa mereka harus menertawakan kekuranganku? Padahal aku juga manusia yang diciptakan oleh Tuhan. Sama seperti mereka.
"Eh elo nggak malu apa sekolah di sini dengan fisik kurcaci itu?" celetuk Clara yang menusuk batinku, tapi aku hanya menunduk tidak punya daya menghadapi kakak kelas seperti mereka.
"Tinggi aja kurang dari 130cm sumpah lebih tinggi anak SD," tambah Nadya dengan pandangannya yang sinis kepadaku.
"Elo itu lebih buruk dari pada sampah," seru Clara, dan kedua temannya menyiramku dengan sampah. Mereka pun tertawa, dan meninggalkanku begitu saja. Batinku tercabik-cabik hingga berlumur darah. Namun, aku harus bisa senyum meski melangkah di atas ribuan duri.
Aku melangkah ke kamar mandi membersihkan bajuku, dan bergegas mencari kelas baruku. Semua pandangan menatapku tajam dan bisikan sengit terdengar begitu nyaring di telingaku. Namun, aku hanya bisa berpura-pura tidak tahu.
Ketika sekolah sudah sepi aku baru berani keluar kelas dengan mata berkaca, kebetulan saat itu hujan dengan langkah lemah aku melangkah di tengah lapangan, dan menangis sekencang mungkin.
"Mengapa Tuhan. Kau menciptakanku di dunia ini," aku berteriak di tengah lapangan yang sunyi tanpa ada satu pun orang mendengar.
"Mengapa Kau biarkan aku berdiri di atas perihnya duri? Mengapa, MENGAPA?" tubuhku terjatuh di tengah derasnya hujan, aku menangis tanpa daya. Isakan tangisku semakin berat, dan perlahan mulai menghilang isakan tangis itu, karena mungkin ini terlalu perih, dan berat untuku jalani.
Aku menyerah rautku bisa saja tersenyum di depan mereka semua, akan tetapi, hatiku hancur tersayat lidah dan caci mereka. Aku kini terpuruk, dan hujanlah yang menjadi saksi kesengsaraanku.
Namun, entah kenapa air hujan yang tadinya menimpaku terhenti padahal hujan masih turun begitu lebatnya.
"Berdirilah saya tidak suka melihat orang terpuruk dalam kepedihan!" Aku mengangkat kepalaku ke atas, dan melihat seorang pria menghalangi air hujan yang menimpa wajahku dengan sebuah payung. Dia menatapku, dan mengulurkan tangannya untukku. Dengan ragu aku meraih tangannya, lalu berdiri di hadapannya.
"Kenapa kamu mau mendekat kepada orang seperti saya?"  tanyaku dengan wajah yang aku angkat ke atas karena aku jauh lebih pendek darinya.
"Kamu manusia,kan?" tanyanya, dan aku hanya mengangguk pelan.
"Kemarilah jangan sampai kamu menyakiti dirimu sendiri," ucapnya, dia menarik tanganku, dan membawaku ke koridor sekolah untuk berteduh dari hujan. Aku masih tidak percaya pria tampan, dan sempurna mempunyai hati lembut  lebih lembut dari sutra dan karena ketulusan hatinyalah yang membuatnya semakin sempurna sehingga aku bisa merasakan kehangatan saat berada di sampingnya.
"Kenapa kamu membantuku?" tanyaku karena masih belum bisa percaya pria ini membantu kerdil sepertiku.
"Bukannya salah satu guna manusia untuk membantu? Itulah tujuanku."
"Apa kamu tidak malu jika orang tahu kamu berbicara dengan orang seperti saya?" Dia menatapku, dan memakaikan jaketnya di badanku. Aku semakin bingung dengan sikapnya kepadaku yang tulus tanpa memandang fisikku yang jauh dari kata sempurna ini.
"Buat apa saya malu jika yang saya lakukan ini benar. Jangan masukan ke dalam hati apa yang mereka katakan! Lagi pula mereka hanya iri denganmu yang mendapat beasiswa."
"Terimakasih. Kalau boleh tahu nama kamu siapa?"
"Panggil saja Andi."
"Terimakasih Andi," dia hanya tersenyum menatapku.
Aku masih berdiri membayangkan masalaluku saat pertama kali bertemu dengan Andi. Semua berlalu begitu saja, dan seiring berjalannya waktu aku selalu dekat dengannya, banyak ngobrol dengannya, dan aku sangat mencintainya lebih dari apa pun, tapi aku sadar aku sangat tidak pantas untuknya.
"Ana, katanya mau ke kamar mandi kok malah bengong menatap lapangan," tegur Cecep.
"Menghirup udara segar saja mumpung masih pagi."
"Oh, gue kira lagi mikirin Andi" celetuk Cecep.
"Flasback dikit, sih."
"Kalau emang lo suka ungkapin aja napa?"
"Tapi itu tidak mungkin, orang sesempurna dia dengan orang seperti saya."
"Nggak ada kata lain selain sabar."
"Tentu."
"Balik ke kelas yuk," ajak Cecep. Namun, aku masih ingin sendiri bersama sepi.
"Duluan aja, aku masih mau di sini."
"Baiklah." Dia melangkah pergi meninggalkanku sendiri bersama ingatan masalaluku. Aku bersyukur mempunyai sahabat, seperti dia yang selalu mendengarkan rintihan hatiku setiap kali rindu dengan Andi.
Jam sudah menunjukan pukul 06.45 itu artinya 15 menit lagi bel berbunyi tanda pembelajaran akan dimulai. Aku memutuskan untuk menyusul Cecep memasuki kelas, kakiku mulai melangkah lagi meninggalkan tempat indah itu. Aku melihat dia melangkah ke arahku mungkin karena dia juga ingin memasuki kelasnya yang kebetulan kelasnya di samping kelasku. Dia tersenyum menatapku begitu pun aku yang selalu membalas setiap senyuman darinya.
Pembelajaran telah dimulai aku mulai bosan dengan suasana ini dimana hanya ada keheningan dan 50 soal di meja masing-masing aku hanya butuh waktu 15 menit untuk menyelesaikannya. Aku mengumpulkan ke depan, dan diizinkan untuk keluar kelas.
"Kalian harus semangat jangan mau kalah dengan Ana yang selalu mendapat nilai sempurna," ujar pak Bowo yang memecahkan konsentrasi mereka semua.
"Baik,pak," jawab mereka secara bersama.
Cecep terlihat sangat santai mengerjakannya padahal dia tidak suka pelajaran bahasa Inggris. Namun, tadi tanpa ada satu pun orang yang tahu aku sudah memberikan 50% jawabanku kepadanya, makaya dia terlihat santai karena hanya mengerjakan 50%. Aku memilih duduk di taman, dan membaca sebuah novel.
"Sendirian saja," ujar Andi yang datang menghampiriku, dan duduk di sampingku.
"Andi?" Senangnya hatiku dia datang menghampiriku akankah dia tahu apa yang baru saja hatiku katakan?
"Iya, kamu ngapain ke sini? Kamu pasti keluar kelas dulu karena sudah selesai mengerjakan ulangan,kan?" tebak Andi.
"Iya, kamu benar, dan pasti kamu juga melakukan hal yang sama."
"Tentu. Kenapa kamu suka dunia sastra?" tanya Andi kepadaku ketika ia tahu aku membaca novel, dan selalu menanyakan tentang cover kepadanya.
"Karena dunia halu lebih menyenangkan dari pada dunia nyata. O iya kenapa kamu tidak menyukai dunia sastra khususnya Novel?"
"Karena komik, Anime dan game lebih menyenagkan dari pada novel."
"Komik? Aku baru membaca satu judul komik sampai saat ini. Judulnya 'Uji Cinta Pak Nube' itu pun mungkin pertama, dan terkahir."
"Saya tahu, kok pernah pinjam dulu."
"Apa kamu tidak pernah membaca Novel?"
"Pernah. Namun, hanya sekali, dan ceritanya bagus."
"Boleh saya tahu judulnya?"
"Tentu saja. Namun, sayangnya saya lupa karena saya membacanya waktu masih SMP tapi yang pasti ceritanya tentang Warrior Dream. Novel kamu sudah jadi?"
"Belum. Saya masih ragu dengan cerita saya," Andi menghembuskan napasnya dengan kasar dan menatap lurus ke depan.
"Kalau ingin menarik perhatian pembaca beri bumbu komedi agar novel kamu tidak membosankan."
"Baiklah," aku mengikuti Andi menatap lurus ke depan lagi-lagi sang angin usil mempermainkan rambutku.
Andi merapikan rambutku yang dikacaukan oleh angin, dan mataku menatap matanya dengan jarak yang sangat dekat. Aku bahagia berharap waktu berhenti berjalan.
Andi seandainya kamu tahu apa yang saya rasakan selama ini apa mungkin sikap perhatianmu masih tetap sama atau mungkin kamu malah membenci saya karena malu gadis seperti saya ini jatuh cinta dengan kamu? Batinku terus berbicara tanpa dia tahu sedikitpun.
Di bangku taman sekolah hanya ada kita berdua. Aku bahagia bisa  berdua dengannya tanpa ada orang yang tahu hanya alam dan langit menjadi saksi kebahagianku ini. Apa kamu tahu seberapa besar bahagiaku saat berada di dekat Andi? Baiklah akan aku beri tahu bahagiaku lebih besar dari dunia ini karena cintaku yang murni ini sepenuhnya hanya untuknya, dan aku telah menjadikan bahagianya menjadi bahagiaku, dukanya menjadi dukaku.
Apa itu sudah cukup membuatmu mengerti? Aku yakin Tuhan menciptakan aku karena Tuhan telah menciptakan Andi meskipun Tuhan telah menghadirkan banyak perbedaan antara aku dengannya akan tetapi, karena perbedaan itulah yang mampumenyatukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Komentar Buku (378)

  • avatar
    ManRahman

    Adbid djsbf sjsb

    9h

      0
  • avatar
    linom

    yatim

    10h

      0
  • avatar
    zulfadhliemuhammad

    jalan cerita yang samgat baik , tersusun mudah difahami dan sangat menyeronokkan

    11h

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru