logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Damainya Sebuah Hati

Mentari masih nampak sayup, langitpun tak secerah biasanya. Musim sepertinya mulai berganti, mendung pun kian pekat. Perlahan gerimis mulai turun membasahi lahan-lahan kering itu. Meski sedikit rasanya tetesan air langit itu sangat berarti di tengah kemarau panjang ini. Ada keteduhan yang turut merasuk dalam jiwa yang telah lama gersang. Raihana termenung di sudut jendela kamar rumah sakit, menatap gerimis yang mulai berubah menjadi hujan. Rasa syukur itu kian bertambah, hujan mengajarkannya untuk tetap tabah. Karena hujan tak selalu menjadi penghalang bagi para pejuang kehidupan, justru karena hujan bunga yang layu bisa kembali bertahan hidup, tanah yang retak bisa kembali merapat. Seperti ujian yang tak selalu membuat tumbang. Dari derasnya ujian, kita jadi belajar membangun kekuatan dan mensyukuri sekecil apapun kenikmatan. Pagi-pagi Hana sudah bergegas menggantikan Pak Burhan yang sendiri menjaga Bu Rahma semalaman.
"Nduk, bapak nebus obat dulu ya," pamit Pak Burhan.
"Enjih Pak, sekalian Bapak istirahat dulu ya biar gantian aku yang jaga Ibu."
Pak Burhan mengangguk dan berlalu melempar senyum. Namun tak lama beliau keluar, tiba-tiba Pak Hamdun datang berkunjung.
"Burhan ...," teriak Pak Hamdun dari jauh. Burhan tidak menyangka setelah penolakan itu, Pak Hamdun masih mau menemuinya.
"MaasyaAllah ..., apa kabar kamu Dun?" Pak Burhan merangkul sahabatnya itu dengan erat.
"Alhamdulillah kabar baik, saya tadi mampir ke rumah dan ternyata tetanggamu bilang istrimu sedang di rawat di rumah sakit, jadi saya dan Rasyid langsung ke sini." Mendengar nama Rasyid, Pak Burhan langsung menunduk dan berkata, "Saya kira setelah masalah itu, kamu benci pada saya dan keluarga."
"Ngomong apa kamu Han, yang namanya jodoh itu bukan kita yang menentukan. Jadi, biarlah semuanya berjalan sesuai rencana-Nya. Saya juga sudah berusaha menasehati Rasyid, sepertinya dia juga sudah mulai mengerti."
"Alhamdulillah, saya lega dengernya. Terus, Rasyidnya kemana?"
"Dia nunggu di parkiran, malu katanya bertemu dengan Raihana," bisik pak Hamdun sedikit ketawa.
"Justru Raihana yang masih kefikiran, dia jadi merasa bersalah katanya."
"Kok bisa? Bilang padanya, jangan takut di salahkan atau merasa tidak enak. Kami memahami keputusannya, tentu dia pun sudah beristikhoroh sebelumnya. Saya percaya,semua tak terlepas dari kehendak Allah jug. Jangan dengarkan apa kata orang! Saya berharap hubungan baik ini bisa tetap terjaga," tutur pak Hamdun begitu bijak.
"Syukurlah kalau kamu berfikir seperti itu, saya juga berharap sama sepertimu. Oh iya kebetulan Hana juga ada di dalam. Mari saya antar masuk!" ajak Pak Burhan seraya berjalan menemui Hana.
*****
Selang beberapa menit, usai bertegur sapa Hana pun pamit untuk mengajar.
"Pak, tadi resep obatnya mana? Biar Hana yang tebus sekalian berangkat ngajar."
"Kalau begitu kita bareng saja, kebetulan searah juga kan?"
"Nggak usah Om, Hana naik angkot saja." Hana berusaha menolak. Tapi Pak Hamdun sepertinya memaksa.
"Jangan sungkan, pokoknya Om antar kamu ya!"
Karena takut tersinggung, akhirnya Hana manut ajakan pak Hamdun.
"Baiklah Om, tapi Hana tebus obat sebentar ya!"
"Silahkan! Om tunggu kamu, ya!"
Setelah mendapatkan obat yang tertera dalam resep yang diberikan dokter, Hana buru-buru kembali kemudian pamit pergi bersama Pak Hamdun.
"Hana pamit ya, Pak! Pulang ngajar Hana ke sini lagi."
"Hati-hati, ya! Kamu tenang saja," ucap Pak Burhan.
Dengan perasaan canggung, dia berjalan beriringan bersama Pak Hamdun yang hampir menjadi calon mertuanya.
***
Rasyid nampak terkejut saat melihat Ayahnya berjalan bersama Hana. Dan dia bertambah gugup ketika akhirnya kembali satu mobil dengan wanita yang hampir menjadi istrinya.
"Masuklah, Nduk!" Pak Hamdun mempersilahkan Hana masuk. Dia duduk sendiri di jok belakang, sementara pak Hamdun berada di samping Rasyid yang tengah menyetir. Suasana nampak begitu kaku, dari tadi Rasyid sama sekali tidak bersuara. Dia hanya tersenyum saat menyapa Hana. Begitupun Raihana, dia hampir bingung mau ngomong apa. Hatinya seakan tidak tega menatap Rasyid yang pernah berharap untuk tetap bersama.
"Kita antar Hana dulu ya, Nak!" titah pak Hamdun pada anaknya. Rasyid sekarang terlihat lebih kalem dan berwibawa. Sesekali dia menatap dalam wajah Hana yang terpantul di spion mobil. Dalam mata itu masih tersirat jelas bahwa dia tulus mencintai Hana. Sadar dengan tatapan Rasyid, Hana buru-buru menundukkan pandang dan Rasyid bergegas memalingkan tatapannya kembali fokus menyetir.
"Ya Allah, moga keputusanku waktu itu adalah keputusan yang Engkau ridhoi. Maafkan aku ya Allah jika pernah menyakiti hati mereka," lirih Hana dalam batinnya.
Setelah beberapa menit, mobil berhenti tepat di gerbang sekolah tempat Hana mengajar. Hana pun pamit turun, disusul Rasyid yang kemudian menahannya sejenak.
"Hana ...." Rasyid memanggil Hana. Hana langsung menoleh dan menghentikan langkahnya.
"Makasih ya!"
"Untuk apa?" Hana pun heran.
"Makasih sudah mau menerima saya sebagai teman, dan saya minta maaf sudah pernah membuatmu merasa tidak nyaman."
"Aku yang harusnya bilang terima kasih karena Mas Rasyid mau mengerti. Maaf ya, Mas, bukan maksudku menilai buruk Mas Rasyid tapi karena memang hatiku belum bisa berdamai ketika itu," ungkap Hana.
"Iya, aku faham. Kalau begitu, aku pamit ya!" Rasyid menjawab lirih lalu pamit pergi.
"Iya, hati-hati ya!"
Rasyid pun berlalu bersama mobilnya yang terus melaju. Begitu pun dengan Hana yang mencoba kembali menata hatinya yang mulai memadu.
Tanpa disadari, dari jauh Rousyan terus melihat Hana yang tengah ngobrol berdua dengan Rasyid. Ada rasa cemburu dalam hati laki-laki itu. Wajahnya tampak resah menatap gadis yang terkenal pendiam itu. Tepat di persimpangan jalan menuju ruang guru, mereka berpapasan.
"Assalamualaikum, Ustazah!" sapa Rousyan dengan senyum termanisnya.
"Wa'alaikumussalam warohmatullah, jangan panggil aku ustazah dong, Kak! Malu diri ini," timpal Hana sambil merundukkan pandangannya.
"Ehem, cie ..., cie .... Yang habis dianterin calon suami. Wajahnya pun tampak beda ya, lebih cerah gitu," ledek Nisa yang tiba-tiba datang. Mendengar itu, wajah Rousyan mendadak berubah.
"Apa benar ya, Hana balikan lagi sama Rasyid?" gumam Rousyan dalam hatinya.
"Nggak kok, Nis. Tadi hanya kebetulan saja, kita nggak sengaja ketemu. Karena takut Pak Hamdun tersinggung, aku terpaksa ikut mobil mereka," jelas Hana membuat laki-laki di depannya itu sedikit lega.
"Syukrlah ...." Rousyan menarik nafas lega sambil bergumam di hatinya.
"Ah, masa ...?" Nisa memang hobi menggoda sahabatnya yang sedikit pemalu itu.
"Terserah yang menilai saja deh, maunya gimana. Oh iya, aku duluan ya!" Hana sengaja memberi cela pada Rousyan dan Nisa untuk ngobrol berdua.
"Loh kok, Hana malah ngluyur sih?" Rousyan kembali bergumam sendiri. Diam-diam hatinya mulai terbumbui oleh aneka rasa dari percikan panca aksara yang terbaca dalam satu kata "cinta".

Komentar Buku (67)

  • avatar
    NasribasanSamir

    mantap

    20d

      0
  • avatar
    AsrilAsril

    bagus ceritanya

    04/03/2023

      0
  • avatar
    Herlen Asya Dzifah

    sangat memotivasi

    15/02/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru