logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Cinta Ditolak, Mamah Bertindak

Sejak Pak Burhan datang memberi keputusan, hidup Rasyid semakin tak karuan. Sejak kecil dia memang selalu dimanja, apapun yang dia inginkan harus selalu didapatkan. Usia Rasyid memang bukanlah remaja, bahkan usianya bisa terbilang matang. Namun terkadang cinta membuat orang jadi lupa, bahkan terhadap usianya sendiri. Termasuk Rasyid, dia seperti gila. Gila dengan cinta yang melekat dalam dirinya, entah itu cinta jenis apa. Seperti anak kecil yang tak terpenuhi keinginannya, hati Rasyid seperti dipenuhi amarah, hatinya selalu resah hingga semua pekerjaannya pun tak mampu dia kelolah.
"Kamu nggak kerja?" tanya Bu Sarah.
"Kerja untuk siapa, Mah?"
PRAAAAANK!
Bu Sarah langsung membanting sendok yang dipegangnya pada piring kosong yang belum sempat diisi itu.
"Melihat kamu seperti ini, mamah jadi tidak berselera. Mau sampai kapan kamu seperti ini?" Amarah Bu Sarah semakin membuncah.
"Sampai Hana mau nerimaku kembali," jawab Radyid, matanya entah menatap kemana.
"Aneh mamah lihat kamu. Lihat, Pah! orang yang selama ini kamu bantu justru mereka telah membuat jalan anak kita seperti buntu. Dasar tidak tahu balas budi!" Pak Hamdun yang sedari tadi diam akhirnya kembali menjadi sasaran. Meja makan yang harusnya menjadi tempat bersantap, kini berubah menjadi forum saling hujat.
"Ini nggak ada hubungannya sama sekali dengan balas budi. Bukannya dari awal kamu tidak suka dengan perjodohan itu, harusnya seneng dong kalau tidak jadi. Kenapa sekarang justru marah-marah?"
"Ya, kalau tahu begini akhirnya tentu dari awal aku akan menentang kalian. Setidaknya mereka menghargai kita. Bukannya bersyukur malah menolak mundur."
"Diam ...!" teriak Rasyid yang kemudian ngeluyur pergi.
"Semua ini gara-gara anak kampung itu," tukas Bu Sarah.
"Sudahlah Mah, bukan salah Hana. Biarkan saja Rasyid begitu, lambat laun juga dia bisa belajar menerimanya. Wajarlah, hidup ya begini. Tidak semua yang kita mau bisa selalu kita dapatkan, biar dia belajar menghargai sesuatu," ucap Pak Hamdun berusaha mendinginkan suasana.
*****
Dering suara ponsel Hana terus berbunyi, hampir setiap hari Rasyid menghubunginya. Hal ini membuat Hana semakin tak berdaya. Mengetahui keadaannya sekarang Hana jadi serba salah.
"Tolong Han, angkat telfonnya sebentar!" Satu pesan akhirnya masuk di ponselnya.
"Ya Allah, sampai kapan Mas Rasyid akan terus seperti ini?" gumamnya. Pesan-pesan yang dikirim Rasyid sudah seperti teror bagi Hana. Dia pun langsung mematikan ponselnya.
Seperti biasa, sebelum berangkat mengajar Hana membiasakan dirinya untuk sholat duha terlebih dahulu. Hal tersebut biasa dilakukannya sejak dulu, saat dirinya mulai diperkenalkan tentang salat-salat sunah oleh guru agamanya. Selain itu, rutinitas yang menjadi target hariannya yaitu one day one juz. Karena baginya, quran adalah obat dari setiap rasa sakit yang menyelinap, membacanya adalah sebuah nikmat yang mampu menghilangkan penat. Sejak masih sekolah Hana tergolong anak pendiam dan tak punya banyak teman, itu karena dirinya yang selalu enggan setiap kali diajak sesuatu yang sekiranya tidak terlalu penting baginya. Mungkin itu pula yang membuat mereka akhirnya malas mengajak Hana. Hanya mereka yang mengerti diri Hanalah yang setia bertahan sebagai sahabat. Karena itu, dia lebih senang mengisi waktunya bersama buku dan agenda harian yang dia buat sendiri. Dan kamar adalah basecamp kesayangannya.
"Assalamu'alaikum..." suara Mirna, adik Bu Rahma. Sudah lama dia baru berkunjung ke rumah. Rumah Mirna lumayan jauh, tepatnya di daerah kota tak jauh dari rumah Rasyid.
"Wa'alaikum salaaam, siapa?" teriak Bu Rahma dari dapur.
"Saya, Mbak, rumah kok sepi gini. Yang lain kemana Mbak?" sahut Mirna seraya masuk dan menghampiri Kakaknya.
"Mas-mu sudah pergi ke ladang, dan Hana masih di kamarnya. Dari mana saja kamu, Mir, kok baru kelihatan?"
"Di rumah saja. Pandemi gini mau keluar juga males Mbak. Oh ya Mbak, aku boleh tanya nggak?" bisik Mirna pelan sambil melirik kamar Hana.
"Tanya saja."
"Memangnya benar gosip tentang Hana itu?"
"Gosip yang mana?"
"Saya sampe malu Mbak, denger cerita orang di sana. Soal Hana dan Rasyid. Mas Burhan sendiri katanya mohon-mohon agar Pak Hamdun mau menjodohkan Hana dengan Rasyid. Tapi sayangnya, Bu Sarah menolak karena Rasyid sudah punya calon. Katanya calonnya itu adalah teman kuliahnya dulu waktu di Jakarta. Ya ampun Mbak, kok sampe segitunya sih. Mas Burhan itu kaya nggak punya harga diri saja. Lagian Mbak itu mestinya mikir, kita itu siapa dan mereka itu siapa," cerita Mirna panjang kali lebar.
"Ngomong apa kamu ini, nyerocos dewek tok!" hentak Bu Rahma sedikit geram.
"Ya maaf, Mbak, habis saya penasaran sekali. Rasanya saya nggak terima dengan kabar yang berkaitan dengan ponakanku itu. Setahu saya Hana nggak seperti itu."
"Ya memang nggak seperti itu ceritanya. Tapi, yo wislah mungkin Bu Sarah ngomong seperti itu karena sakit hati pada Hana."
"Sakit hati kenapa toh Mbak?"
"Hana menolak lamaran Rasyid."
"Apa, menolak?" tanya Mirna setengah kaget.
"Nggak tau lah, Mir. Hana memang susah dimengerti."
"Wealaaaa, Nduk,pantesan. Orang kaya Bu Sarah itu gengsinya tinggi, di senggol sitik yo wis mbudal sewote. Hana,piye toh Mbak? Anakmu kok bisa nolak lamaran sebagus itu. Memangnya mau cari yang kaya gimana lagi?"
"Intinya belum jodoh, Mir, jadi ya ada saja yang jadi alasan. Tapi memang orang di sana ngerti siapa Hana?"
"Ya nggak juga Mbak, hanya kebetulan saja aku ngerti sopo sing di maksud kui. Biasalah, Bu Sarah suka heboh sendiri kalau lagi belanja di tempat sayur. Dia suka ngebanggain anaknya gitu, dia bilang anaknya banyak yang ngelamar dan terakhir dia menyinggung tentang keluargamu kaya sengaja biar orang cerita ke saya gitu Mbak."
Obrolan mereka pun akhirnya terhenti saat Hana keluar dari kamar dan tiba-tiba menghampiri keduanya. Gadis itu rupanya sudah bersiap untuk berangkat.
"Bi Mirna kapan datang?" sapa Hana sambil menyalami tangan Mirna.
"Baru saja, mau berangkat, Nduk?"
"Iya, Hana pamit dulu ya .... .Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikum salaam warohmatullah...," jawab keduanya kompak.
Dengan tenang Hana berjalan menelusuri perkampungan kecil itu, tiba-tiba di tengah jalan dia bertemu dengan seseorang. Dia adalah Umi Maryam, guru ngaji Hana.
"Assalamu'alaikum, Umi! sapa Hana penuh takzim.
"Wa'alaikum salaam, kamu, Nduk! Kebetulan kita ketemu di sini."
"Afwan Umi,bHana akhir-akhir ini sibuk jadi jarang mampir ke rumah."
"Tidak apa, yang penting semua sehat. Nduk, sing sabar njih!" Hana heran mendengar Umi yang tiba-tiba menyuruhnya sabar.
"InsyaAllah, Mi, tapi maksud Umi gimana ya?" tanya Hana penasaran.
"Nggak gimana-gimana, hidup ya mesti selalu sabar." Jawaban Umi justru membuat Hana semakin penasaran. Sedangkan Umi sendiri tidak berani menjelaskan maksudnya.
Entah, dari mana mulanya kabar Hana yang menolak lamaran Rasyid itu muncul dan sampai menyebar hingga akhirnya menjadi bahan cibiran. Bak kacang goreng, cerita tersebut menjadi laris manis. Hana yang tak sering keluar rumah, tak sadar dirinya sedang menjadi trending topik di kampungnya. Seperti itulah kehidupan di kampung, apalagi menolak lamaran seorang laki-laki sering di anggap hal tabuh oleh sebagian orang.
*****
"Pagi Ustazah ...," sapa Anisa setengah becanda. Hana hanya membalas dengan senyum khasnya.
"Pagi-pagi gini mukannya kok sudah bermuram durja, ada apa gerangan?" tanya Anisa.
"Aku masih kefikiran mas Rasyid, Nis."
"Oh ya, Han, aku masih nggak percaya deh dengan kabar yang kudengar."
"Memangnya kamu dengar apa tentang aku?"
"Jadi kemarin aku nggak sengaja dengar dari orang, katanya keluargamu menolak lamaran Rasyid karena keluarga Rasyid tidak setuju dengan syarat yang diberikan oleh orang tuamu. Syarat tersebut katanya berhubungan dengan materi gitu. Dan konon katanya dari awal sebenarnya Ibunya Rasyid memang tidak setujuh dengan kalian. Memangnya benar yah, Han, Pak Burhan sampai datang ke sana untuk meminta maaf dan memohon agar perjodohan itu tetap diteruskan?"
Hana hanya menghela nafas panjang, kemudian terdiam.
"Han ..., kok malah melamun?" tegur Anisa sambil melambaikan tangannya.
"Aku sendiri bingung mesti jelasin apa, Nis, mereka juga sudah punya persepsi sendiri. Gosip itu memang gurih ya ,apalagi kalau semakin banyak bumbu tentu siapapun akan dengan lahap memakannya. Yang jelas kebenarannya tidak seperti itu, tapi biarlah cukup Allah saja yang tahu," jelas Hana dengan sedikit getar.
Penolakan Hana terhadap Rasyid begitu memantik rasa amarah Bu Sarah, berbagai cerita dikemas sedemikian rupa sesuka mereka tanpa bertanya pada yang punya kisah. Hana semakin tersudut bak kerucut. Semakin lama, Bu Rahma pun semakin resah. Kondisi Bu Rahma yang lemah membuatnya merasa tertekan dengan situasi yang terjadi saat ini. Dan ujungnya dia jatuh sakit.

Komentar Buku (67)

  • avatar
    NasribasanSamir

    mantap

    20d

      0
  • avatar
    AsrilAsril

    bagus ceritanya

    04/03/2023

      0
  • avatar
    Herlen Asya Dzifah

    sangat memotivasi

    15/02/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru