logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Insiden Tak Terduga

"Hana, Rasyid sudah menunggumu di depan!" suara Bu Rahma dari luar kamar. Sore ini Rasyid bermaksud mengajak Hana menemui ibunya.
Tak lama Hana pun keluar dengan wajah yang nampak tak bersemangat, ini adalah pertama kalinya dia pergi keluar dengan seorang laki-laki bukan muhrimnya. Itu pun karena terpaksa, kalau bukan orang tuanya yang meminta tentu dia akan dengan cepat menolak ajakan Rasyid. Begitupun kedua orang tuanya, kalau tidak melihat pak Hamdun tentu tidak akan sembarangan mengizinkan puterinya keluar tanpa orang ketiga.
"Bu, Hana pergi dulu," pamit Hana seraya mencium tangan ibunya.
"Hati-hati ya, Nduk, bismillah!" Nampaknya Bu Rahma sendiri sedikit cemas melihat puterinya dibawa seorang laki-laki.
Bak cinderela, Hana pun akhirnya pergi dijemput mobil putih milik Rasyid. Sepanjang jalan Hana hanya terdiam,bhatinya terus beradu mengalahkan rasa ragu. Fikirannya pun mulai menjalar kemana-mana.
"Tenanglah, Mamahku orangnya baik kok!" Tangan Rasyid berusaha meraih tangan Hana yang terlihat sedikit gemetar. Namun, dengan sigap, Hana langsung menghindarkan tangannya. Untung saja tangan Hana selalu dilapisi manset, sepasang dengan baju jubahnya yang panjang dan seperti kebesaran sehingga kulitnya tak mudah tersentuh.
"Maaf Mas!" ucap Hana singkat namun tegas.
"Oke, maaf maksud saya tidak seperti itu!" Rasyid berusaha membela diri. Dia mengerti tatapan Hana yang kurang suka dengan sikapnya. Namun, sepertinya hal seperti itu adalah bukan hal aneh bagi Rasyid.
"Dari dulu kamu tidak berubah ya," ucap Rasyid berusaha mencairkan suasana.
"Berubah bagaimana?"
"Masih saja betah pake baju yang kebesaran seperti itu."
"Memangnya ada masalah dengan baju saya?"
"Hm ..., nggak juga sih. Ngeliatnya ribet ajah." Mendengar itu, hati Hana semakin sungkan meladeni Rasyid yang terus mengajaknya bicara.
"Menurut saya biasa saja, justru saya merasa nyaman dan bangga memakai busana kebesaran seorang muslimah seperti ini. Kalau anda tidak suka, ya nggak ngaruh juga buat saya!" jawab Hana sedikit ketus.
"Bukan seperti itu,tapi..."
"Bukannya kita sudah hampir sampai ya?" potong Hana, ia merasa malas mendengarkan Rasyid.
Hanya beberapa menit saja, rumah besar dengan pagar besi yang kokoh itu sudah terlihat. Rasyid pun mengajak gadis impiannya itu turun memasuki rumah besar itu. Hati Hana semakin tak karuan, saat wanita bergamis mewah itu berjalan mendekatinya.
"Assalamu'alaikum Bu!" Hana buru-buru menyapa dan langsung menyalaminya.
"Wa'alaikum salam!" sahut wanita tersebut begitu datar, senyumnya pun terlihat dipaksakan. Mungkin kalau anaknya sendiri yang tidak memaksa untuk menikahi Hana, wanita itu enggan menerimanya. Berbeda dengan suaminya, Bu Sarah terlihat angkuh dan bergengsi tinggi.
"Oalaaah, cantiknya ..., ini ya calon istrinya Rasyid?" tanya seorang nenek yang tengah duduk di sofa, melihat kedatangan Hana nenek itu langsung berdiri berusaha menghampirinya. Beliau adalah orang tua Bu Sarah.
"Bakal calon Bu, Hananya saja belum menerima lamaran Rasyid. Iya 'kan Hana?" sambar Bu Sarah sambil melirik Hana dengan sedikit sinis. Hana hanya tersenyum membalasnya.
"Duduklah Nak ,anggap saja rumah sendiri! Bapakmu juga sudah saya anggap seperti saudara sendiri," ucap pak Hamdun begitu ramah.
"Enjih,Pak!"
"Jangan sungkan, sebentar lagi kamu juga 'kan akan menjadi bagian dari keluarga ini." Nenek turut menimpali.
"Kamu dulu kuliah dimana, katanya jadi guru juga ya?" tanya Bu Sarah tanpa basa basi.
"Hana hanya bantu-bantu saja di sekolah itu, karena Hana juga bukan lulusan perguruan tinggi manapun," jawab Hana pelan.
"Ooh, gitu ya. Ya memang benar juga sih, zaman sekarang untuk jadi guru TK saja minimal harus S1."
"Perempuan mah yang terpenting bisa mengurus rumah tangga yang baik, itu sudah cukup," sambung Rasyid.
"Tapi pendidikan bagi perempuan juga penting loh. Mereka yang berpendidikan tinggi itu akan lebih bisa mendidik anak-anak dengan baik," tukas Bu Sarah. Hana hanya diam terpaku, dirinya semakin tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka.
"Sudah ... sudah ...! ada tamu kok malah ribut sendiri," seru si nenek.
"Siapa yang ribut toh Bu, ini juga lagi ngobroli Hana." Obrolanpun masih berlanjut, dan sungguh sikap dan ucapan Bu Sarah seakan memojokkan diri Hana. Namun, Hana berusaha tetap tenang dan berhusnudzon.
"Saya tuh bingung sama cucu ibu, yang suka sama dia itu banyak dan mereka semua dari keluarga yang terpandang dan berpendidikan, tapi entah kecantolnya malah sama Hana. Dan tuh,menantu Ibu juga, Mas Hamdun. Mentang-mentang Pak Burhan sahabatnya asal setuju aja," bisik Bu Sarah pada ibunya. Perkataan Bu Sarah tersebut tak sengaja Hana dengar usai dia keluar dari kamar mandi. Hana pun benar-benar merasa serbah salah. Hatinya seketika itu ingin menangis.
Hari tak terasa sudah semakin petang, Rasyid pun mengajak Hana pulang.
***
"Jangan tersinggung dengan sikap dan ucapan mamahku tadi ya!" ucap Rasyid berusaha mencairkan suasana di dalam mobil.
"Iya nggak apa, lagian Mas juga salah sudah memilih saya yang jauh dari harapan orang tua Mas Rasyid. Lebih baik, Mas Rasyid berhenti melanjutkan niat Mas itu," balas Hana.
"Maksud kamu?"
Hana terdiam, bingung bagaimana menjelaskannya. Wajahnya hanya merunduk memikirkan kembali keputusannya untuk menerima Rasyid. Namun, dia pun terngiang dengan curahan hati Ibunya.
"Ternyata Hana cantik sekali kalau lagi seperti ini," bisik Rasyid dalam hati sambil melirik Hana tajam.
"Mas, baiknya kita ...." Hana menggantungkan ucapannya begitu menoleh, Rasyid tengah menatap dalam wajahnya.
"Astaghfirullah ..., Mas ...!" Hana buru-buru mengalihkan wajahnya.
"Ya, Han. Tadi mau ngomong apa?" tanya Rasyid seketika.
"Nggak jadi, kamun fokus nyetir aja!" jawab Hana kembali merasa tidak nyaman.
Langit sudah nampak gelap, mendung pun kian pekat. Jalanan mulai basah oleh gerimis yang mulai deras.
"Awaaasss!!" spontan Hana berteriak kencang saat Rasyid hampir menabrak orang. Konsentrasi Rasyid saat itu terbagi pada Hana yang duduk di sampingnya.
"Maaf ... maaf, kamu tidak apa-apa Hana?" tanya Rasyid sedikit panik, "kita istirahat sebentar ya!" ajak Rasyid sambil membelokkan setir mobil ke arah salah satu cafe dekat jalan yang mereka lalui.
"Kita mau kemana? Sudah hampir magrib, baiknya kita cari mesjid saja dulu. Lagian saya nggak apa-apa."
"Iya saya tahu, tapi kita cari minum dulu ya sebentar saja!" Rasyid sepertinya berusaha memanfaatkan kesempatan itu untuk bisa lama-lama berdua bersama Hana. Hana pun hanya bisa mengikuti saran Rasyid.
Melihat Hana yang begitu gelisah menunggu pelayan datang, lagi-lagi tangan jail Rasyid bergerilya. Tangannya berusaha meraih tangan Hana yang bertengger di meja. Namun sayangnya Hana langsung menangkisnya dengan cepat. Tidak hanya sampai disitu, saat sang pelayan hendak mengantarkan minuman, Rasyid berpura-berpura ke belakang dan dengan sengaja mendorong pelayan tersebut hingga minumannya tumpah mengenai Hana. Dan dalam kesempatan itu, Rasyid berusaha membantu Hana membersihkan bajunya. Betapa bahagianya Rasyid bisa menatap Hana begitu dekat hingga dirinya kalah oleh tipu muslihat syetan yang merasuki dirinya. Sementara Hana tak sadar dengan sikap Rasyid, dia sibuk membersihkan diri hingga lengang. Sungguh, gadis itu begitu lugu. Dan Rasyid memanfaatkan itu. Ketika Hana hendak bangun, tepat wajahnya bertabrakan dengan wajah Rasyid hingga hampir mendaratkan ciuman di pipinya.
"Mas Rasyid?" Hana sontak mendorong tubuh Rasyid, wajahnya nampak begitu geram melihat sikap Rasyid. Dia begitu marah dan sakit hati, karena merasa tidak dihargai. Kehormatannya sebagai wanita seakan hampir ternoda. Yang tidak habis fikir, dia diperlakukan seperti itu oleh seseorang yang dipercaya kedua orang tuanya dan akan menjadi calon imam dalam hidupnya. Hana pun langsung berlari karena dirinya merasa malu. Entah, apa yang ada dalam fikiran pria berpendidikan tinggi itu.
"Ya Allah, ampuni hamba ya Allah," lirih Hana.
"Hana, tunggu!" Rasyid berteriak memanggil Hana yang terus berlari di tengah hujan. Dia pun langsung memutar mobil kembali dan mengejar Hana.
"Ya Allah, saya tidak nyangka dia akan bersikap seperti itu," gumam Hana. Sementara Rasyid mulai cemas, dan akhirnya dia pun membujuk Hana untuk pulang bersamanya.
"Hana, maafkan aku. Aku mohon naiklah, biar aku antar sampai rumah!" pinta Rasyid memelas. Hana pun kembali berfikir, dia tidak ingin membuat orang tuanya khawatir. Dengan terpaksa akhirnya Hana kembali masuk mobil.
"Aku menyesal, sudah bertindak tidak sopan padamu. Maafkan aku, tadi aku hanya terbawa suasana." Rasyid terus memandangi wajah Hana yang penuh kekecewaan itu sambil meminta maaf. Hana hanya terdiam dan tak bicara sedikitpun. Rasanya dia ingin segera sampai dan menjauh dari pria itu.
Sesampai di rumah, Hana berusaha bersikap seperti biasa meski keadaan hatinya tak biasa.
"Alhamdulillah ..., sudah pulang, Nduk?" sapa Bu Rahma yang baru datang dari majlis.
"Iya, Bu, alhamdulillah." Hana menjawabnya datar. Kejadian tadi benar-benar membuat Hana enggan untuk bertemu lagi dengan Rasyid.

Komentar Buku (67)

  • avatar
    NasribasanSamir

    mantap

    21d

      0
  • avatar
    AsrilAsril

    bagus ceritanya

    04/03/2023

      0
  • avatar
    Herlen Asya Dzifah

    sangat memotivasi

    15/02/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru