logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 45: Kembali

"Potong tumpengnya, potong tumpengnya, potong tumpengnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang juga."
"Yeah."
Nyanyi keluarga bunda Maniska sambil bertepuk tangan, kecuali ayah Anggit. Dengan nada candangan, ayah Anggit berkata, "Bunda! Ayah sudah tua. Tidak perlu ada perayaan seperti ini."
"Gak papa, ayah. Sekali-kali." ucap pak Radit.
"Iya, yah. Gak papa. Selamat ulang tahun ayah. Semoga panjang umur, sehat selalu, dan bahagia." sambung bu Anis sambil memberikan pelukan kepada ayahnya.
"Tuh kan. Anak-anak juga mendukung. Sekarang ayah potong tumpengnya!" suruh bunda Maniska kepada ayah Anggit.
"Oke." ucap ayah Anggit lalu memotong tumpengnya.
"Potongan pertama buat siapa?" tanya bu Anis menggoda ayahnya.
"Mama." jawab ayah Anggit dan nenyuapkan potongan tumpeng ke mulut bunda Maniska.
"Terima kasih, ayah." ucap bunda Maniska kepada ayah Anggit.
Bunda Maniska tersenyum malu sambil mengelayutan manja di lengan suaminya. Bu Anis, Airin dan pak Radit yang melihat mereka berdua turut menggoda lagi.
"Ini kado dari kita, ayah." ucap Airin.
"Terima kasih, nak." balas aya Anggit.
"Sama-sama," ujar Airin sambil tersenyum.
"Anis sama bunda juga punya hadiah buat ayah. Ini hadiahnya." ucap bu Anis sambil menyerahkan bungkusan kota kado.
"Terima kasih, bunda dan anak-anak ayah." ujar ayah Anggit lalu mengisyaratkan agar bunda Maniska dan anak-anaknya berpelukan.
"Ayah sayang kalian semua." sambung ayah Anggit.
"Kami juga." ucap yang lainnya.
"Oke, oke. Kita makan nasi tumpengnya dulu." ujar ayah Anggit mempersilakan istri, anak dan menantunya untuk makan.
Airin membantu bunda Maniska membagi nasi tumpeng ke suami dan iparnya. Mereka berlima duduk dan menikmati nasi tumpeng dengan penuh kebahagiaan.
***
Pak Radit memeluk istrinya dengan perasaan senang. Kenapa begitu? Karena sudah seminggu lebih istrinya tidak mau menemuinya. Sekarang ia harus menyalurkan kerinduan yang mendalam dengan pelukan.
"Mas, nanti dilihat ayah dan bunda." ucap Airin kepada pak Radit yang memeluknya erat.
"Memang kenapa?" tanya pak Radit.
"Malu, mas." jawab Airin sambil berusaha melepaskan pelukannya.
"Gak papa." ujar pak Radit singkat.
"Radit! Ayah mau ngobrol sebentar." ucap ayah Anggit dari belakang mereka berdua.
"Oke, ayah. Aku ngobrol dulu sana ayah." jelas pak Radit sambil melepaskan pelukan lalu mengecup pucuk kepala Airin singkat.
"Iya, sana mas." balas Airin.
Tidak tahu harus apa sepeninggalan suami dan mertuanya, Airin berjalan ke arah kolam renang yang masih terhubung dengan rumah dan ternyata di sana ada bu Anis yang sedang duduk di pinggilan kolam renang.
Ia kemudian duduk dan bertanya, "Gimana calon bayinya, mas? Sehat?"
Bu Anis terseyum melihat Airin datang menemaninya lalu menjawab, "Sehat, Ai. Alhamdulillah."
"Alhamdulillah." ucap Airin bersyukur.
"Sudah lama gak ke sini?" tanya bu Anis.
"Ada masalah, ya?" tanya bu Anis lagi kepada Airin.
Airin menggeleng dan menjawab cepat, "Gak ada mba."
"Syukur deh. Aku kira ada. Maaf ya, Ai sebelumnya. Waktu itu aku minta tolong ke Radit untuk nganter aku ke dokter kandungan dan ternyata dokternya mantan kekasih Radit di kampus." jelas bu Anis.
"Pas aku ke cafe, Mira ada di sana bersama anaknya dan cerita tentang kamu yang datang juga bersama Radit atas sarannya." sambung bu Anis.
"Mba Mira cerita apa saja mba?" tanya Airin.
"Gak banyak sih. Cuma bilang kayaknya kamu cemburu waktu tahu Mira dan Radit pernah pacaran." jawab bu Anis.
"Aku gak cemburu kok mba." ucap Airin.
"Oke deh kalau begitu. Aku kira kalian jarang ke sini karena kalian berantem dan penyebabnya Mira." ujar bu Anis.
Airin tersenyum sambil menggeleng. Menyakinkan kalau dirinya dengan pak Radit tidak ada masalah.
"Airin, sayang. Ayo kita pulang." ucap pak Radit tiba-tiba.
Airin menoleh ke arah belakang lalu kemudian berdiri. Begitu juga dengan bu Anis.
"Baru jam segini loh, Rad. Sudah mau pulang?" tanya bu Anis.
"Iya Nis. Kayak gak tahu saja suami istri jam segini mau apa." jawab pak Radit.
Bu Anis tertawa mendengar jawaban kakaknya dan menyuruh Airin cepat pulang.
"Sana, Ai pulang. Radit sudah gak tahan." ucap bu Anis.
Airin heran dengan ucapan bu Anis dan hanya mengangguk saja.
***
Airin ingin berbicara sebelum pak Radit membelokkan mobilnya menuju apartemen. Namun, belum sempat terucap, pak Radit sudah membelokkan mobilnya.
"Kita akan pulang ke apartemen, sayang." ucap pak Radit sambil mengacak pelan rambut Airin.
Airin hanya mengangguk dan berkata, "Iya, mas. Itu yang akan ucap tadi. Aku mau pulang ke apartemen."
Pak Radit tersenyum dan tangan kirinya kemudian beralih menggenggam tangan kanan Airin.
***
Pak Radit keluar dari kamar mandi dengan sudah memakai kaos lengan pendek dan boxer. Ia melihat Airin berbaring di kasur dengan stelan baju tidur panjang.
"Ada yang mau kamu bicarakan, sayang?" tanya pak Radit kepada Airin.
"Banyak mas." jawab Airin.
"Tapi, jangan lupa handuknya digantung mas. Gak boleh ditaruh sembarangan, nanti lembab." sambung Airin.
Pak Radit tertawa dengan peringatan istrinya dan berjalan menaiki kasur. Ia menarik badan Airin ke dalam pelukannya.
"Sesak, mas." ucap Airin.
"Gemes." ujar pak Radit sambil sedikit melonggarkan pelukan. Ia kemudian meletakkan kepala Airin ditangan kanannya agar wajah mereka bisa sejajar.
"Maaf, mas. Aku terlalu banyak salah. Aku egois." ucap Airin.
Pak Radit hanya diam lalu membenarkan anak rambut Airin yang menutupi wajah cantiknya. Ia membiarkan Airin menyelesaikan ucapannya.
"Aku jahat sama kamu karena gak biarin kamu masuk selama kurang lebih 10 hari. Aku malu, mas. Tapi, aku malah kangen sama kamu. Aku gak mau kamu lihat aku terpuruk." sambung Airin.
"Boleh, mas bicara?" tanya pal Radit dan diangguki oleh Airin.
"Aku maafin, Airin. Mas juga minta maaf gak begitu jujur kalau mas sebenarnya ingin punya anak cepat. Tapi, kamu juga tahu kan, sayang? Mas gak akan maksain apa pun ke kamu. Asal kamu bahagia, mas juga ikut bahagia." jelas pak Radit.
"Aku sayang banget sama, Airin. Mas jadi merasa bersalah kalau mas gak bisa nemenin kamu pada saat-saat terpuruk. Mas ngerasa gagal jadi suami. Kamu ngerti kan?" sambung pak Radit.
"Ngerti, mas. Terus kenapa mas belakangan ini gak datang ke rumah?" tanya Airin.
"Kok kamu tahu mas sering ke rumah kamu?" tanya pak Radit bingung.
"Aku dengar suara mobil, mas. Kamu sering datang dan akan pergi saat aku mematikan lampu. Benar kan?" jelas Airin.
"Iya. Tapi, mas selama 10 hari ini terus ke rumah kamu." ucap pak Radit.
"Belakangan memang, mas ke rumah kamu setelah kamu sudah matiin lampu kamar. Kamu pastinya sudah tidur." sambung pak Radit.
"Kenapa gitu? Ketemu Mira dan anaknya dulu?" tanya Airin curiga.
"Gak. Mas banyak kerjaan saja belakangan ini. Tapi, soal ketemu Mira dan anaknya gak salah sih." jawab pak Radit dengan jujur.
"Tuh kan?" rajuk Airin.
"Mas gak ada apa-apa dengan Mira. Mas hanya merasa kasihan dengan Bram. Saat ini, Bram membutuhkan kasih sayang papanya. Jadi, Bram juga menganggap mas seperti papanya." jelas pak Radit.
"Kamu juga, apa yang kamu bicarakan sama Mira?" tanya pak Radit.
"Memperingatkan Mira saja. Bahwa mas Radit itu milik Airin seorang." ucap Airin lalu masuk ke dalam dekapan pak Radit karena malu.
Pak Radit tersenyum senang dan membelai rambut Airin dengan penuh sayang. Sekitar 5 menit, diantara mereka tidak ada yang bicara. Mereka hanya menikmati posisi berpelukan yang nyaman. Sampai akhirnya Airin berkata, "Aku gak mau minum pil KB lagi, mas. Kita masih diberkati Tuhan untuk punya anak. Aku akan berusaha menjadi istri dan ibu yang baik. Selain itu, aku berharap kepada Tuhan untuk sembuh dari kecemasan dan ketakutan karena trauma masa lalu. Kita akan punya anak kapan pun jika Tuhan mengizinkan, mas."
"Tentu, sayang. Mas akan selalu di sisi kamu apa pun yang terjadi. Kita nikmati kehidupan pernikahan kita dengan penuh kebahagian. Kamu akan baik-baik saja." ucap pak Radit.
"Iya, mas. Aku dan kamu juga akan baik-baik saja." ujar Airin.
"Aamiin." ucap pak Radit dan diikuti oleh Airin.
"Mas mau mengantar kamu konsultasi." ujar pak Radit.
"Aku kemarin baru saja konsultasi, mas. Kata tante Cici aku sudah mulai membaik. Aku rasa kecemasan dan ketakutanku mulai berkurang. Tapi, aku berharap bisa hilang dan gak ke tempat itu lagi untuk konsultasi." ucap Airin.
Airin melepaskan pekukan pak Radit dan berkata, "I love you, mas."
Pak tersenyum senang Airin mengucapkan kalimat itu.
"I love you too, sayang." balas pak Radit kepada Airin. Ia kemudian memposisikan dirinya di atas Airin.
Pak Radit mengecup lama kening Airin dengan penuh sayang. Sementara Airin menikmati dengan sama-sama memejamkan mata. Ada banyak harapan pada mereka untuk menjalankan hidup dengan baik tanpa bayang-bayang masa lalu yang menunda kebahagiaan.
[The End]

Komentar Buku (483)

  • avatar
    GultomRirin

    cerita nya bagus👍

    5d

      0
  • avatar
    PutriJulia

    bagus

    6d

      0
  • avatar
    JunAnita

    bagus sangat menyentuh hati sekali waw luar biasa sangat bagus anda berpengalaman

    14/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru