logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 44: Penyembuhan Diri

Sudah hampir 10 hari Airin berusaha menyembuhkan dirinya sendiri dari rasa cemas dan takut. Berbagai hal ia lakukan seperti saran tante Cici dan sahabatnya.
Malam ini, Airin seperti biasa akan menulis di kertas kosong yang ada di manding kamarnya mengenai kegiatan yang sudah ia lakukan. Selama 10 hari ini juga, Airin cukup mampu mengatasi kecemasan dan ketakutannya. Ini berkat Tuhan dan terapi yang diberikan tante Cici.
"Hari ke-10: Konsultasi Lagi." ucap Airin sambil menulisnya di kertas.
Airin membaca dan mengingat kembali kegiatan 9 hari sebelumnya.
"Hari ke-1: Melakukan saran yang Diberikan Tante Cici."
"Hari ke-2: Jogging dan Membeli Kebutuhan Rumah."
"Hari ke-3: Pergi ke Kelas Ibu Hamil Bersama Rizka dan Hani."
Airin berhenti membaca sejenak untuk mengingat betapa hebohnya mereka bertiga saat di kelas ibu hamil. Dirinya dan Hani dipuji sudah pantas menjadi ibu karena bisa mempraktekkan cara menggendong anak yang benar.
"Hari ke-4: Makan Buah yang Dibawa Hani dan Bermain Basket di Lapangan Dekat Rumah."
"Hari ke-5: Terapi Dadakan."
Airin memejamkan matanya dan mengingat kejadian waktu itu.
Flashback
Suasana pagi yang sepi sangat terasa di rumah Airin. Ini karena sang empu rumah belum bangun lagi setelah shalat subuh.
Dtrrrtt dtrrrtt dtrrrtt
Bunyi getaran alarm handphone yang membuat Airin terganggu. Ia kemudian bangun dengan setengah tersadar lalu turun ke lantai bawah untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya. Setelah selesai sarapan, Airin merasa rumahnya benar-benar sepi. Dalam hati ia berkata, "Jadi kangen mas Radit."
Untuk mengusir kesepiannya, Airin menyalakan televisi rumah. Acara pertama kali yang muncul adalah kartun anak kembar yang sering disebut Upin dan Ipin. Airin menonton sebentar dan mengganti saluran televisi berita.
Baru saja menggantinya, ia dikagetkan dengan berita anak kecil yang ditemukan pingsan akibat dianiaya oleh kedua orang tuanya. Airin mendadak teringat dengan kejadian di mana papa dan mama sering juga menganiayanya dengan pukulan dan makian. Suara pukulan sapu yang beradu dengan kulitnya bisa dirasakan Airin. Begitu juga makian mamanya yang sering mengatakan dirinya bukan anak yang berguna.
Tanpa disadari, Airin membanting remote TV dan berteriak dengan kencang. Lalu kemudian, ia menutup telingannya sambil terduduk di lantai. Airin menangis sejadi-jadinya. Saat tersadar, ia berjalan tertatih ke kamarnya untuk mengambil handphonenya.
Airin menelepon tante Cici dengan tergesa.
"Tan, tante. Tolong Airin!" ucap Airin setelah sambungan telepon tersambung.
"Halo, Ai. Kamu kenapa? Kamu tenang dulu, narik napas dan buang perlahan. Begitu seterusnya sampai kamu bisa tenang." pinta tante Cici.
Airin melakukan pinta tante Cici lalu setelah tenang ia berkata, "Tante tolong! Airin bisa merasakan pukulan dari papa dan makian dari mama."
"Apa sekarang masih begitu?" tanya tante Cici.
"Iya, tante." jawab Airin singkat sambil ketakutan.
"Sekarang Airin tenangin diri dulu. Setelah itu bisa datang ke klinik?" tanya tante Cici lagi.
Airin mengangguk walaupun pastinya tidak bisa tante Cici lihat.
"Iya, tante." jawab Airin.
"Oke. Segera ke sini saja Ai!" ucap tante Cici.
Airin mematikan sambungan telepon dan memesan taksi online. Butuh waktu lima belas menit untuk taksi datang. Airin bergegas meminta pak sopir untuk ke tempat tujuan dengan cepat.
"Pak, cepat!" suruh Airin setelah memasuki taksi.
"Iya, mba." jawab pak sopir dan melajukan taksinya dengan cepat.
Sesampainya di klinik tante Cici, Airin segera ditangani. Ia diminta untuk terapi dan dirinya setuju-setuju saja.
"Oke. Kita akan mulai terapi CBT atau terapi perilaku kognitif terlebih dahulu." ucap tante Cici dan diangguki oleh Airin.
Flashback off
Airin kini kembali membuka matanya karena tidak ingin mengingat lagi serangan panik itu. Ia kemudian melanjutkan membaca kertas dihadapannya.
"Hari ke-6: Melakukan Relakasasi."
"Hari ke-7: Membaca Buku."
"Hari ke-8: Olahraga dan Memasak."
"Hari ke-9: Menonton Vidio Konten Edukasi menjadi Orang Tua yang Baik."
"Gak terasa sudah 10 hari saja." sambung Airin.
Ia menatap jendela balkonnya, berharap pak Radit datang seperti sebelum-sebelumnya. Hampir 3 hari ini, ia tidak melihat mobil pak Radit parkir di depan rumahnya. Airin kemudian berjalan ke arah jendela dan menyibakkan sedikit korden.
"Maafkan aku, mas. Mungkin kamu sudah bosan menunggu aku. Jadi, kamu gak datang lagi." ucap Airin lirih.
Airin melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 21:05 WIB dan pergi tidur. Bersamaan dengan Airin yang mulai terlelap tidur, mobil pak Radit datang.
***
Keesokan harinya, ada 3 panggilan tak terjawab dari bunda Maniska. Melihat itu, Airin segera menelepon balik.
"Halo bunda. Assalamualaikum." ucap Airin.
"Halo. Walaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh." balas bunda Maniska.
"Maaf bunda. Airin tadi habis yoga di lantai bawah. Jadi, gak dengar bunda telepon, karena handphone Airin di kamar." jelas Airin.
"Gak papa, Airin. Bunda cuma mau ngabarin kamu sama Radit. Raditnya ada?" tanya bunda Maniska.
"Aduh gimana ini? Aku kan gak diapartemen." batin Airin.
"Airin?" tanya bunda Maniska karena Airin hanya diam saja, tidak menjawab.
"Iya, bun. Mas Radit sudah pergi mengajar." ucap Airin sekenanya.
"Oh, iya. Bunda lupa. Nanti malam datang ke rumah ya sama Radit juga! Kita mau merayakan ulang tahun papa Anggit bersama-sama." jelas bunda Maniska.
"Nanti malam, bun?" tanya Airin memastikan.
"Iya, Ai. Bisa kan?" tanya bunda Maniska balik.
"Iya, bunda. Bisa." jawab Airin.
"Oke kalau begitu. Bunda tutup teleponnya ya?" ucap bunda Maniska dan menutup sambungan telepon setelah diiyakan oleh Airin.
Airin tampak bingung dan berpikir apa yang seharusnya ia lakukan.
"Belakangan ini, mas Radit juga gak datang. Apa aku telepon saja ya?" tanya Airin pada dirinya sendiri.
"Iya deh telepon saja." ujar Airin sambil menekan tombol panggilan di bawah nomer handphone suaminya.
1 kali, 2 kali, 3 kali, dan 4 kali tidak diangkat. Airin bertambah bingung jadinya.
"Aku samperin saja kalau begitu." ucap Airin.
***
Airin mendatangi Cafe Maniska setelah datang ke apartemen, namun pak Radit tidak ada di sana. Saat masuk cafe, ia disambut beberapa karyawan cafe yang kenal dengan dirinya. Airin pun membalas sapaan mereka dengan ramah.
"Sudah lama gak ke sini mba?" tanya Fatiya, salah satu karyawan cafe.
Airin tersenyum dan menjawab, "Iya Fat."
"Oh iya. Tahu mas Radit sekarang ada di mana?" tanya Airin.
"Oh, pak Radit ada di rooftops mba." jawab Fatiya.
"Terima kasih Fat." ucap Airin dan menepuk pundak Airin lalu pergi ke rooftoop.
"Tapi mba." ucap Fatiya, namun tidak bisa Airin dengar karena ia sudah berlalu pergi.
Airin menaiki tangga ke rooftops dan disambut pak Radit yang sedang bermain kejar-kejaran dengan sosok anak kecil. Di sana juga ada sosok perempuan yang Airin tahu ia adalah Mira, si dokter kandungan dan mantan kekasih suaminya.
"Mas!" panggil Airin.
Pak Radit berhenti berlarian dan suasana mendadak hening. Mira langsung menarik sosok anak kecil itu lalu menggandengnya.
"Mas!" panggil Airin sekali lagi.
Pak Radit merasa senang istrinya datang dan segera memeluknya. Airin membalas pelukan pak Radit lalu melihat Mira yang menatap dirinya. Sosok anak kecil itu bingung dan meminta penjelasan ke mamanya siapa yang dipeluk oleh pak Radit.
"Ma. Tante itu siapa?" tanya sosok anak kecil itu.
Mira bingung harus menjawab apa lalu kemudian berjongkok dihadapan anaknya.
"Halo! Tante istrinya mas Radit." sapa Airin sebelum Mira menjelaskan sesuatu kepada anaknya.
Sosok anak kecil itu menatap mamanya.
"Bram sayang, tante ini namanya tante Airin, istrinya om Radit." jelas Mira.
"Berarti om Radit gak bisa jadi papa aku dong ma?" tanya sosok anak kecil itu yang ternyata namanya Bram.
Mira gelagapan mendengar pertanyaan anaknya. Selama beberapa hari ini, Bram sering datang ke Cafe Maniska dan bermain dengan pak Radit. Bram juga sudah menganggap pak Radit seperti papanya.
"Om Radit gak bisa jadi papa kamu, sayang. Tapi, om Radit bisa jadi temannya Bram." ucap Mira.
"Iya, Bram sayang. Om Radit bisa jadi teman bermain Bram." ujar Airin yang sudah berjongkok di samping Bram untuk mensejajarkan posisinya dengan Bram.
"Beneran, tante?" tanya Bram.
Airin mengannguk dan mengiyakan pertanyaan Bram.
"Iya, Bram." ucap Airin.
"Apa yang dikatakan mama Mira dan tante Airin benar, Bram. Kalau Bram ada waktu dan om juga ada waktu, kita bisa bermain. Oke?" jelas pak Radit.
"Oke, Om." ucap Bram polos.
"Mas, bunda telepon. Bunda minta kita nanti malam ke rumah untuk merayakan ulang tahun ayah Anggit. Kita harus membeli kado untuk ayah. Tapi sebelum itu, aku harus bicara dulu sama Mira, mas." jelas Airin sambil menatap pak Radit dan Mira bergantian.
"Oke kalau begitu. Bram, mau main sama om di bawah?" tawar pak Radit.
"Iya, om." balas Bram sambil menggandeng tangan pak Radit untuk pergi ke bawah.
***

Komentar Buku (483)

  • avatar
    GultomRirin

    cerita nya bagus👍

    5d

      0
  • avatar
    PutriJulia

    bagus

    6d

      0
  • avatar
    JunAnita

    bagus sangat menyentuh hati sekali waw luar biasa sangat bagus anda berpengalaman

    14/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru