logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 58 Ini Masih Saya, David.

Saya sudah mengaku bahwa saya memang salah. Namun, Dinar tetap saja mengungkit kejadian tiga tahun lalu. Saya yakin, dia saat itu tidak menerima permintaan maaf saya dengan tulus, teringat jika sekarang laki-laki itu tetap kesal dan menyimpan dendam kepada saya.
Berkali-kali dendamnya dilampiaskan dengan cara menggunakan Anna sebagai umpan. Tentu saja saya terpancing, dan masuk ke perangkapnya.
Sedari dulu, Dinar tidak mau mengalah, dan selalu memutar balikkan fakta. Tiga tahun yang lalu, jika saya tidak segera meminta maaf, mungkin wanita itu sudah tinggal nama. Padahal, itu bukan kesalahan saya, tapi saya yang harus menanggungnya.
Saya tidak terima jika saya selalu menjadi sasaran atas kesalahan yang Dinar lakukan. Dia selalu menggunakan tameng, bahwa sebagai kakak saya harus melindunginya.
Saya memang kakaknya, tapi hanya kakak tiri. Andai saja Mama saya mendengarkan keluhan saya, kalo saya tidak ingin memiliki Papa baru, pasti Dinar tidak akan muncul dikehidupan saya.
Nyatanya, laki-laki itu hanya menjadi beban yang selalu menyusahkan.
"Santai Vid, kita cuma ciuman."
Itu yang dia katakan setelah saya menanyakan apa yang dilakukannya kepada Anna setelah dia mengirimkan video tidak senonoh itu kepada saya. Yang membuat saya dipanaskan api cemburu dan langsung memutuskan pulang.
"Cuma kata kamu?"
Saya geram dengan jawabannya yang mengejek. Saya tidak terima, laki-laki itu merasa tidak bersalah setelah yang dia lakukan kepada Anna.
"Emang, lo ngarep apa? Gue seks sama Anna? Sorry Vid, gue gak pedofil kayak lo,"
Tentu saya semakin geram mendengar kalimatnya. Sejak dulu, laki-laki itu selalu pintar mengoceh.
Saya kalah cepat, hingga satu pukulan mampir dirahang saya. Saya meringis menahan sakit, membuat saya tertantang untuk balas memukulnya.
"Udah kan, kita impas." katanya.
"Mending lepasin Anna deh, buat gue aja. Gue mau kok, meskipun udah bekas lo. Sebenarnya melukai harga diri gue sih. Gue kan gak kayak lo, yang suka mungutin yang bekas-bekas."
Saya tidak terima lagi, dan langsung menghujani pukulan diperutnya. Karena itu adalah tujuan saya menemuinya, untuk membuat dia jera. Saya tidak bisa jika hanya terdiam, sementara Anna saya selalu dia seret sebagai umpan.
"Kamu gak berhak ikut campur kehidupan saya dan Anna. Cukup urus saja hidup kamu sendiri."
"Oh jadi gitu. Persis banget sama yang gue ucapin tiga tahun yang lalu. Tapi endingnya? Percuma bray, lo aja khianatin gue."
Masih sama, Dinar memutarbalikkan fakta. Sepertinya dia sudah lupa dengan kejadian yang sebenarnya tiga tahun yang lalu.
"Gue mendadak bisa meramal, kalo hubungan lo sama Anna, bentar lagi bakalan ambyar."
Lalu dia sok sok an menjadi peramal.
"Berati itu rezeki bagi gue. Wkwkwkwk,"
"Anna. Cantik banget ya istri kecil lo itu. Gue jadi gemes sama tuh bocah."
Tangan saya mengepal, sudah siap melayangkan tinjuan lagi, tapi saya urungkan begitu Dinar kembali bersuara, "Yang kemarin berhasil bikin lo cemburu ya Vid. Wah hebat banget ya gue."
"Apa lagi yang kamu rencanakan, setelah sengaja memasukkan obat tidur ke makanan Anna?"
"Obat perangsang maybe, kayaknya sih seru."
Bugh. Satu pukulan langsung saya layangkan ke perut Dinar. Omongannya sangat tidak bermutu dan tambah membuat emosi saya meradang.
"Pelayan kamu ternyata suka lapor ya. Sebelas dua belas sama majikannya."
Saya terdiam, menunggu lagi bualan apa yang akan dia lontarkan.
"Lo gak bosan, selalu dapatin apa yang lo mau? Gak minat apa, ngalah sedikit. Gue tau kita saudara, tapi seenggaknya jangan rebut apa yang gue punya."
Sebenarnya, jika saya bisa memilih, saya tidak ingin memiliki saudara seperti Dinar. Saya mengakuinya hanya untuk sebuah formalitas dan sangat terpaksa.
Semua yang dia katakan tentang saya itu tidak benar. Bahkan kebalikannya, dia sendiri yang selalu mendapatkan apapun yang sudah menjadi milik saya, termasuk Anna.
Tiga tahun lalu, andai saja saya bisa melupakan kenangan pahit itu, saya mau. Andai saja ada orang pintar yang bisa menghilangkan kenangan itu dari ingatan saya, saya sanggup membayar sebesar apapun.
Waktu itu, saya baru pulang dari perkebunan apel, dan langsung mampir ke rumah Eyang. Rencananya besoknya saya harus ke Trenggalek untuk segera merealisasikan rencana saya untuk mulai membangun kafe.
Setibanya saya di rumah Eyang, keadaan menjadi rumit. Saya tidak tau apa-apa, dan malah ditodong borgol oleh dua polisi yang mendampingi seorang wanita yang saya kenal.
"Ada apa ini?" tanya saya. Seharusnya saya sudah bisa merebahkan diri di kasur empuk, tapi tidak bisa begitu melihat situasi saat itu. Padahal, punggung saya sudah kaku, meminta untuk diistirahatkan.
"Nah, itu dia pelakunya datang." Bahkan, Dinar waktu itu juga langsung menuduh saya yang masih plonga plongo seperti bocah TK.
Saya mendekat ke arah Sarah, yang waktu itu terduduk lemah di lantai.
"Ngapain kamu disini?"
Saya sebenarnya masih kesal dengan dia, karena ingatan saat dia menjelekkan saya masih teringat jelas. Dia memaki saya dengan sebutan laki-laki brengsek, lalu dia memilih kabur bersama Dinar. Padahal saya tidak bersalah semisal memiliki niatan akan meninggalkan dia, malah saya memiliki rencana akan melamar dia minggu depannya.
"Aku minta pertanggungjawaban," katanya dengan tatapan fokus ke lantai. Saya masih tidak mengerti dan terus menodong pertanyaan
"Maksud kamu?"
"Aku hamil anak kamu."
Saya terkejut bukan main. Saya ingin mengelak dan mengingatkan dia bahwa dia pernah bercerita jika setelah kami bercinta malam itu, paginya dia langsung mendapatkan datang bulan.
Tiba-tiba dia datang setelah tiga bulan meninggalkan saya, dan mengaku hamil anak saya, saya tidak bisa berfikir normal.
Saya berpacaran dengan Sarah sudah hampir tiga tahun. Selama itu, kami sudah sering bercinta layaknya sepasang kekasih, namun saya tidak pernah meninggalkan sperma di rahimnya, karena saya selalu menggunakan pengaman. Andaikan kebobolan, saya juga berjanji kepada Sarah, saya akan bertanggungjawab.
Tapi itu dulu, dan janji saya tidak berlaku setelah dia putus dengan saya, dan dia malah berpacaran dengan Dinar.
"Drama apa yang kamu buat? Ini gak masuk akal. Kita sudah putus, dan kamu mengaku kalo hamil anak saya?"
Saya sangat marah. Bayangkan saja, saya waktu itu kelelahan, namun malah dihadiahi kejutan yang tidak bisa masuk nalar.
"Jangan pura-pura lupa Vid. Kamu bisa dipolisikan lho, kalo gak ngaku." kata Dinar yang malah membuat saya semakin panas.
Laki-laki itu sejak awal kedatangannya sangat merepotkan saya. Dia tiba-tiba datang, langsung merebut Sarah dari saya, dengan memaki saya, jika saya sudah merebut Sarah darinya.
Setau saya, saya pacaran dengan Sarah dalam keadaan Sarah free. Jika ternyata Sarah bohong, artinya dia harus mempersalahkannya dengan Sarah, bukan dengan saya.
Saya sudah merelakan Dinar membawa Sarah dari saya, dan bahkan mendoakan mereka bahagia. Saya sudah melupakan meskipun saya sakit hati, karena perasaan saya kepada Sarah luar biasa dalamnya.
"Saya difitnah. Saya sudah lama putus dari dia. Dan kalo dia hamil, itu artinya bukan dengan saya, tapi dengan kamu," kata saya sembari menunjuk Dinar.
"Aku hamil anak kamu Vid." Nada bicara Sarah meninggi. Wanita itu bangkit, dan memelototi saya dengan amarah yang menggumul di dadanya.
"Mana mungkin. Saya ingat waktu itu kamu bilang mens, dan itu terakhir kalinya saya melakukannya dengan kamu."
"Itu bukan mens. Aku bohong."
"Kamu serius, itu anak saya, bukan anak Dinar? Bukannya kamu berpacaran dengan dia setelah meninggalkan saya?"
"Enggak."
"Nah, jangan ngelak lagi kamu Vid. Kamu gak bisa lari dari tanggungjawab."
Seketika itu, saya langsung menonjok Dinar karena geram dengan kalimat ngawurnya. Saya pernah memergoki dia sedang bercinta bersama Sarah, yang dia lakukan di salah satu kamar vila milik saya. Dia tidak melakukan sendirian, melainkan mengajak banyak teman laki-lakinya tentu hanya Sarah yang perempuan disitu.
Saya hanya bisa memergokinya dari jauh saat para laki-laki itu termasuk Dinar, membawa Sarah yang mabuk sempoyongan masuk ke kamar. Namun sebelum itu, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, Dinar lebih dulu mencium dan meraba Sarah tepat didepan pintu kamar.
Saya curiga, bahwa jangan jangan anak di dalam kandungan Sarah adalah hasil join sperma para laki-laki itu.
"Bawa dia Pak. Interogasi dia sampai mengaku, saya benar-benar tersiksa."
Polisi tidak hanya diam dan langsung memborgol saya. Membawa saya ke kantor polisi, hingga membawa saya ke meja hijau, yang akhirnya menjebloskan saya ke penjara, padahal saya tidak bersalah, dan itu fitnah.
Saya disuruh mengaku, padahal itu bukan perbuatan saya. Sarah akan bunuh diri jika saya tidak mau mengaku, lantas apa yang bisa saya lakukan lagi ketika saya tidak bisa membela diri.
Saya tidak tau, kenapa Dinar sangat membenci saya hingga melakukan itu kepada saya. Jika saya benar-benar telah merebut Sarah darinya, saya sudah minta maaf, dan saya bahkan juga sudah mengikhlaskan dia membawa Sarah kembali kepadanya.
Apa itu dilakukannya karena dia iri sama saya, yang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang. Seharusnya dia maklum, dan sadar diri, karena dia hanya cucu tiri, yang kehadirannya sangat tidak diharapkan. Dia anak zina, yang berhasil dicetak hasil dari hubungan gelap Mama dengan seorang laki-laki yang merupakan karyawan Papa.
Menurut saya, Dinar sungguh keterlaluan. Bahkan hingga saat ini, laki-laki itu tidak pernah berhenti berulah.
###
Saya masih tidur pulas, ketika hari sudah beranjak pagi. Tubuh saya lemas sekali setelah tadi malam bercinta dengan istri saya.
Untuk yang pertama kalinya, saya berhasil merenggut keperawanannya atas izin darinya juga.
Begitu mendengar keributan, saya terbangun dan tidak mendapati Anna disebelah saya.
"Aku hamil anak kamu."
Kalimat itu seperti de javu. Hanya saja diucapkan oleh perempuan berbeda. Saya langsung mengelak, dan meyakinkan Anna yang sudah kemakan omongan Olivia.
Tapi Anna, istri kecil saya itu, tidak percaya dan memilih kabur bersama Dinar.
Saya benar-benar marah, dan langsung memarahi Olivia. Bagaimana bisa dia hamil anak saya, sementara saya tidak pernah bercinta dengannya.
Selepas makan malam di Surabaya waktu itu, saya ditawari minum alkohol oleh rekan kerja saya. Tentu saya tidak bisa menolak dan meminumnya.
Sebenarnya, saya perlahan-lahan mengindari minum alkohol, tentu saja semenjak saya menikah dengan Anna.
Saya takut, kesukaan saya terhadap alkohol akan memberi dampak buruk bagi Anna. Istri saya itu masih kecil, jadi harus berhati-hati jika ingin dia tidak kenapa kenapa.
"Kamu mabuk banget Vid," kata Olivia sembari membantu saya kembali ke kamar. Saya tidak bisa meminta bantuan Dasa, karena waktu itu dia pergi menemui kekasihnya yang kebetulan sedang berada di Surabaya.
Saya kembali ke kamar dibantu Olivia. Perempuan itu sangat kesusahan saat memapah saya, sementara saya melantur tidak jelas. Berulangkali saya menyebut nama Anna, bahkan sampai hilang kendali menganggap Olivia sebagai Anna.
Saya hilang akal. Dibawah kendali alkohol, saya mencium Olivia yang saya anggap Anna. Saya mengakui itu sebuah kesalahan besar yang saya lakukan. Saya merasa berkhianat.
Olivia pun juga begitu pasrah, dan bahkan membantu saya melepaskan pakaian. Dia juga melepas pakaian miliknya dan kembali mencium saya dengan beringas.
Hingga satu nada dering tanda pesan masuk menyadarkan saya. Saya biasanya mengaktifkan mode silent, namun waktu itu tidak karena saya selalu menanti pesan dari Anna.
Saya langsung melepaskan diri dari Olivia, dan membuka pesan yang ternyata bukan dari Anna, melainkan dari nomor tidak dikenal.
Begitu melihat isi pesan yang ternyata adalah video, saya langsung sadar, dan melihat perempuan yang tadi saya kira adalah Anna ternyata Olivia yang sudah setengah telanjang.
Saya tidak pernah bercinta dengan perempuan itu, namun dia tiba-tiba mengaku saya sudah menghamilinya.
Saya didera pengulangan masalalu untuk kedua kali. Saya benar-benar pusing, ditambah lagi Anna pergi meninggalkan saya seolah dia tidak sudi kembali, dan pergi bersama Dinar.
Saya berkali-kali mencoba menemui dia dengan mendatangi rumah Dinar, tapi rumah itu kosong. Saya semakin resah, dan mulai putus asa.
Berkali-kali saya mendatangi kampus, dan juga kos-kos annya, namun saya tidak juga berhasil berjumpa dengannya.
Dan ketika saya berhasil bertemu dengan Anna, istri saya itu sudah berubah. Dia sangat senang memakai pakaian seksi, dan mengumbar kulit mulusnya itu di hadapan banyak orang, padahal dulu, saya tau sekali jika dia tidak menyukai pakaian seperti itu.
Saya kecewa dan sakit hati, namun apa daya saya belum bisa berbuat apa-apa. Saya marah dan sama sekali tidak suka jika melihat dia memamerkan tubuhnya kepada orang selain saya. Apalagi ketika saya terbayang, bahwa Anna tinggal bersama Dinar, fikiran kotor itu tidak lepas dari saya.
Gadis itu masih labil. Dia masih sangat polos, dan saya takut, dia disalahgunakan oleh Dinar. Saya tidak mau itu terjadi, dan jika beneran terjadi saya tidak mau membiarkan Dinar bisa hidup bebas menikmati indahnya dunia.
Saya berulangkali mengatakan kepada Anna, bahwa anak yang dikandung Olivia itu bukan anak saya. Saya selalu mengulangi kalimat yang sama, bahkan membubuhkan juga kalimat bahwa saya akan membuktikan itu bukan darah daging saya.
Apa yang bisa saya lakukan, selain menunggu bayi itu lahir, lalu bisa menjalankan tes DNA. Selama itu, saya harus bertahan hidup dengan rasa gundah gulana menyerbu jiwa.
Setiap malam, saya tidak bisa tidur tenang, karena selalu terbayang dengan Anna.
Apa yang dia lakukan bersama Dinar? Apa dia aman bersama Dinar? Apa Dinar sialan itu bisa menahan birahinya untuk tidak memangsa Anna?
Setiap hari pertanyaan itu selalu berjubelan di otak saya.
Saya memutuskan untuk meninggalkan rumah, dan menginap di ruang kerja saya di lantai atas kafe. Saya tidak mau tinggal berdua bersama Olivia meskipun itu adalah rumah saya.
Tidak ada yang bisa saya lakukan, selain menunggu hari itu tiba. Dimana saya akan membuktikan janji saya kepada Anna, dan membawa Anna kembali ke pelukan saya.
Saya mencintai dia lebih dari saya mencintai diri saya sendiri. Gadis itu adalah segalanya bagi saya. Saya tidak bisa begitu saja lupa, sementara sejak pertama kali bertemu dia sudah berhasil menarik perhatian saya.
Saya yakin, bahwa dia adalah istri saya yang langsung diamanatkan oleh Tuhan. Saya tidak bisa melepaskan dia hanya karena kesalahfahaman. Saya akan berjuang, mendapatkan dia kembali.
_____
Udah tamat. Tapi kalo kalian sabar menunggu, saya punya ekstra part yang saya sembunyikan. Btw, kalian masih kepo dengan apa tentang cerita ini?

Komentar Buku (535)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    ApriliaNadira

    membosankan

    21/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru