logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 55 Hujan Aja Barengan, Masa Kita Enggak

Aku heran deh. Kenapa ya kalo bangun tidur selalu beda tempat. Padahal, seingatku, tadi malam aku sengaja tidur di ruang atas kafe, setelah kenyang makan. Sekarang, bangun bangun sudah di kamar rumah saja.
Gak mungkin kan kalo aku bisa teleportasi pas tidur. Kalo bisa, aku pengen tidur lagi, terus bangun bangun sudah sampai di Korea.
Diluar lagi hujan, deras banget. Aku jadi pengen tidur lagi, bergelung selimut soalnya ini dingin banget.
Tapi, kayaknya lebih baik aku makan indomie deh, pas banget perutku sudah keroncongan lagi.
"Om lagi ngapain?" tanyaku pas melihat Om David lagi sibuk di dapur. Tumben banget kan itu orang, biasanya dia kalo malam begini masih mantengin TV, nonton Mbak Najwa.
"Cuci piring," jawabnya lalu menyisih, memperlihatkan ke aku kalo dia lagi cuci piring beneran.
"Tumben,"
Aku langsung melakukan niatku, pumpung hujannya belum berhenti. Soalnya, makan mie tuh paling ajib kalo pas hujan.
"Ngapain kamu?"
Om David balik bertanya melihatku mengambil panci. Aku gak menjawab, dan menggesernya agar memberiku ruang untuk mengambil air di kran.
"Mau buat teh?" tanyanya lagi.
"Masak mie," jawabku seperlunya. Aku gak niatan untuk menawari dia, soalnya masih ingat kalo dia makan mie instan hanya setahun sekali. Meskipun dulu aku berusaha melupakan apapan tentang dirinya, nyatanya aku gak bisa lupa.
"Gak usah. Kamu kalo lapar tinggal ke depan." Cegah Om David seraya merebut panci dari tanganku.
"Ke depan kemana? Kan gak ada warung." jawabku, dan membiarkan Om David meletakkan kembali panci di paku dinding, sementara aku memilih menelusuri kulkas, siapa tau ada sisa makanan yang masih bisa dimakan.
"Saya beliin makanan, saya taruh di meja depan." Penjelasan Om David membuatku tatapanku berhenti pada sebuah botol minuman ekstrak teh. Gak mikir lama, aku langsung menyahut teh itu.
"Om beli makanan apa?" tanyaku lalu melangkah menuju ruang depan. Jangan bilang, dia bawa makanan dari kafe, kalo beneran, itu namanya gak beli.
"Loh, kok banyak lilin. Siapa yang mau ritual? " Aku kaget dong, pas melihat banyak lilin menyala di meja. Gak itu doang, di atas meja juga tersaji beberapa makanan yang cantik banget dihias ala-ala makanan restoran gitu.
"Ini sesajen?" tanyaku lagi pas Om David sudah ada disebelahku. Laki-laki ini tampak biasa saja gitu, gak kaget, jadi kucurigai dia yang menyiapkan ini semua.
Nah kan, kayaknya kecurigaanku kalo kekayaannya itu berasal dari dunia ghaib kemungkinan terbukti.
"Bukan. Ngapain buat sesajen kalo enak dimakan." katanya lalu mematikan lampu utama, dan menyisakan lampu temaram, yang menciptakan suasana menjadi agak seram. Mana lagi di sekeliling makanan, ditaburi bunga mawar merah, kan aku jadi merinding.
"Ngapain dimatiin sih Om, aku kan takut," kataku sembari memeluk tubuhku sendiri. Om David diam saja, dan malah menggeser kursi menyuruhku duduk, lalu lanjut menyalakan lilin.
"Ini ada acara apa?" Sedari tadi itu yang kubingungkan. Kalo bukan buat ritual, terus ini buat apaan. Kalo mau makan, gak biasanya juga perlu dihias kayak orang lagi dinner ngerayain universeri.
"Aku kan gak ulang tahun Om. Emang Om lagi ulang tahun?" tanyaku lagi.
"Saya menyiapkan ini semua untuk kamu. Saya sengaja, mengajak kamu dinner ala rumahan."
Aku mengernyit, sembari terus memperhatikan Om David yang sudah duduk didepanku.
"Beneran?" tanyaku lagi padahal sudah jelas kalo ini bukan ritual mencari kekayaan, dan harusnya aku percaya kalo ini dinner ala rumahan.
"Iya. Saya sengaja gak mengajak kamu dinner di luar."
"Kenapa? Karena hujan?" tebakku. Soalnya dulu juga pernah kejadian kayak gini. Padahal Om David janji mau ngajak aku dinner di restoran, tapi langitnya gak merestui, dan turun hujan. Akhirnya gak jadi, dan kami malah makan indomie. Kejadian itu sudah lama, tapi aku masih ingat setiap detailnya.
"Karena saya, gak mau repot pulang dulu, kalo mau menyerang kamu," jawabnya terus dia tersenyum nakal.
Aku gak faham apa yang dia maksud, tapi aku iyakan saja, soalnya gak mau memperpanjang, dan hidangan di depanku lebih menggoda untuk segera dieksekusi.
"Ini beneran buat dimakan kan?" tanyaku seraya mulai memegam garpu dan sendok untuk menikmati spageti bersaos putih yang aku gak tau apa nama menu nya kalo di jual di restoran.
"Boleh."
"Om David sebenarnya kesambet apa?" tanyaku disela makan. Sebenarnya mau memuji, kalo makanannya enak banget, tapi kan yang masak bukan Om David.
"Nanti saya bilangin, setelah makan. Saya tau kamu lapar." ucap Om David sembari memasukkan spageti ke mulutnya, dan mengunyah pelan. Laki-laki itu selalu saja berwibawa gak terkecuali ketika makan.
Dia saja makan ayam goreng, pakai sumpit. Beda banget sama aku yang langsung makan pakai tangan. Padahalkan dia gak lagi makan bareng Pak Jokowi, jadi gak perlu kayak gitu.
"Ini boleh dimakan juga?" tanyaku sembari melirik sepiring steak, lengkap dengan kentang goreng.
"Boleh. Semuanya boleh kamu makan."
Aku mengangguk, dan segera menyisihkan piring kosong, dan mulai menyantap steak. Rasanya gak asing, kayak pernah makan dimana gitu. Kayaknya, ini steak dari kafenya dia.
"Om doyan gak sih. Kalo enggak, mending dikasih ke aku. Aku masih lapar," kataku pas melihat piring Om David belum kosong, dan bahkan spageti itu cuma dimakan beberapa suap. Mubazir banget kalo disia siakan.
Aku sedaritadi sibuk makan, sementara dia sibuk ngelihatin aku makan. Aku gak tau dia tertarik sama apa, sampai memperhatikanku kayak gitu.
Biasanya sih, Om David itu suka harus perfect segalanya. Tapi kali ini enggak, atau emang dia lupa. Dinnernya sih oke, mulai dari makanan sampai taplak mejanya. Tapi, yang makan, kayak gembel bawah jembatan.
Aku harusnya disuruh mandi dulu, terus dandan gitu biar cocok sama yang dia rencanakan. Bukannya membiarkanku makan dengan rambut acak acakan kayak gini.
"Jadi, ini tadi niatannya buat apaan?" tanyaku usai menghabiskan suapan terakhir dan lanjut meminum minuman warna merah yang rasanya mirip fanta.
"Kejutan buat kamu,"
"Gak ada yang lain? Merayakan apa gitu?"
"Sebagai rasa syukur karena kamu kembali menjadi milik saya."
"Aku belum bilang, kalo aku mau balikan lagi sama Om,"
Itu memang kebenarannya. Alasannya cuma satu, aku masih menunggu.
"Kamu harus mau, soalnya saya ada satu kejutan lagi,"
"Apa?"
Om David mengeluarkan lipatan kertas dari saku kemejanya. Mengulurkan kertas ke aku, yang langsung kuterima.
"Ini tagihan listrik? Atau tagihan PDAM?"
"Bukan."
"Struk total makanan ini semua?" tanyaku lagi padahal aku tau sedari dulu Om David gak pernah memintaku untuk membayar makanan kalo kami lagi makan dimanapun.
Om David menggeleng. "Baca dengan teliti," perintahnya yang langsung kuturuti.
Mulai membaca dengan tenang, aku mulai gak faham dengan tabel yang berisi angka kayak soal matematika. Tapi mataku kemudian terpaku pas menyusuri lebih bawah isi kertas, dan menemukan kalimat yang dicetak tebal dengan bunyi, "Probabilitas David Guetta sebagai ayah biologis dari Kino Yumara adalah 0%,"
Mataku membulat, sementara otakku tercekat. Aku biasanya masih loading kalo mencerna sesuatu yang aneh diotakku, tapi pas mencerna kalimat itu, aku langsung faham.
Mataku langsung berkaca, mengalihkan tatapan dari kertas ke Om David, aku gak bisa lagi menahah air mataku, dan mengalir begitu saja membasahi pipi.
Aku bangkit, dan langsung memeluk Om David. Satu kata yang langsung kubisikkan ditelinganya adalah kata maaf.
"Maafkan aku Om."
Tanganku memeluk erat tubuh Om David. Lalu dia malah mengangkatku ke pangkuannya, duduk menghadapnya.
"Maafkan aku, yang gak memercayai Om, dan meninggalkan Om untuk sementara waktu," kataku lagi.
Memang benar, penyesalan selalu datang diakhir. Sebenarnya itu bukan murni kesalahan, soalnya aku hanya was-was kalo saja omongan Mbak Olivia itu benar.
Aku waspada demi masa depanku juga. Dulu, jelas saja aku gak bisa langsung percaya sama Om David ketika dia gembor-gembor menyuarakan kalo dirinya gak salah. Dia bicara tanpa bukti, sementara Mbak Olivia bicara dengan bukti bayi didalam kandungan yang masih abu-abu siapa bapaknya.
Jujur, meninggalkanmu Om David itu berat. Aku harus seketika menghilangkan perasaanku untuknya, karena waktu itu, aku harus menata masa depan, gak hanya melulu meratapi nasibku yang menurutku telah dikhianatinya.
"Saya sudah maafkan kamu, jauh sebelum kamu meminta maaf. Kamu memang salah, tapi saya juga salah. Maafkan saya, karena butuh waktu lama untuk bisa membuktikan janji saya."
Om David merengkuhku, dan mendaratkan banyak ciuman dikeningku. Lewat ciuman itu, aku bisa merasakan kasih sayang. Dia kayaknya sudah menunggu waktu ini dengan tidak sabar, banyak perjuangan, namun akhirnya berhasil dia capai.
Mungkin, dulu dia sempat membenciku karena aku gak percaya dengan janjinya yang tanpa bukti.
"Sekali lagi maafin aku ya Om. Aku lebih percaya sama Mak Lampir itu daripada Om sendiri,"
Aku mengalungkan tanganku di lehernya. Menatap Om David dari mataku yang masih buram bekas genangan air mata.
"Kamu mau kan kembali lagi mengisi saya dihati kamu. Menganggap saya sebagai suami lagi."
Aku terdiam, bingung mau menjawab apa. Kalo dulu, aku belum bisa menerima Om David dengan hati gamblang, karena aku masih perlu penjelasan bukti, sekarang beda lagi.
Fikiran itu kembali menyusup, lalu disusul argumen lain, yang membuatku meraba diri. Bukan Om David yang gak pantas untuk kumiliki, tapi aku yang gak pantas untuk dia miliki.
Aku sudah berbeda gak kayak Anna yang Om David kenal. Yang masih polos, dan hanya bisa disentuh olehnya. Anna sekarang sudah bekas jarahan tangan laki-laki lain, bahkan bagian intimnya sudah pernah dimasuki milik laki-laki lain.
"Aku insecure," kataku lalu menenggelamkan wajahku dibahu Om David.
"Kamu gak punya alasan untuk insecure,"
"Ada. Banyak. Aku insecure karena gak pantas buat Om. Aku udah gak suci, udah bekas laki-lain."
Om David menatapku sendu, mengusap pipiku, dan menenangkanku dengan kalimatnya, "Saya gak peduli, dan tetap mencintai kamu."
###
Keluar dari kamar mandi, aku ketakutan. Bukan karena lihat sarang laba-laba, yang pemiliknya gede banget dan bikin merinding. Bukan juga lihat cacing yang entah darimana asalnya. Tapi, karena melihat darahku sendiri yang mengalir melewati pahaku.
Aku bingung, itu darah apa. Dulu, kalo terjadi kayak gitu, aku langsung menebak kalo itu darah haid. Tapi sekarang, karena keadaannya sudah berbeda, aku jadi khawatir, takut kalo itu darah jabang bayi yang gagal.
Aku harusnya senang kalo kekhawatiranku itu benar, karena tandanya aku keguguran dan gak jadi hamil.
"Kamu sakit?" tanya Om David begitu melihatku melangkah lemas tentu dengan wajah pucat. Dia langsung merengkuhku, mendudukkanku dipangkuannya, dan menyisihkan rambutku yang menutupi kening.
"Ah," Aku meringis nyeri sembari memegangi perutku.
"Apanya yang sakit?" tanya Om David dengan ekspresi khawatir.
"Aku gak tau, ini lagi mens atau keguguran Om, perutku nyeri." Aku mengaku. Semua yang terjadi padaku harus kulaporkan ke Om David, soalnya cuma dia yang kupunya sekarang, untuk tempatku mengaduh dan berlindung.
"Keguguran gimana, kamu kan gak hamil."
Aku menggeleng lemas.
"Saya buatin teh anget ya, bentar."
Om David merebahkanku di sofa, lalu beranjak pergi ke dapur.
Om David benar, aku itu gak hamil. Jadi kayaknya darah itu darah haid. Kalo beneran iya, berarti aku gak jadi hamil, dan pembuahan itu gak terjadi.
"Minum dulu. Nanti saya beliin jamu," katanya lalu membantuku duduk.
Tadi malam perutku juga nyeri. Itu sebenarnya sudah biasa terjadi kalo aku mau haid.
Kewanitaanku terasa mengalirkan cairan lagi. Rasanya persis kayak lagi haid, semakin yakin kalo aku beneran haid.
Aku merangkul Om David.
"Aku gak jadi hamil Om, aku mens." kataku.
"Saya percaya." Om David mengelus rambutku, lalu mengangkat tubuhku, membawaku ke kamar untuk istirahat.
"Saya beliin jamu pereda nyeri dulu. Kamu istirahat disini,"
Aku cuma mengangguk, lalu mengelus perutku.
"Kamu cuma boleh diisi sama anakku dan Om David," gumamku lalu tersenyum.
Aku tidur dari pagi hingga adzan dhuhur terdengar samar, soalnya kalah sama suara hujan. Akhir-akhir ini sering hujan gitu, dan gak menentu kapan waktunya.
Padahal, kalo hujannya siang begini, sangat merugikan banget bagi ibu rumah tangga sepertiku. Seharusnya jemuran sudah kering, masih ditunda dulu dua hari baru bisa beneran kering.
Hujan itu enakan kalo malam, soalnya bisa mempernyenyak tidur. Atau kalo enggak, sore menjelang maghrib.
"Om ngapain?" tanyaku usai dari kamar mandi, dan melihat pintu samping terbuka, memperlihatkan Om David lagi hujan-hujanan sembari mengangkat jemuran.
Astaga. Aku juga lupa kalo punya jemuran.
"Itu kan sudah terlanjur basah, ngapain diangkat," Komentarku seraya bersandar di pintu.
"Sekalian saya mau mandi."
"Gak takut angin topan, halilintar?"
Tumben banget itu om-om gak peduli soal kesehatan. Masa iya dia rindu masa kecil pas main hujan-hujanan.
"Ini asyik banget. Airnya seger,"
"Om gak takut, itu air hujan loh, banyak bakterinya."
Om David meletakkan jemuran yang basah dikeranjang, lalu malah menarikku untuk ikut hujan-hujanan.
"Om David gila. Aku kan gak mau." protesku kesal seraya mengelap wajahku yang terbasahi air hujan. Aku itu malas banget basah, soalnya lagi mens. Gak enak banget rasanya, kalo basah basahan.
Aku ingin kembali masuk ke rumah, tapi Om David malah menarikku dan mendekapku.
"Kamu sekarang mau kan kembali mengakui saya sebagai suami?" katanya lirih berbisik ditelingaku, membuatku merinding.
Aku berbalik untuk menghadapnya. Tanganku masih digenggamnya, sementara satu tangannya merogoh saku celana, dan mengeluarkan sesuatu.
"Saya belum sempat beli cincin lagi, saya nemu ini di tukang mainan anak-anak," katanya lalu memasukkan cincin mainan ke jari manisku yang ternyata gak muat, yang akhirnya dia masukkan ke jari kelingkingku.
"Ini ceritanya ngapain?" tanyaku. "Ngelamar aku?"
Om David mengangguk. Kali ini, gak ada alasan untuk menolak, setelah alasan yang membuatku mundur tidak terbukti benar. Tentu saja aku gak akan menyia-nyiakan kesempatan, dan langsung merespon dengan anggukan.
Begitu mendapat jawaban kesanggupan, Om David tersenyum lebar dan memelukku erat. Sangat lama, hingga membuatku terpejam menikmati suasana ini. Sangat langka bukan, dia melamarku untuk kedua kalinya dengan cincin mainan yang cuma bisa nagkring di jari kelingking.
Untung banget hujannya gak ada petir, jadi kami bisa lebih lama membiarkan posisi ini.
Om David melepasku, memegang kepalaku, dan menatapku serius.
"Saya berjanji, gak akan membiarkan kamu lepas lagi. Selamanya, kamu hanya milik saya." katanya, lalu membelai mataku, menghilangkan air yang menempel di bulu mata.
Tatapannya benar-benar tulus. Aku bisa melihat pancaran ketulusan itu dari sorot matanya, meskipun pandanganku sedikit buram akibat air hujan.
Dia membelai pipiku, lalu mengangkat daguku. Mata itu intens menatap bibirku yang mengatup, karena gak mau menelan air hujan.
Semakin lama ditatap, semakin jantungku berdebar.
Jujur, aku rindu sentuhannya. Apa coba yang kuharapkan dengan yang terjadi selanjutnya, saat dia menatap bibirku dengan mata kayak gitu.
Tangannya juga bergerak, membawaku lebih dekat. Mendongakkan lagi kepalaku, aku spontan ikut berjinjit saat dia mulai menempelkan bibirnya ke obyek yang sedari tadi dipandanginya.
Begitu bibir kami menempel, aku mengalungkan tanganku ke lehernya, dan memejam.
Kami bersatu lagi, setelah melewati begitu banyak rintangan dan kesalahfahaman.
Ciuman kami semakin intens. Semakin erat pula Om David memeluk pinggangku. Gak peduli dengan air hujan yang sedikit masuk ke mulut, kami tetap saling berpagut dengan ganas.
Hingga dia memilih meninggalkan bibirku, dan menelusuri leherku dengan sedikit gigitan kecil. Aku melenguh, yang suaranya teredam hujan yang semakin deras.
Baru kali ini, aku merasakan sensasi menahan gejolak nafsu dibawah derasnya hujan. Sedikit khawatir kalo Tuhan gak rela dan menurunkan petir. Gak lucu banget kalo besoknya keluar berita, 'Dua sejoli tersambar petir ketika sedang bercinta'.
Aku menahan kepala Om David, saat dia mulai turun menciumi dadaku yang sedikit terekspos karena bajuku sudah dipelorotkan dari atas.
Aku menggeleng saat dia memintaku untuk mengizinkannya menjelajahi bagian itu.
"Aku mens kalo Om lupa," kataku yang langsung memunculkan kekecewaan di wajahnya.
Tamat.

Komentar Buku (535)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    ApriliaNadira

    membosankan

    21/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru