logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 10 Aku Menemukanmu

Tepat pukul tujuh aku melajukan motorku, dengan Ibra diboncenganku.
Adikku ini sebenarnya minta kembali ke kota, sore nanti. Tapi aku punya rencana lain, yang mengharuskan permintaannya itu terpaksa tidak terkabulkan.
Rencanaku sekalian mampir ke Pantai Konang, salah satu destinasi wisata yang ada di Panggul. Sudah lumayan lama aku tidak kesana. Disini masih ada pantai lain, seperti yang kutahu ada Pantai Pelang, dan Pantai Kili.
Pantai Kili, selain menyajikan keindahan laut birunya, juga bisa kalian saksikan penyu-penyu kecil yang menuju laut saat musim pelepasan, karena pantai itu juga tempat penangkaran penyu.
Jadi, terlepas perkiraan kalian jika Trenggalek bukan kota istimewa karena tidak memiliki mall, destinasi wisata mengagumkan bisa didapat disini.
"Mas gak salah mau ke pantai? Panas lo Mas,"
Ibra menyuarakan pendapatnya tentang rencanaku. Sinar matahari masih belum panas saat ini, seberkas sinarnya memantul ke kaca helm yang memang kututup.
"Kita sampe sana gak nyampek bedug, Bra...."
Biasanya jika ke pantai aku memilih waktu sore. Menunggu matahari benar-benar redup, dan pulang menjelang Maghrib. Tidak banyak waktu memang, tapi suasana pantai di sore hari seperti itu yang kuharapkan.
Bagi kalian yang masuk ke pantai dikenakan biaya sepuluh ribu per orang, sudah termasuk parkir. Kecuali bagi orang-orang yang terlihat sebagai warga sekitar, maka hanya perlu mengatakan kepada petugas jika berdomisili disini, dan akan bisa masuk dengan gratis.
Keadaan seperti itu kadang banyak dimanfaatkan oleh para anak muda yang bukan warga sekitar, melakukan hal-hal agar terlihat seperti bukan orang jauh, seperti menyembunyikan helm di jok motor.
"Ngantuk?" tanyaku dengan setengah berteriak. Mengobrol dengan posisi seperti ini, mustahil lawan bicara akan mendengar jika dikatakan dengan lirih.
Apalagi, posisi Ibra yang menjorok ke belakang, menyisakan ruang kosong ditengah tubuh kami.
Ibra diam, entah karena tidak mendengar apa memang tertidur. Ini bahaya.
"Agak majuan dikit, Mas takut kamu jatuh." ujarku sembari menengok ke belakang, kali ini dengan suara yang lebih keras. Saking kerasnya pengendara di sampingku bahkan menengok ke arahku.
Aku hanya tersenyum, tapi percuma juga, tidak terlihat karena aku memakai masker.
Ibra tidak bersuara, tapi merasakan punggungku menyentuh bagian depan tubuhnya, aku lega, dia masih cukup sadar untuk tidak tidur diatas motor yang kulajukan dengan kencang.
Aku mengurangi kecepatan motorku, saat merasakan ada beban yang menimpa bahuku, juga disertai dengan pelukan erat di pinggangku.
Jika yang melakukan ini istriku, aku sah saja, tapi ini Ibra, walaupun dia adikku, usianya bukan seperti Alia, alias bukan anak kecil lagi.
Aku menepi, menghentikan motorku.
"Ngantuk?" tanyaku.
Kepalaku menoleh ke Ibra yang masih dalam posisi sama.
"Mas terusin nyetirnya, ntar kalo udah sampe pantai, bangunin aku,"
Aku berdecak pelan, melepaskan lingkaran tangan Ibra, membuat dia ini menegak.
"Bahaya Bra, jangan lakuin kebiasaan ngebo kamu disini."
Tidak bisa kubiarkan Ibra begitu saja, tidak lucu jika adikku terjatuh karena tertidur diboncengan polisi lalu lintas.
"Ah...ngantuk mas....." kata Ibra dengan malas.
"Apa kamu aja yang nyetir? Eh kalo tetap ngantuk malah bisa kecelakaan kita."
Jangan membuat keadaan semakin memburuk.
Akhirnya, aku kembali menyetir. Fokus ke jalan, sementara pandanganku berganti sesekali memandang jalan, dan juga berkali-kali mengawasi Ibra dari spion, mendadak banyak bicara seperti sales panci presto, yang hanya dijawab 'iya dan tidak' oleh Ibra.
Setelah memarkirkan motorku di bawah pohon yang rindang, aku menyusul Ibra yang sudah lebih dulu menuju tempat berteduh jauh dari bibir pantai.
Ibra merebahkan tubuhnya di kursi panjang yang berada di bawah pohon jati besar. Tempat yang sangat rindang diantara kursi lain yang disediakan.
Anak ini bahkan memejamkan matanya, seperti tidak peduli dan sangat tidak tertarik dengan pemandangan laut biru yang ombaknya bergulung tidak besar.
Suara gelegar dan kecipak air yang terdengar khas bahwa ini memang pantai.
Hari libur seperti ini akan ada banyak pengunjung biasanya, apalagi jika waktu libur panjang. Mengamati bibir pantai, tidak banyak orang kutemukan.
Jika aku orang kota yang butuh hiburan pantai, aku tidak terlalu tertarik untuk mengunjungi tempat ini. Karena akses menuju kesini terlalu sulit dan memerlukan waktu yang tidak sedikit. Walaupun masih wilayah Trenggalek, jarak antara tempat ini dan kota memang jauh.
Aku lebih memilih ke pantai yang berada di kota tetangga, walaupun kedengarannya jauh karena keluar kota, tapi nyatanya lebih hemat waktu dan akses kesana lumayan mudah.
Untung saja aku bukan orang kota, suka atau tidak suka dengan aksesnya, desa kelahiranku tetap disini.
Manik mataku berhenti pada arah selatan, dibagian pantai yang masih dekat dengan daratan, bagian laut yang tidak dalam, ada tiga orang disana.
Satu perempuan sedang duduk diatas batu karang, sibuk memegangi hijabnya yang berkibar karena angin laut cukup kencang. Wajahnya tidak terlalu jelas, karena jarakku cukup jauh.
Sementara satu orang laki-laki membawa kamera, dan satu perempuan lagi entah sedang apa, sepertinya memberi arahan kepada perempuan yang duduk diatas batu, terlihat dari gerakan tubuhnya menunjukkan gestur pose-pose.
Outfit yang dipakai si model terlihat stylish dengan kacamata hitam yang bertengger di kepala.
Aku masih terus mengamati mereka, mengamati si model yang berganti ganti gaya.
Mataku menyipit, merasa mengenal sosok itu. Walapun wajahnya tidak terlalu kentara, tapi aku sangat hafal dengan bentuk dagu itu. Dan juga postur tubuhnya.
Ingin membuktikan dugaanku, bahwa si model adalah perempuan yang akhir-akhir ini kucari, aku melangkah mendekat. Menghenyakkan pantatku di kursi panjang tanpa aling-aling untuk berteduh. Hanya berjarak lima meter dari mereka.
Hatiku berdesir saat retinaku menangkap jelas wajah si model, matanya menyipit mengindari sinar matahari yang terik.
Perempuan yang selalu kucari, tapi hasilnya nihil, kini aku berhasil bertemu dengannya kembali.
Calon ibu dari anak-anakku.
Tidak ada lagi polesan gincu warna coral di bibirnya yang mungil, yang ada warna merah tapi bukan merah darah, apa namanya? Aku yang tidak faham warna-warna lipstik sulit untuk menyebutnya.
Sedikit marun tapi tidak tua. Pokoknya seperti itu. Sedikit terlihat mengkilap juga, lipstik mix lipsgloss mungkin, aku tidak tau. Tentunya terlihat sensual. Membuat buluku seketika berdiri saat kata 'sensual' terlintas. Entah karena hormonku, atau karena angin laut yang terasa dingin.
Dia terlihat berbeda, terlihat cantik tapi tidak seperti biasa yang kulihat. Mungkin aku yang terbiasa melihat wajahnya tanpa make-up, kini aneh juga melihat dia dengan make up. Walaupun make up-nya tidak setebal make up banci karbitan.
Wajah polosnya saja, bagiku cantik sekali. Apalagi dipoles make up seperti sekarang, berlipat ganda cantiknya, hingga membuat mataku enggan berpaling.
Jika dia hanya sekedar foto untuk feed Instagram akun pribadinya, mengapa melibatkan dua orang lain sih?
Mungkin dia model, atau kah selebgram?
Melihatnya seperti itu, memang pantas jika dia benar benar selebgram, seperti dugaanku. Tidak dipungkiri jika selebgram sekarang menjadi pekerjaan.
Banyak yang menginginkan diluar sana, karena kerjanya cuma foto-foto dan uang akan mengalir ke rekening.
Outfit pantai yang pas sekali ditubuhnya, hijab pashmina warna mocca, corak bunga bunga cerah outer selutut yang dipakainya, celana putih tidak ketat, tapi juga tidak kombrang, membungkus kakinya yang terlihat jenjang.
Membuatku berkali-kali menggumamkan ucapan takjub dengan ciptaan Tuhan satu itu.
Saking terlenanya aku tidak menyadari jika Ibra sudah disebelahku.
"Pulang yuk Mas,"
Aku menoleh, mengawasi gerak-geriknya dengan mataku. Ibra yang masih dengan mata sedikit terpejam, entah karena mengantuk atau karena silau, dia menggeliat, menutup mulutnya yang menganga lebar karena kantuk, dan berakhir menyenderkan kepalanya dibahuku.
"Bra, lihat sana deh."
Aku menggoyangkan bahuku agar Ibra mengangkat kepalanya, dan melihat arah yang kutunjukkan dengan gerakan kepalaku.
"Apa mas?"
Ibra mengucek matanya, mengikuti arah yang kutunjukkan.
"Ukhti-ukhti yang disana. Lihat baik-baik."
Perlu membuktikan dugaanku tentang selebgram atau bukan, Ibra sedikit bisa diandalkan.
"Mba-mbak yang pake hijab coklat, kayaknya aku pernah lihat deh Mas."
"Selebgram bukan?" sahutku cepat.
"Em....bisa jadi sih Mas...soalnya aku sering lihat yang cantik-cantik di Instagram."
Ibra itu anak muda banget, punya seluruh media sosial, walaupun followersnya sedikit. Minta jatah paket data lagi, padahal baru saja kuberi, yang kutau habis karena Instagram. Media sosial paling hits seantero dunia sekarang.
"Yakin kamu?"
"Emm...kayaknya sih iya Mas. Aura-auranya juga cocok kok."
Aku manggut-manggut. Jika benar, maka perempuan itu cukup terkenal kan? Ya walaupun tidak se Indonesia tau, atau juga malah, warga Trenggalek sendiri tidak tau, kalo punya artis media sosial yang cantik seperti dia, intinya dia punya penggemar di media sosial.
Jadi, perlukah aku bergerak cepat membawa dia ke KUA, mengingat dia punya banyak penggemar, yang artinya banyak juga laki-laki yang mengincar.
Sainganku akan banyak.
====
"Mas, aku di pukesmas, kesini buruan."
"Ngapain kamu?"
"Kecelakaan."
"Mas kesitu sekarang."
Aku langsung melapisi kaosku dengan jaket, mengganti sarungku dengan celana jins hitam panjang.
Tanpa membasuh muka, -karena tadi aku sempat tertidur yang tak lama kemudian dering ponsel membuatku terbangun-, aku langsung mengeluarkan motorku dan melaju menuju pukesmas.
Aku tadi tiduran di sofa sembari menunggu Ibra pulang. Adikku itu pamit keluar usai Maghrib, katanya mau nongkrong sama temannya.
Dia yang tak kunjung pulang hingga jam sembilan malam, membuat kantukku menyerang.
Dan mengapa dia berakhir di puksemas sekarang?
"Apanya yang sakit?" tanyaku sedikit panik. Aku menemukan Ibra berada di bangsal paling ujung, setelah menanyakan keberadaannya pada perawat.
Pertanyaan seperti di film 'Kamu gak apa apa?' menurutku adalah pertanyaan bodoh yang tujuannya hanya basa basi. Bagaimana bisa bertanya seperti itu, padahal jelas tau jika yang ditanya terkena musibah, yang artinya tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Melihat kondisi Ibra yang ternyata masih utuh, aku bernafas lega.
"Banyak Mas, tanganku 'mbreset' , dengkulku bocor, ini ditembel sama perawatnya."
Aku meringis, ikut merasakan perihnya luka yang Ibra tunjukkan.
Luka di lutut yang terbalut kain kasa itu tampak parah dari luka yang ada di tangan. Terlihat dari balutannya yang besar, aku yakin jika bagian itu banyak mengeluarkan darah tadi.
Pasti perih sekali.
"Tapi untung Mas, wajah gantengku gak ikut kena."
Dan terdengar cekikik setelahnya.
Seharusnya aku tidak kesini, membiarkan saja adikku ini pulang sendiri, ke PD annya yang tinggi tentu bisa menghilangkan rasa perih lukanya.
"Motor kamu dimana?"
Kendaraan yang membuat tuannya nyungsep di aspal, ku cari.
"Di depan Mas, kayaknya 'mblendes' deh."
Maklum jika 'mblendes' seperti yang Ibra katakan. Tuannya saja 'mblendes' apa kabar dengan tunggangannya, pasti jauh lebih tergores, tapi benda mati itu tidak merasakan perih, jadi tidak perlu terlalu dikhawatirkan, besok bisa dicat ulang.
"Jangan bilang Umi ya Mas,"
Ibra meringis sakit, saat kaki kanan yang lututnya terluka dia gerakkan turun dari bangsal.
Aku bersiap siaga, antisipasi jika Ibra tiba-tiba jatuh ke lantai. Kasihan juga kan, sudah jatuh dari motor, jatuh lagi dari bangsal.
Memberi gestur dengan tangannya mengartikan bahwa dia baik-baik saja, aku menegakkan tubuh.
"Mas dengar kan?"
"Iya-iya."
Keadaan Ibra seperti ini masih cukup baik, tidak parah juga. Tidak perlu mengabari orang rumah juga, aku masih bisa merawat Ibra.
Yang ada jika mereka tau, terutama Umi, pasti langsung kesini. Walaupun berkali-kali dibilangin jika anak bungsunya baik-baik saja, hanya 'mblendes' sedikit.
Itu masih mendingan, yang tidak mendingan itu jika Umi marah-marah, karena tujuannya datang ya buat itu. Bisa-bisa yang sakit jadi tambah sakit karena celotehan Umi yang banyak berisi menyalahkan kita.
"Kamu kalo naik motor itu lho yang hati-hati, jangan ngepot-ngepot, rumangsamu nyawamu itu banyak kayak kucing, jatuh kalo gak sakit ya mati."
"Gak kurang ngebut naik motornya? Biar kalo jatuh sekalian mati, gak usah ngabisin duit kelamaan nginep di rumah sakit."
Blablabla....
Yang terakhir, amit-amit. Seandainya terjadi pasti Umi menyesal telah mengatakan itu.
"Kamu gak nabrak orang kan?"
Terlepas dari luka yang tidak parah di tubuh Ibra, jika ada orang lain yang lebih parah karena ulahnya, maka perlu digetok kepala anak ini, biar sadar.
"Enggak Mas, aku jatuh sendiri kok. Ditikungan Mas, terlalu ngebut lampu jalannya juga mati, jadi gak kelihatan." jelas Ibra. Itu kesalahan yang hakiki, sudah tau gelap malah ngebut, sebenarnya apa yang difikirkan anak ini.
"Besok ulangin lagi ya....enak kan jatuh." kataku menyindir. Aku melirik dari spion, Ibra tertawa yang suaranya hampir tidak terdengar karena disahut angin.
"Iyalah, selama 'si blurik' masih dihati, aku setia menemani."
Aku hanya menggelengkan kepala.
Si burik itu sebutan motor yang dia berikan. Katanya plesetan dari blue, warna motor Scoopy nya. Aku tidak tau mengapa dia menjatuhkan pilihan pada warna biru muda dan putih yang lebih terkesan girly, padahal masih banyak warna yang dilaunching brand itu.
Untunglah, daripada warna pink.
Dan motor itu kini berada di tempat penitipan yang ada di depan pukesmas.
"Pegangan yang erat,Mas mau ngebut..."
"Siap komandan."
Yang kumaksud pegangan erat itu, mengeratkan cengkeraman tangan di jaket yang kukenakan, bukannya malah melingkarkan tangan dengan kuat di perutku, seperti yang anak ini lakukan.
Hal-hal seperti ini yang membuatku merasa bahwa aku adalah kakak dari seorang adik yang memang perlu perhatian dan kasih sayang.

Komentar Buku (481)

  • avatar
    AnisaAzka

    wihhhh hebat banget masyaallah

    23d

      0
  • avatar
    ElllPerdiii wel

    sangat lucu

    27/07

      0
  • avatar
    ImandaViola

    Bagus banget novela dan bacaan nya seru banget sumpah bakalan sering sering baca dong

    22/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru