logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

9 - 10

BAB 9 (POV Maura)
Cepat kugoyangkan kepala ke kiri kanan. Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Memberikan Mawar hidup bahagia dengan Mas Hamdan, gak bisa egois memikirkan diri sendiri. Tanpa mementingkan Delia. Sudah banyak peristiwa orangtua bercerai lalu anak menjadi korban broken home. Harusnya itu menjadi pelajaran untukku.
"Bundaaa, Delia bisa!" pekik anakku saat waktu pulang sudah tiba, ia memeluk lalu melepaskan melompat-lompat girang.
"Anak Bunda, pintar," ucapku seraya berjongkok lalu mencium pipi Delia.
"Ayo sekarang kita pulang!" ajakku menggendong putri kecil tapi dia memberontak.
"Tidak, Bunda. Lia sudah besar, jangan digendong." Dia meminta diturunkan, membuatku kewalahan lalu minta agar dia diam untuk bisa menurunkannya.
"Oke-oke, anak Bunda sudah besar. Ayo kita pulang," ajakku lalu masuk ke taksi yang telah dipesan sejak tadi.
Setelah sampai rumah, bergegas masuk untuk mengistirahatkan tubuh. Sungguh letih raga ini, padahal hanya duduk menunggu. Berbaring di sofa, menunggu Delia di kamarnya tengah mengganti pakaian.
"Bunda ... Lia ada PR, tapi Lia bingung nomor tiga ini gimana isinya," ujar gadisku lalu menunjukan buku pekerjaan rumahnya.
"Sini, Bunda ajari cara menghitungnya," ucapku lalu mulai mengajari Delia cara menghitungnya.
"Makasih, Bun. Lia sayang Bunda deh," kata anakku, gemas sekali rasanya dengan spontan aku mencubit pipi temban itu dan menggoyangkan ke kanan kiri.
Waktu berlalu begitu cepat, aku memilih membeli makanan di luar. Ingin menikmati melupakan sejenak kelakuan Mas Hamdan yang menggores luka. Seperti diriku harus membawa mobil sendiri, agar bisa pergi ke sana kemari tanpa harus memesan taksi.
"Sayang, ikut Bunda beli mobil yuk! Lia mau warna apa?" tanyaku membuat dia mendongak dan mengembangkan senyuman di bibir membuat hatiku melambung bahagia.
"Makasih, Bun. Lia mau warna pink," ucap Delia dengan gembira.
Sejenak aku memikirkan Delia yang dulu meminta diriku mengendarai mobil sendiri, katanya agar sama dengan orangtua teman-teman. Tersenyum kecut saat mengingat, menolak permintaan anakku karena tidak ingin Mas Hamdan kecewa. Lelaki itu melarangku membawa kendaraan roda empat tersebut, padahal sudah memiliki SIM.
"Bunda, pulang yuk! Ngantuk nih," pinta anakku.
padahal aku sedang malas bertemu mereka. Tetap melihat wajah sayu Delia membuatku tak sanggup untuk berkata tidak. Berjalan menuju taksi, sehabis berbelanja habis-habisan di mall.
Senyumanku mengembang saat nanti pulang ke rumah. Melihat bagaimana sikap Mas Hamdan dan maduku. Membuka pintu lalu melangkah masuk, terlihat Mawar sudah berada di rumah sambil bersidekap menatapku tajam.
"Dikira, seorang Maura bakal takut gitu. Nooo!" batinku berseru, mengacuhkan Mawar yang ternyata mengikuti langkahku.
"Mbak ...!" ucapnya terhenti saat aku menempelkan tangan ke bibir, beruntung dia paham.
"Kita bicara di ruang tengah, jangan di sini," ucapku melangkah meninggalkan Mawar.
"Mbak kenapa tadi pagi tidak memasakkan kami, dan juga. Mbak mengambil dompet Mas Hamdan, apakah Mbak tau kami kelaparan!" bentaknya.
Berani juga dia meninggikan suara, aku memilih menjatuhkan tubuh ke sofa. Menopang kaki dan menatap tajam dia. Ia kira diriku takut, sama sekali tidak.
"Lalu ... Emang Mbak peduli. Kamu juga! Apakah pernah memikirkan perasan Mbak, saat kalian bermain api." Tiba-tiba amarahku meletup-letup saat memikirkan itu, padahal aku hanya melakukan hal kecil sedangkan mereka, ahhh sudahlah.
"Mbak ... Itukan salah Mbak yang tidak bisa menjaga Mas Hamdan." Dia selalu membela diri, cihhh tidak mau disalahkan sama sekali.
"Terserah kamu deh, yang pasti, Mbak tidak akan membuat kalian hidup bahagia!" ancamku.
Meninggalkannya, memilih ke kamar untuk membersihkan diri. Padahal aku mendengar suara deru mobil, tapi ... rasa malas tiba-tiba hinggap memilih mengabaikan ke pulang Mas Hamdan. Biarkan Mawar yang menyambut Mas Hamdan, dan pasti dia mengadu.
BAB 10
Hamdan masuk ke kamarnya dan Maura tetapi tidak menemukan wanita itu. Melangkah menuju bilik Delia, lalu tatapan menangkap pandangan keseruan anak dan sang istri. Senyuman pria tersebut terukir, ikut bergabung duduk di samping Maura.
"Sayang ... lagi apa nih anak Ayah? kok Ayah gak di ajak," ujar Hamdan mengusap surai Delia.
Delia menoleh mendengar ucapan sang Ayah. "Ayah sibuk terus, sampe gak bisa ngajak Lia jalan-jalan," ketus Delia membuat Hamdan terdiam.
"Maafin Ayah, Sayang. Ya sudah, besok kita jalan-jalan yuk!" ajak Hamdan lembut dibalas gelengan Delia.
"No ... Ayah. Lihat di sana, Lia tadi habis sekolah langsung jalan-jalan sama Bunda." Tolak Delia menunjukan beberapa tote bag yang belum dirapikan.
"Maaf, kapan-kapan kita liburan deh," kata Hamdan lalu mendongak melirik Maura yang membuang muka saat dia menatapnya.
"Mas ... aku izin mau jalan-jalan lusa sama Mawar, Delia mau aku titipkan ke Mama dulu." Mendengar ucapan sang istri, Hamdan langsung menatap Maura lagi.
Tanda tanya berkeliaran di otaknya. Ia takut sang istri melukai Mawar, wanita yang belum matang. Pemikirannya kadang masih kanak-kanak dan dewasa saat diajak ke ranjang. Itu yang Hamdan sukai dari Mawar, sebenarnya dia mencintai Maura tetapi wanita tersebut kaku saat urusan itu. Membuat Hamdan bosan.
"Tenang saja, Mas. Maura tidak akan menyakiti Mawar. Aku masih punya hati, tidak seperti kalian," ucap Maura berbisik, tidak ingin sang buah hati mendengar.
"Maura ... maaf, Mas bukan tidak percaya padamu," ujar Hamdan pelan membuat Maura tersenyum kecut.
"Aku saja yang bodoh, terlalu memberikan banyak kepercayaan padamu dan aku sekarang mendapatkan madu," sinis Maura pelan, mengajak Delia buat gosok gigi agar tidur nyaman.
"Bunda ... ceritakan dongeng untukku," pinta Delia.
Maura mengangguk, wanita itu langsung mencari buku di laci. Setelah menemukannya lekas bercerita, sedangkan Hamdan menjadi pendengar. Pria itu merindukan kebersamaan keluarga kecilnya, semenjak berhubungan dengan Mawar. Hamdan menjadi lupa bahwa dia juga memiliki kewajiban sebagai seorang Ayah.
"Kalian akan pulang kapan?" tanya Hamdan setelah Delia tertidur.
"Paling subuh, ya sudah aku ke depan dulu. Pesananku sudah sampai," ujar Maura meninggalkan Hamdan.
Wanita itu menerima dan membayar pesanannya. Delia sudah makan malam, dia membuatkannya. Tidak menginginkan sang buah hati terlalu banyak makan-makanan di luar. Dengan langkah santai ia duduk di meja makan dan mulai melahap makan tersebut.
"Buat kami mana, Mbak?" tanya Mawar saat mendaratkan bokong ke meja.
"Mbak hanya membeli untuk Mbak, kamu masak aja gih! Belajar, jangan pengennya yang enak mulu. Dulu sebelum menikah dengan Mas Hamdan Mbak sudah mulai belajar masak," tutur Maura membuat Mawar mengerucutkan bibir.
"Sayang, jangan begitu. Mendingan kamu masakin kita gih!" pinta Hamdan mendapatkan tatapan tajam oleh Maura.
"Mas kira aku pembantu, suruh aja dia masak. Salah sendiri, harusnya dia masih mencari jati diri, eh malah jadi pelakor. Kasian Ibunya," sinis Maura lalu bangkit membawa semua makanan pesanannya ke dalam kamar.
"Mass, gimana dong. Mawar lapar," rengek Mawar pada suaminya.
Hamdan menghela napas lalu berjalan menuju rak. Mengambil mie instan, ia memilih merebus makanan cepat saji ini. Karena perut sudah meronta dari tadi.
"Kamu rebuskan mie buat kita," pinta Hamdan menyodorkan dua bungkus mie.
"Mas, aku gak bisa rebus mie," cicit Mawar membuat Hamdan membulatkan matanya.
"Astagfirullah, Mawar. Ini itu yang paling gampang lho. Pokoknya kamu harus belajar masak!" perintah Hamdan dibalas anggukan lemah Mawar, lelaki itu akhirnya yang merebus mie untuk makan malam.

Komentar Buku (185)

  • avatar
    John WayneZahorine

    πŸ‘πŸΌπŸ‘πŸΌπŸ‘πŸΌ

    17d

    Β Β 0
  • avatar
    Nur Ayu

    bagus novel nya

    19/04

    Β Β 0
  • avatar
    SuryadiSitimariyam

    bagus crritanya

    18/02

    Β Β 0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru