logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

7-8

"Buuuu, kenapa pagi-pagi nelepon. Tenang saja, Mawar tidak hidup terlantar kok. Mawar masih tidur di kasur empu," ujar Mawar menjelaskan pada wanita yang melahirkannya.
"Sebutkan alamatmu Nak, Ibu hanya ingin memastikan," ucap Ibu Mawar dari telepon, wanita itu melost spaker karena hendak mengambil mengambil jajanan di atas.
"Ibu tak perlu ke sini, Mawar baik-baik aja," ucap Mawar menegaskan, ia sungguh tak mau sang Ibu mengetahui bahwa dia menjadi pelakor.
"Enggak, War. Ibu harus memastikan kamu tidak nakal di sana," ujar Ibunya tegas.
Maura yang hendak mengambil air akhirnya berhenti untuk mendengar percakapan Mawar di telepon. Ia tersenyum senang lalu mendekat mengambil handphone Mawar membuat sang empu menjerit. Tatapan adik ipar membulat dan menyodorkan tangan meminta ponsel dikembalikan.
"Ini dengan Ibunya Mawar?" tanya Maura dengan nada sopan.
"Iya, ini siapa ya?" tanya Ibu Mawar.
"Mawar berada di rumah saya Bu, banyak sekali kejutan dari anak Ibu untuk saya. Sampai hati saya sakit karena kelakuannya," ujar Maura lembut, Mawar berusaha meraih handphonenya tetapi di tatap tajam oleh Maura.
"Bisa diem gak sih, Ibumu harus tau!" geram Maura menepis tangan Mawar.
"Jangan Mbak, Mawar belum siap," ucap Mawar pelan, sungguh pikirannya tengah buntu.
"Maksud kamu apa?" tanya Ibu Mawar pelan saat mencerna kata-kata Maura.
"Bisa kita bertemu? tak enak berbicara di telepon. Saya juga akan bawa Mawar," kata Maura dengan sopan, Ibu Mawar menyetujui dan mereka akhirnya mematikan sambungan telepon.
"Mbak ... Mbak gak sopan merebut ponsel Mawar," sergah Mawar saat Maura memasukan ponsel wanita itu ke sakunya.
"Lalu kamu bagaimana? Merebut suamiku, bahkan menjadi pelacurnya," sinis Maura bersidekap menatap nyalang Mawar.
"Mawar tidak merebut Mbak, Mbak saja yang tidak bisa menjaga Mas Hamdan. Dan Mawar bukan pelacur!" hardik Mawar tak terima ia berucap dengan nada tinggi.
"Terserah kamu deh, ponsel kamu Mbak pegang dulu." Maura berlalu tanpa menghiraukan Mawar yang berteriak-teriak.
" Oh ya, kakimu sudah sembuh bukan. Jadi buatkan kami sarapan," perintah Maura berbalik lalu pergi lagi setelah mengatakan itu.
Maura tersenyum saat melihat suami dan Delia terlelap dengan damai. Tapi hati langsung hancur mengingat pengkhianatan Hamdan yang bermain api. Dadanya sesak saat membayangkan sudah berapa banyak mereka memadu kasih.
"Astagfirullah, kuatkan hatiku ya ALLAH," batin Maura wanita itu bergegas membangunkan Delia untuk bersiap buat berangkat sekolah.
"Sayang bangun, ayo cepat kamu mandi! Kamu, kan, harus berangkat sekolah," ucap Maura mengguncang tubuh anaknya pelan.
"Bentar Bunda, Delia masih ngantuk. Kangen Ayah juga," kata gadis cilik itu lalu memeluk Hamdan.
"Gak boleh gitu, Delia. Kamu harus memiliki tanggung jawab, sekarang kamu udah masuk sekolah, jadi harus berangkat ya," pinta Maura menasehati Delia dengan sabar.
"Ahh ...."
Pekikkan Mawar membuat semua orang terkejut, termasuk Hamdan dan Delia yang langsung terbangun. Gadis kecil itu mengucek mata, menatap wanita yang melahirkannya. Mengulurkan tangan meminta di gendong.
"Ada apa sih! Pagi-pagi sudah berisik saja," gerutu Maura lalu melangkah ke kamar mandi untuk memandikan sang buah hati, tidak memperdulikan Hamdan yang sudah beringsut mencari asal suara.
"Ayo Sayang, kamu mandi!" ajak Maura seraya mencium pipi anaknya.
"Bunda gak liat Mbak Mawar dulu, dia teriak lho," ucap Delia ia kepo karena wanita itu selalu membuat masalah.
"Gak Sayang, gak penting juga. Yang penting itu kamu harus mandi biar wangi dan cantik," ujar Maura dengan telaten mengurus keperluan anaknya.
Setelah keduanya selesai, mereka melangkah dengan riang menuju meja makan. Tetapi tatapan mereka tertuju pada Hamdan tengah mengobati Mawar. Maura tersenyum kecut, lebih memilih ke dapur untuk mengisi perutnya.
"Mama, mana makanannya?" tanya Delia saat melihat meja makan kosong.
"Nanti ya Sayang, Bunda ke Mbak Mawar dulu," kata Maura dibalas anggukan Delia.
"Mawarrr! Ke mana sarapannya, kenapa ikannya belum matang, dan bahkan ikan juga belum dibersihkan," geram Maura menatap tajam Mawar yang tengah diobati Hamdan, sedangkah suaminya malah membalas tatapannya.
BAB 8
"Kamu aja, Ra. Kamu masak sarapan, liat ... tangan Mawar kecipratan minyak," ujar Hamdan menunjukan bintik-bintik merah.
"Gitu aja lebay, War. Gimana kalau kaya Mbak dulu, ke guyur gara-gara kamu senggol wajan," sinis Maura lalu berbalik memilih ke dapur untuk membuatkan sarapan buat anaknya.
"Bun, kok masaknya cuma sedikit, nanti Ayah gimana?" tanya Delia saat Maura menyodorkan piring yang berisi nasi goreng.
"Udah mendingan kamu makan aja, Sayang. Biar Mbak Mawar aja yang masakin Ayah sarapan," sahut Maura membuat Delia mengangguk.
Setelah sarapan keduanya beranjak keluar lalu menatap Hamdan yang ternyata berbincang dengan Mawar. Mereka tertawa bahagia membuat Maura tersenyum kecut, wanita itu langsung menyodorkan tangan ke hadapan suaminya membikin Hamdan menoleh. Delia sudah menarik-narik agar cepat pergi, kata Maura bentar lagi telat memicu takut Delia.
"Bun ... cepat, katanya Bunda udah telat," pinta Delia.
"Iya Sayang, bentar. Masss, aku pinjem dompetnya!" pinta Maura menyodorkan tangan.
"Buat apa, Sayang?" tanya Hamdan menaikan alisnya.
"Sudahlah, Mas. Pinjem aja, kenapa sih! Kamu ini sama Mawar aja langsung dikasih kalau minta apa-apa," keluh Maura mengerucutkan bibirnya, wajah dibuat sedemikian merengut.
"Bukan gitu, Sayang. Ya udah ini dompet," kata Hamdan menyodorkan dompetnya membuat Maura tersenyum senang.
"Makasih, Mas." Maura menyimpan dompet itu ke tas, meraih lengan Hamdan untuk dikecup punggung tangan.
"Mas ...." Mawar mencubit paha Hamdan membuat lelaki itu tersadar akan bertanya sesuatu pada istri pertamanya.
"Maura, Mas mau tanya. Apa kamu ambil handphone Mawar?" tanya Hamdan pelan dibalas anggukan Maura.
"Iya, memang kenapa?" balas Maura lalu berjongkok menenangkan Delia yang terus merengek meminta cepat diantarkan ke sekolah.
"Bisa kamu berikan sekarang, kamu gak boleh ambil barang orang lain," nasehat Hamdan membuat Maura tersenyum kecut.
"Setidaknya aku tidak mengambil diam-diam, seperti dia. Apa kamu tidak memperhatikan kalung yang dipakai dia? Sudahlah, aku pamit antar Delia dulu. Nih handphone," tutur Maura berlalu pergi, Mawar dan Hamdan melotot mendengar perkataannya.
Hamdan langsung menoleh menatap Mawar, pria itu lekas mengeluarkan kalung yang dipakai Mawar. Matanya melotot saat mengenali benda itu, ini adalah hadiah diberikan saat anniversary tiga tahun pernikahan nikah. Tangan lelaki tersebut cekatan mengambil objek yang dipandangnya, lalu memasukan ke saku. Tatapan tajam cepat dilayangkan membuat Mawar tertunduk.
"Apa yang kamu lakukan!" bentak Hamdan membuat Mawar semakin tertunduk.
"Emm ... itu, Mas. Mawar suka kalungnya, jadi Mawar ambil. Mawar kira Mbak Maura tidak akan engeh kalungnya hilang satu," cicit Mawar pelan membuat Hamdan mengusap wajah dan menyugarkan rambutnya.
"Harusnya kamu itu mengambil hati, Mbak kamu, War. Agar kita bisa nikah secara negara, apa kamu hanya mau nikah siri," ujar Hamdan menyandarkan tubuhnya.
"Maaf, Mas." Mawar memeluk tubuh Hamdan, menangis sesegukan.
***
Maura terus mengembangkan senyuman, beruntung dia sudah memindahkan nomor Ibu Mawar ke ponselnya. Jadi dia bisa menghubungi saat ada waktu ke kediaman keluarga Mawar. Ia juga sudah bilang tadi, tinggal menunggu saat yang tepat.
"Bunda, Bunda tunggu di luar. Jangan di dalam, Lia sudah besar. Kata Bu Guru, kalau udah besar gak boleh ditungguin di dalam," ujar Delia dengan gembira, membuat Maura mengulas senyum dan mengecup pipi anaknya.
"Ya sudah, Bunda tunggu di sana. Kamu belajar yang giat, buat Bunda dan Ayah bangga," seru Maura dibalas anggukan semangat Delia, gadis kecil itu mendorong Maura agar cepat keluar kelas membuat sang empu terkekeh.
Maura duduk bersama Ibu-Ibu murid, mereka banyak merumpi bahkan mengumbar aib keluarga. Terdengar ada yang dimadu, dia memilih berpisah karena sang anak tak terlalu dekat dengan Ayahnya. Membuat Maura terdiam, apakah dia harus berpisah atau mempertahankan rumah tangganya. Jujur saja, ia sudah merasakan bahwa sang suami sudah mulai berat sebelah. Janji adil hanyalah bualan, Maura telah menduga itu.

Komentar Buku (185)

  • avatar
    John WayneZahorine

    πŸ‘πŸΌπŸ‘πŸΌπŸ‘πŸΌ

    18d

    Β Β 0
  • avatar
    Nur Ayu

    bagus novel nya

    19/04

    Β Β 0
  • avatar
    SuryadiSitimariyam

    bagus crritanya

    18/02

    Β Β 0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru