logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5 Rindu Ibukota

Hari ini persis satu bulan aku meninggalkan ibu kota, tak terasa kerinduan akan hingar bingar kota merasuki jiwa sore ini. Teringat wajah teman-teman putih abu-abu yang selalu penuh tawa, ada di mana mereka sekarang?
Aku memang tidak memberitahu teman dekatku kalau aku pindah ke Batam, Rio juga sempat mengatakan keputusan yang aku ambil keputusan terburu-buru.
“Seorang yang putus asa!” katanya.
Rio memang terlahir dari keluarga yang mapan, ayahnya masih kerabat papaku. Kami memang dijodohkan, tapi aku tidak menyukainya.
Tapi entah kenapa sore ini aku, mengingat Rio.
“Tet, ada telepon dari mamamu” ujar Tante Puspa membuyarkan lamunanku.
“Hallo, iya Ma....”
Mama bercerita panjang lebar di telepon, bukannya membangkitkan semangat untuk aku tetap berusaha, malah menyudutkan dan menyalahkan keadaanku saat ini. Di akhir pembicaraan Mama meminta aku kembali ke Jakarta, jika sampai bulan depan aku masih belum bekerja. Mama juga memberitahu kalau Rio mengambil kuliah pelayaran di Sulawesi, untuk menuruti keinginan orang tuanya.
“Contohlah Rio, Kayla. Jadilah anak yang penurut, berbakti kepada kedua orang tua. Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya susah, tapi anaklah yang selalu menyusahkan orang tua,” ucap Mama ketus.
Aku tersinggung dengan kata-kata Mama barusan dan cukup membuatku sedih, aku nyaris menangis setelah gagang telepon aku tutup.
“Mamamu meminta kamu pulang ke Jakarta, ya?” tanya Tante Puspa seolah tahu kegundahan hatiku.
“Iya, Tante,” jawabku dan duduk di sofa dengan pikiran yang berkecamuk.
“Sabar ya, semoga ada jalan. Jangan terbawa perasaan, mamamu kadang memang seperti itu. Suka memaksakan kehendak sendiri, orang tua memang harus dituruti. Tapi, jangan lupa tanyakan keinginan anak dulu,” ucap Tante Puspa bijak.
Aku memeluk Tante Puspa.
“Di Batam itu harus banyak sabar, kata Batam itu ada artinya Tet, Bila Aku Tabah, maka aku akan berhasil. Bila tidak Aku akan Mati,” jelas Tante Puspa mencoba memotivasiku.
Aku menganggukkan kepalaku.
“Iya, Tante. Terima kasih untuk kebaikan, Tante,” ucapku berusaha menyemangati diri.
“Itu hanya istilah saja, Tet. Memang banyak perantauan yang mengadu nasib di sini, kuncinya memang kesabaran. Namun istilah itu jadi pemacu kita, jangan malah melemahkan. Harus tetap semangat, jika bulan ini belum berhasil. Semoga bulan depan ada kabar baik, begitu terus sugesti yang harus kamu ucapkan di dirimu. Jangan lemah,” pesan Tante Puspa.
“Iya, Tante. Aku pasti bisa!” jawabku dengan senyuman.
“Semangat, Tet. Kamu kuat, Tante yakin kamu pasti berhasil!” sahut Tante Puspa.
Aku berjalan ke kamar, aku rebahkan tubuhku. Rasanya ingin menangis menahan kerinduan, tapi aku tidak tahu kerinduan ini untuk siapa? Wajah Rio memang sempat beberapa kali hadir dipikiranku, gara-gara ucapan Mama aku jadi memikirkannya.
Aku mengenal Rio sejak kelas dua SMK, awal pertemuan kami di acara keluarga. Kami sama-sama anak kedua dari lima bersaudara, bedanya Rio memiliki abang laki-laki sementara aku tidak.
Rio memang cukup menyenangkan, hanya saja dia selalu menilai sesuatu berdasarkan uang. Mungkin karena dia berasal dari keluarga mapan, sehingga uang bukanlah hal menyulitkan untuk Rio. Aku tidak paham apakah kami memang sengaja dipertemukan, atau perkenalan itu terjadi begitu saja. Yang pasti setiap kali ada pertemuan keluarga, Rio selalu hadir dan Mama Rio selalu memanggilku untuk duduk di sampingnya.
Kami sama sekali belum pernah pergi berdua, selalu bersama-sama dengan keluarga kami dan itu pun karena acara keluarga yang rutin dilakukan. Ada satu peristiwa yang sangat membekas di hatiku, waktu itu Rio ulang tahun dan aku membelikan dia sebuah t-shirt berwarna hitam kesukaannya.
“Ini mah bahannya nggak menyerap keringat, paling berapa bulan aja dah melar!”
Aku kaget mendengar ucapan Rio waktu itu, karena sebelumnya Rio tidak pernah berkata-kata tidak sopan. Lalu aku meminta maaf, namun diluar dugaan Rio malah mengatakan kata-kata yang lebih tidak sopan lagi.
“Harusnya kalo nggak punya duit, jangan dipaksakan beliin aku hadiah. Aku nggak biasa pake baju murahan, kan sayang kalo nggak ke pake. Mending kamu tuh beliin aku makanan apa kek, pasti aku makan. Dari pada beli beginian ….”
Setelah kejadian itu, aku mulai menjaga jarak dari Rio. Berbicara seperlunya saja, tapi aku berusaha tetap hormat ke orang tua Rio yang memang sudah menganggabku seperti anaknya sendiri. Mama Rio pernah meminta aku untuk menjaga diri, menjauhi laki-laki iseng yang berusaha mendekatiku karena jika aku sabar menunggu Rio akan menjadi suamiku kelak.
Aku tidak mengiyakan ucapan Mama Rio, aku lihat kedua orang tuaku begitu bahagia mendengar ucapan Mama Rio. Tapi aku merasa Rio memiliki pikiran yang berbeda dengan orang tuanya, tapi aku tidak berani tanyakan. Rio tidak pernah juga menyatakan perasaan yang sesungguhnya kepadaku, aku pun juga begitu. Kami dekat lebih karena keinginan orang tua kami, karena terlalu sering bertemu dan terus bertemu akhirnya kami terpaksa akrab! Itu menurutku, aku terpaksa akrab ke Rio dan keluarganya. Rio seperti menikmati peran pura-puranya.
Aku tidak ingin memikirkan kamu, Rio … Pergilah dari pikiranku! Aku berteriak dalam hati, kupeluk guling yang sudah mulai basah oleh airmata. Aku malu jika harus kembali ke Jakarta, kembali membawa kegagalanku! Aku meninggalkan ibukota karena aku ingin merubah hidupku, bagaimana mungkin aku harus menyerah dengan semua ini?
Tiba-tiba aku teringat dengan pesan Tante Ida untuk menghubungi Mas Angga, tapi aku tidak cukup punya keberanian. Aku juga takut dengan Tante Puspa, karena dia sangat mewanti-wanti aku untuk tidak mendekati Mas Angga. Karena pikiranku semakin kacau aku bangkit dari tempat tidur dan duduk di teras depan, ternyata ada Tante Puspa yang tengah merapikan bunga-bunganya.
“Kirain kamu tidur siang, udah makan dulu sana! Kamu belum makan siang ‘kan?” tanya Tante Puspa sambil menata pot bunga.
“Nanti aja, Tan. Butet lagi nggak selera makan!” jawabku.
“Nggak selera makan karena telepon dari mamamu, ya? Rio itu siapa, Tet? Kok kayaknya mamamu bangga sekali dengan Rio, calonmu?” tanya Tante Puspa penasaran.
Aku tidak langsung menjawab. Aku tidak ingin membahas Rio, yang aku pikirkan bagaimana caranya aku tidak kembali ke Jakarta walau pun aku rindu dengan suasana Jakarta. Aku rindu ingin bercerita dengan Tante Ida, aku rindu kebersamaanku dengan Nella, Dessy dan Viona. Aku ingin sekali jalan-jalan, tapi aku sungkan memintanya ke Tante Puspa. Apalagi bekal uang yang kubawa saat dari Jakarta nyaris habis, aku tidak tahu apa yang terjadi jika sampai bulan depan aku tidak juga bekerja! Entah dimana mukaku harus aku sembunyikan!
“Mama dan Papa yang menjodohkan kami, Tan. Tapi Butet tidak suka dengan Rio, mungkin Rio juga begitu. Kami mengikuti keinginan orang tua kami saja, apakah kami berjodoh atau tidak hanya Tuhan yang tau,” jelasku.
“Dia kerja?” tanya Tante Puspa lagi.
“Sekarang masih kuliah, pelayaran,” jawabku singkat.
“Wah, hebat dong. Pelaut itu gajinya besar, bisa ratusan juta!” seru Tante Puspa.
Aku hanya diam. Ratusan juta pun untuk apa? Kalau tidak bahagia!

Komentar Buku (423)

  • avatar
    AhmadUdin

    mantap

    2d

      0
  • avatar
    Desi Gusri Murni

    akhirnya bisa dapat aplikasi yg bisa menghasilkan diamond dan terimakasi kepada developer yang udah buat aplikasi ini dan aku juga syok ini aplikasi bisa menghasilkan diamond yang bagus

    5d

      0
  • avatar
    Mainii

    cerita sangat bagus 🥰🥰 bikin tersentuh hati

    15d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru