logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Amanah Yang Dititipkan

Tiga hari menjelang keberangkatan ke Batam, aku temui Tante Ida untuk berpamitan. Sebetulnya ide untuk merantau ke Batam itu awalnya dari Tante Ida, aku berkenalan dengan Tante Ida kurang lebih dua tahun yang lalu. Saat aku mengikuti seminar MLM di sebuah gedung, Tante Ida adalah sponsorku. Dia yang memberiku tiket gratis untuk ikut di seminar tersebut, aku sama sekali tidak mengenalnya namun kami cepat akrab. Sampai akhirnya kami pun sangat dekat, berkat Tante Ida juga aku bisa memasarkan produk-produk MLM. Namun karena aku kurang telaten dan mudah menyerah, akhirnya usaha sambilan itu tidak aku
lanjutkan lagi.
Di telepon kami sudah bicara panjang lebar, aku harus menemui siapa saja di Batam. Namun Tante Ida memintaku datang ke rumahnya, karena ada yang ingin dia bicarakan.
“Kayla tidak enak kalau merepotkan Tante terus. Kayla tidak usah pakai referensi gitu, Tante. KKN dong nanti jadinya,” ujarku manja.
“Loh, kamu itu bagaimana? Justru kalau tidak pakai referensi kamu tidak bakalan diterima kerja. Kamu bakalan kelamaan nganggur, nanti malah ujung-ujungnya kembali lagi ke Jakarta. Curhat lagi soal bos galak!” ujar Tante Ida sambil meletakkan secangkir teh di meja.
Apa yang dikatakan Tante Ida memang benar, bukan rahasia lagi jika tanpa referensi seseorang akan sulit diterima bekerja. Apalagi pengalaman kerjaku baru satu setengah tahun, itu pun hanya sebagai administrasi. Tante Ida memang baik sekali, dia mau repot mencarikan referensi untukku. Pada hal aku bukan siapa-siapa, keluarga bukan, saudara juga bukan tapi Tante Ida sudah menganggapku seperti anaknya sendiri.
“Sebentar lagi Evy datang, dia sedang dalam perjalanan ke sini. Nanti Tante tanya lagi ke Evy, selain Mas Angga dan Tante Maria siapa lagi yang bisa kamu temui di Batam. Mas Angga itu dulu calon mantu Tante, tapi tidak jadi!” jelas Tante Ida sambil terbahak.
Aku tersenyum mendengar ucapan Tante Ida, aku terdiam beberapa saat. Aku selalu kesulitan jika berhadapan dengan laki-laki seorang diri. Beberapa kali aku mengikuti wawancara yang penanyanya laki-laki, ada saja kendala yang aku hadapi. Apalagi jika wawancara dilakukan didalam ruangan tertutup aku selalu gugup, pernah saking gugupnya tubuhku sampai gemetar dan tidak bisa konsentrasi menjawab pertanyaan.
Kelemahanku itu tidak bisa dibentak, laki-laki dan kucing. Dan penyebab dari semua ketakutan itu Papa! Papa sering sekali membentakku, dari aku kecil sampai aku berumur belasan.
Setelah mulai bekerja, Papa sudah tidak pernah membentakku lagi. Karena bentakan Papa, aku jadi takut dengan laki-laki. Sedangkan kucing adalah binatang kesayangan Papa, apa pun yang ada hubungannya dengan Papa selalu membuatku trauma.
“Sudah lama Kay, melamun aja kamu tuh. Aku teriak-teriak mengucap salam, kamu diam aja,” ujar Evy mengagetkanku.
“Eh maaf, Vy. Melamun aku, maaf ya,” ucapku pelan.
“Melamun apa sih? Masih siang kok udah melamun?” jawab Evy sambil tertawa.
“Kamu sudah sampai, Vy. Mama tidak dengar kamu masuk, mana Alle dan suamimu?” tanya Tante Ida lalu duduk disamping Evy.
“Langsung pulang, Ma. Alle tidur tadi di mobil, Mas Agus juga ngantuk. Mau tidur juga, katanya. Makanya Evy saja yang mampir ke sini, kasihan Kayla sudah lama menunggu. Sampai melamun, sudahlah lupakan saja Rio itu, laki-laki kok matre. Memalukan!” gerutu Evy.
“Sudah tidak usah di bahas, Kayla ke sini mau minta alamat Mas Angga dan alamat Tante Maria. Rabu besok dia berangkat, kamu mau titip apa?” tanya Tante Ida dengan senyum mencurigakan.
“Nanti malam aku telepon Mas Angga sekalian minta alamat Tante Maria, Mama jadi bikin otak-otak bandeng untuk Mas Angga?” tanya Evy.
“Oh iya, jadi dong. Hari Selasa sore, Tante ke rumahmu. Sabar ya sayang, insya Allah mereka berdua bisa bantu kamu di sana. Kamu kalo sudah ketemu Mas Angga … Wuahh, terpesona langsung!” goda Tante Ida. Evy pun ikut tertawa mendengarkan ocehan ibunya, aku hanya bisa tersenyum tipis. Aku tidak paham maksud dari kata-kata terpesona!
Menjelang sore Tante Ida datang membawa sebuah titipan seukuran kotak sepatu, untuk diberikan ke Mas Angga.
“Ini isinya otak-otak bandeng, kesukaan Mas Angga. Begitu kamu sampai di Batam secepatnya saja hubungi dia, Evy sudah bicara dengan Mas Angga. Dia bisa bantu kamu nanti, siapkan saja berkas lamarannya. Dia janji mau bantu,” ujar Tante Ida menyerahkan selembar kertas.
Mama dan Papa sangat senang mendengar ucapan Tante Ida, setidaknya aku ke Batam tidak sia-sia. Bukan untuk pelarian dari masalah yang aku tinggalkan.
“Kata Papa kamu mau ke Batam? Kok kamu nggak cerita?” tanya Rio di telepon.
“Aku memutuskannya sendiri, aku ingin mencari pengalaman baru. Aku bosan di Jakarta!” jawabku datar.
“Bosan? Maksudnya kamu mau menghindariku?” tanya Rio ketus.
“Iya,” jawabku dalam hati.
“Kayla! Kamu dengar aku ‘kan? Kamu menghindariku?” bentak Rio.
Astaga, ada apa dengannya. Aku tutup telepon dengan kasar, aku tidak peduli dengan teriakan Rio memanggil namaku.
“Kayla tidak usah diantar ke bandara Pa, Ma. Kayla berangkat sendiri saja,” ujarku sambil mengemasi lemari pakaian yang hampir kosong.
“Kok bawaanmu sedikit sekali, kamu mau jalan-jalan atau mencari kerja sih, Nak?” tanya Mama.
“Cari kerja Ma, tapi kan tidak semua juga harus di bawa. Paling lama dua tahun di Batam, setelahnya Kayla akan kembali lagi ke Jakarta,” jawabku datar sambil menarik koper berwarna biru keluar dari kamar.
“Menikah dengan Rio, ya?” tanya Mama sumringah.
“Kayla tidak suka Rio, Ma. Rio itu kan pilihan Papa, lagi pula Rio tidak suka Kayla ke Batam. Entah apa maksudnya?” aku balik bertanya ke Mama.
“Iya, waktu kamu ke rumah Tante Ida, Rio telepon. Kebetulan yang mengangkat telepon Papa, lalu mereka bicara panjang lebar. Yang Mama tangkap dari pembicaraan mereka, Rio menyayangkan kami mengizinkan kamu ke Batam. Apalagi kamu perempuan,” ujar Mama kemudian menunduk.
Aku bingung dengan sikap Rio yang bisa mempengaruhi orang tuaku dalam mengambil keputusan untukku, dan ini sudah berulang kali terjadi.
“Lantas Papa menuruti Rio?” tanyaku.
“Papamu bilang kamu sudah tidak bisa dicegah, toh kamu sudah dewasa. Apalagi kamu ke Batam bukan dengan tangan kosong," jawab Mamaku.
Aku paham kenapa Rio marah tadi, orang tuaku tidak lagi menuruti pendapatnya.
“Kayla berangkat Ma, Pa,” ujarku sambil mencium tangan mereka.
Adik-adikku menatapku dengan raut sedih, tapi aku diam saja. Paling tidak akan berkurang keributan di rumah ini, karena trouble maker sudah pergi.
“Hati-hati ya, Nak. Doa Mama dan Papa selalu mengiringi langkahmu, kabari kalau sudah sampai ya?” pinta Mama.
“Iya, Ma," jawabku.
“Rio tidak mengantar kamu?” tanya Papa.
“Tidak, Pa. Dia kuliah hari ini,” jawabku berbohong.
Sopir taksi memasukkan barang-barang ke bagasi mobil, aku melambaikan tangan ke mereka. Selamat tinggal Jakarta!

Komentar Buku (423)

  • avatar
    AhmadUdin

    mantap

    2d

      0
  • avatar
    Desi Gusri Murni

    akhirnya bisa dapat aplikasi yg bisa menghasilkan diamond dan terimakasi kepada developer yang udah buat aplikasi ini dan aku juga syok ini aplikasi bisa menghasilkan diamond yang bagus

    5d

      0
  • avatar
    Mainii

    cerita sangat bagus 🥰🥰 bikin tersentuh hati

    15d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru