logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 1 Awal Perjalanan

Aku memutuskan mengundurkan diri dari tempat aku bekerja saat ini, aku tidak tahan dengan karakter Bu Grace, atasanku. Ia kalau sudah marah siapa saja bisa terkena imbasnya, yang akhirnya suasana kantor akan berubah menjadi sunyi dan tegang.
Seperti siang ini, aku yang terkena imbas dari kesalahan sopir saat mengirimkan barang ke salah satu supermarket terkenal.
“Barang itu ‘kan untuk promosi Kayla, masa kamu tidak cek dulu sebelum dibawa sopir? ‘Kan saya perintahkan kamu untuk cek, tanda tangan, lalu serahkan ke Pak Gandi. Nanti dari Pak Gandi diserahkan ke Pak Nasir, lalu diserahkan lagi ke SPG di sana. Popong, Namanya! Apa instruksi saya kurang jelas kemarin?” ucap Bu Grace dengan suara cukup keras sambil menatapku tajam.
Aku memberanikan diri membalas tatapannya.
“Sudah Bu, sudah saya lakukan seperti yang ibu instruksikan ke saya, kemarin. Di sini ada tanda tangan saya dan tanda tangan Pak Gandi, ini buktinya” jawabku dan menyerahkan tanda terima barang yang sudah ada tanda tangan Pak Gandi.
Bu Grace meraih kertas berwarna kuning yang aku serahkan, lalu mengangkat gagang telepon dengan kasar. Dia menghubungi Pak Gandi dan berbicara cukup keras, Pak Gandi adalah kepala gudang kami. Semakin lama suara Bu Grace semakin meninggi, itu artinya Pak Gandi pun tidak mau disalahkan.
“Saya nggak mau tahu ya, Kayla. Produk itu mau dipakai demo oleh SPG, kalau barangnya tidak ada bagaimana mau demo? Kamu mikir dong, akibat kekurang hati-hatian kamu berantakan semua ini!”
Aku menahan air mataku, ini sudah ketiga kalinya aku dimarahi di depan umum oleh Bu Grace untuk kesalahan yang tidak aku buat. Aku menyerahkan satu box produk perawatan rambut ke Pak Gandi, lalu Pak Gandi mengecek, menghitung dan menutup kembali box itu. Kemudian membubuhkan tanda tangannya di tanda terima yang aku serahkan. Proses penyerahan barang dari Pak Gandi ke Pak Nasir, tentunya aku tidak lihat. Lalu mengapa saat barang itu tidak ada yang disalahkan aku? Mengapa bukan Pak Gandi? Atau Pak Nasir?
“Saya mengundurkan diri saja Bu, saya sudah sering membuat kesalahan. Saya minta maaf”, ujarku sambil menyeka air mata yang perlahan mulai turun dipipi.
Bu Grace hanya diam, kedua tangannya mengepal diatas meja menahan emosi. Tiba-tiba telepon disampingnya berbunyi.
“Astaga Popong … Kamu itu ngapain aja di supermarket? Kamu tidak mengawasi barang-barang yang ada di sana? Berulangkali sudah saya katakan, hitung, cek, dan catat, semua barang yang masuk atau pun keluar. Kurang jelas instruksi saya?”
Aku keluar dari ruangan Bu Grace, kemudian setengah berlari menuju toilet. Aku tumpahkan tangisku di situ, untungnya toilet sepi tidak ada orang. Lebih kurang sepuluh menit aku coba menenangkan diri, kemudian aku basuh mukaku dengan air keran yang mengalir. Aku ambil tisu, lalu aku keringkan wajahku. Mataku masih memerah, tapi aku harus kembali ke ruangan. Tekadku sudah bulat, aku harus mengundurkan diri saat ini juga. Demi harga diriku!
Manusia itu memang tempatnya salah, tapi jika terus disalahkan, tanpa bisa membela diri kan aneh! Aku memang butuh pekerjaan, butuh uang juga untuk biaya hidupku. Tapi kalau harga diriku diinjak-injak, aku harus melawan! Aku memang tidak bisa dibentak, mentalku memang lemah! Aku yakin di sini bukanlah tempatku!
Aku selesaikan semua pekerjaanku, lalu aku rapikan semua berkas-berkas yang masih menumpuk di kotak surat masuk dan keluar. Aku pisahkan satu per satu, kemudian aku susun ke masing-masing file surat di lemari arsip di sisi kananku. Setelah semua rapi, aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan ke ruangan Pak Miftah. Aku serahkan surat pengunduran diriku.
“Surat apa ini, Kayla?” tanya Pak Miftah setengah terkejut.
“Saya mengundurkan diri per hari ini, Pak. Tolong jangan tahan saya lagi, saya sudah tidak tahan! Bu Grace sudah tau, jadi saya sekalian pamit ya, Pak. Selamat sore!” ucapku dan menyalami Pak Miftah.
Pak Miftah tidak bisa mencegah tindakanku, karena memang surat pengunduran itu sudah sering aku ajukan. Namun Pak Miftah selalu mengembalikan surat itu, dia memintaku bersabar, mencoba berdamai dengan Bu Grace. Tapi hari ini, pintu kesabaranku jebol. Aku sudah tidak bisa bersabar lagi!
Rencana kepergianku ke kota Batam untuk mencari pekerjaan dan suasana yang lebih baik, sudah aku rundingkan dengan orang tuaku. Mereka awalnya kaget, namun akhirnya merestui keinginanku.
“Baik-baik kamu di sana, Batam berbeda dengan Jakarta. Pandai-pandailah bergaul, membawa diri, jangan mudah percaya dengan orang asing yang menawarkan pekerjaan baru ke kamu. Itu saja pesan Mama dan Papa”, ucap Mama sambil memegangi bahuku.
“Apa tidak sebaiknya kamu coba melamar pekerjaan dari sini, begitu ada panggilan dan pasti diterima baru kamu ke Batam”, ujar Papa sambil membuka surat kabar yang ada dihadapannya. Papa membolak-balik halaman surat kabar, aku tahu apa yang Papa cari. Pasti iklan lowongan pekerjaan! Aku sudah malas membaca iklan lowongan kerja, hatiku sudah tidak ingin bekerja di Jakarta. Aku ingin merantau saja!
“Kayla mau langsung ke Batam aja Pa, menurut Tante Ida di Batam memang sedang dibutuhkan banyak pekerja. Kesempatan untuk bersaing dengan pekerja lain tidak sesulit di Jakarta”, ujarku coba menyakinkan Papa.
Papa sepertinya meragukan kemampuanku, aku yang hanya lulusan Diploma Satu Komputer Akuntansi. Kemampuan bahasa Inggris juga tidak terlalu istimewa, malah bisa dikategorikan pasif. Apakah aku kecewa? Tentu tidak, karena sebagai anak kedua dari lima bersaudara sangat wajar aku harus mengalah kepada kakakku dan juga adik-adikku.
“Seharusnya yang kuliah itu kamu, bukan kakakmu. Sudah kuliah dengan biaya cukup besar, eh malah menikah! Nggak jadi apa-apa, nggak bantu orang tua juga. Boro-boro mau bantu adik-adiknya!” gerutu Papa.
Inilah yang ingin aku hindari, suasana rumah yang tidak nyaman dan juga lingkungan kerja yang selalu menyudutkan aku dengan kesalahan yang dibesar-besarkan. Aku tahu setiap kesalahpahaman pasti akan membuat jarak antara satu, dengan yang lain. Atasan yang baik seharusnya menengahi, bukan membuatnya semakin kacau. Di rumah juga begitu, Papa selalu ingin didengarkan pendapatnya, tidak boleh ada satu pun yang membantah ucapan Papa.
Tapi, sudahlah. Aku menyerah, mentalku memang masih labil. Dibentak-bentak di depan orang banyak, bukan sesuatu yang menyenangkan untukku. Aku memang cengeng, mentalku belum cukup kuat.
Pengajuan pengunduran diriku sebenarnya tidak disetujui oleh Bu Grace, namun aku menolak untuk kembali ke kantor. Aku sempat dianggap tidak bertanggung jawab, karena meninggalkan pekerjaan begitu saja. Bu Grace meminta maaf pun tidak, lantas untuk apa aku masih bertahan di sana? Memiliki seorang atasan yang temperamental sungguh tidak terbayangkan sebelumnya. Cukup sekali aku temui atasan yang memiliki karakter seperti itu, tidak mau kejadian kedua kali. Titik!
Pak Miftah sebenarnya meminta aku bertahan, walau pun sudah banyak korban akibat sikap Bu Grace. Dan karyawan Bu Grace yang paling lama bertahan di kantor itu, adalah Nova. Sekarang dia sudah menduduki posisi asisten kepala bagian distribusi se-Sumatera, setelah lima tahun! Nova juga pernah mengatakan kalau Bu Grace itu sebenarnya baik dan sangat perduli dengan anak buahnya, tapi aku tidak mempercayainya. Nova memang sudah terkenal suka cari muka, bisa jadi posisi yang dia duduki sekarang hasil dari cari muka!

Komentar Buku (423)

  • avatar
    AhmadUdin

    mantap

    2d

      0
  • avatar
    Desi Gusri Murni

    akhirnya bisa dapat aplikasi yg bisa menghasilkan diamond dan terimakasi kepada developer yang udah buat aplikasi ini dan aku juga syok ini aplikasi bisa menghasilkan diamond yang bagus

    5d

      0
  • avatar
    Mainii

    cerita sangat bagus 🥰🥰 bikin tersentuh hati

    15d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru