logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

2. Rawa

Kehidupan terasa begitu berat bagi Namida. Selain terusir dari rumah, lelaki yang dia cintai pun mencampakkannya laksana sampah yang tak berguna. Dia tidak pernah menduga kalau takdir akan menghukumnya sedemikian buruk dan kejam. Andai saja dia bisa memutar dan mengulang kembali waktu, dia akan berpikir seribu kali untuk mengambil keputusan besar di dalam hidupnya.
Entah sudah berapa jauh dia berjalan. Tidak tahu arah yang akan dia tuju. Pikirannya terkadang seperti meninggalkan kepalanya. Namida kerap memukul kepalanya sendiri, agar syaraf-syaraf di kepalanya itu tidak keluar dari jalur.
Di terik panasnya matahari, dia sendiri luntang-lantung di jalanan kota Padang yang ramai oleh kendaraan. Decitan ban mobil, klakson kendaraan roda dua yang saling bersahut-sahutan, ditingkahi oleh caru-marut para pengemudi yang merasa dibuat terkejut oleh pengendara lainnya.
Namida terus melangkah tanpa pduli dengan perutnya yang besar. Terkadang dia memegang pinggangnya kalau rasa lelah mulai menghinggapi. Di lain waktu, dia tertatih-tatih mencari sekadar tempat untuk bernaung. Peluh bercucuran di badannya yang sudah semakin tidak terawat.
Wajahnya kusam, kulit tangan dan kakinya dekil, dan entah ke mana perginya wajah cantik yang dulu sangat ia banggakan. Kecantikan yang selalu dia rawat dengan sepenuh hati. Lehernya yang jenjang, sekarang seperti ditambal dengan daki yang menghitam dan kotor.
Tiada ada yang tersisa selain pakaian yang melekat di badan. Caranya bertahan hidup adalah dengan segala daya dan upaya. Tidak ada yang perlu dia malukan. Toh, rasa malu itu sudah lenyap begitu lelaki durjana itu membuatnya bunting dan mengandung janin yang entah akan terlahir selamat atau tidak.
Sudah sering dia mengemis dan memulung. Berharap mendapat sedikit uang untuk membeli nasi dan seteguk minuman. Keberadaannya sering membuat orang tidak nyaman. Bukan saja karena tampilannya yang kotor, tapi juga dikarenakan perutnya yang membusung. Banyak prasangka para pemilik mata yang memandang kalau dia mengidap penyakit mematikan.
Jadi tidak sekali dua kali pula, kalau ada orang yang mengusirnya baik secara halus, maupun kasar. Umpatan dan cacian seakan-akan diteriakkan ke gedang telinganya. Membuat Namida pekak, tetapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin hidup dan bertahan sampai dia bisa membalaskan dendam hatinya kepada mereka yang telah membuatnya menderita.
Dia tidak peduli dengan orang-orang yang tiada simpati kepadanya. Baginya dia hanyalah salah satu dari butiran pasir tiada makna. Dia hanya harus terus berjuang untuk hidupnya.
Sambil mengelus perutnya yang sudah membesar, dia berdoa di dalam hati, agar diberi kesempatan mengasuh calon bayi yang ada di dalam kandungannya.
Sudah cukup tangisan mengoyak matanya. Namida bertekad untuk membalaskan semua dendam yang kini mulai tumbuh. Terutama ke keluarganya sendiri yang mengusirnya dan membuatnya begitu terhina. Selanjutnya, Suryana, ayah dari jabang bayi yang dia kandung, akan membayar mahal semua ini. Tekad kuat itu begitu berapi-api.
"Anakmu sendiri yang akan membunuhmu, Suryana. Aku pastikan, kalian semua akan mati membusuk. Dendam ini akan terus kubawa. Sampai tiada tersisa lagi rangkaku di dunia ini. Dengarlah langit, sumpahku ini!"
***
15 hari kemudian, Namida melahirkan anaknya di tepi sebuah sungai yang berawa. Tanpa bantuan orang lain. Berjuang melawan rasa takut. Dia yakin, tanpa bantuan orang lain, dia bisa melewati semua ini. Dia bukan wanita bodoh. Untung saja dia sempat membantu persalinan ketika bekerja bersama ibunya yang seorang bidan desa. Jadi semua proses kelahiran ini pun bukanlah hal yang baru baginya. Hanya saja kali ini dia yang melahirkan.
Dipandanginya bayi kecil yang masih bermandikan air ketuban dan darah. Senyuman mengembang di bibir Namida. Dia angkat sosok mungil tersebut. Matanya menatap air yang mengalir tenang di tepian sungai. Sunyi, hanya gemersik dedaunan dan aliran air yang mengisi kekosongan.
"Selamat datang di dunia, Nak. Kamu tentu sangat bahagia melihat ibu, bukan? Sama, Sayang. Ibu juga senang akhirnya kita bisa bertemu. Sembilan bulan engkau di rahim ibu. Tidak akan ibu sia-siakan. Kita punya misi di dunia ini. Kau hadir untuk sesuatu yang besar. Siapkan dirimu, Nak. Hiduplah untuk ibu. Hiduplah untuk menghancurkan mereka yang membuang kita." Namida mencium kening bayi mungil tersebut. Si bayi melejang-lejangkan kaki. Angin bertiup lirih. Namida makin merapatkan pelukannya.
Tawa panjang keluar dari mulutnya. Dia angkat bayi tersebut ke udara. Dari mulutnya keluar teriakan yang mendirikan bulu roma.
"Suryana! Ingatlah, kematianmu sudah datang. Kau akan merangkak di kakiku memohon ampun. Seperti apa aku engkau buang, maka akan aku balas berkali-kali lipat. Tunggulah mautmu, Suryana! Di tepi sungai ini, di rawa yang kotor ini, anakmu telah lahir. Dan di sini juga kau akan dikubur hidup-hidup. Ingat sumpahku, Suryana! Rawa Reged akan mencabut nyawa anjingmu!"
Namida terus berteriak seperti kesetanan. Tidak dia pedulikan bagaimana sosoknya kini begitu kotor dengan darah dan cairan pasca melahirkan. Begitu mengenaskan. Bahkan panasnya matahari seakan-akan ikut merasakan bagaimana panasnya dendam yang bergejolak di hati wanita malang tersebut.
Lengkingan Rawa semakin membuat alam gelisah. Jauh di Barat sana, segerombolan awan hitam datang menyerbu. Seolah-olah ingin membasuh bumi dari darah yang tercemar. Memadamkan kemarahan sang surya.
Dengan langkah tak beraturan dan pakaian berantakan, Namida meninggalkan tempat tersebut. Berusaha menembus hujan yang akhirnya menggila. Namida makin memeluk erat tubuh mungil bayi yang ada dalam gendongannya.
Namun, perempuan malang itu akhirnya kehabisan tenaga. Tepat ketika dia sampai di halaman sebuah rumah kayu, tubuhnya ambruk sebelum sempat mengetuk pintu.
Tangisan Rawa membuat yang punya rumah serta merta membuka pintu. Terkejut melihat ada orang yang terkapar di halaman rumahnya.
Lelaki tiga puluh tahun itu panik. Namun, dengan cepat dia angkat Namida dan Rawa ke dalam rumah.
Sejak saat itu, kehidupan pria itu berubah. Tragedi demi tragedi akan mewarnai perjalanan takdir mereka.
***
Bersambung ....

Komentar Buku (105)

  • avatar
    hashimah 706

    best sangat

    15d

      0
  • avatar
    RupiahPejuang

    cerita nya bgs

    11/08

      0
  • avatar
    kusumarepal

    baguss banget novel nya

    10/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru