logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Apakah Dia Pacarnya?

Alcasta berjalan ke arah keluar kelas dengan tangan yang setia merangkul pundak Zara.
Diikuti oleh kedua temannya, karena Arthur sudah terlebih dulu pergi ke kantin sejak bel dibunyikan.
"Itu Arthur!" seru Bryan saat menginjakkan kaki di lantai kantin. Terdengar begitu bahagia dan terlihat begitu girang seperti anak kecil yang dibelikan mainan baru.
"Alca, aku malu," ujar Zara merasa risi karena beberapa pasang mata terus menatap ke arahnya. Ia akan menjadi bahan perbincangan bahkan lebih parahnya ia akan semakin banyak yang mem-bully.
"Gak perlu malu. Lo cantik. Mereka yang liatin itu iri sama lo, Ra." Lalu Alcasta menarik kursi untuk Zara duduk, "duduk, Ra."
Uhuk!
Arthur tersedak makanan yang penuh di dalam mulutnya.
"Wah, tinggal dikit lagi," celetuk Edghar.
"Kurang ajar, lo!" bentak Arthur tidak terima.
"Banyak-banyak istigfar, thur. Udah ada yang jemput kayanya," timpa Bryan lalu mencomot bakso yang ada di mangkuk Arthur dengan tangan kosongnya.
"Jorok, gila!" murka Arthur dan seketika kehilangan nafsu makannya.
Alcasta membelai rambut Zara yang sebatas bahu, "mau pesan apa, hm?" tanyanya begitu lembut.
"Tukang ruqyah dekat sini ada gak, sih?" Edghar merasa cemas atas kesehatan Alcasta saat ini.
"Alca dari mana? Kesambet di gudang?" tanya Arthur yang ikut cemas.
"Pelet kayaknya pelet!" teriak Bryan yang dengan cepat memutuskan jawaban. "Melet Alca lo, ya!" Bryan menunjuk Zara yang juga kebingungan.
"Sut... Lebih baik diam dan nikmati makanan. Kalian pesan sepuasnya tanpa bayar sepeser pun." Alca kembali menatap Zara lalu tersenyum hangat.
Bryan segera menarik meja lain untuk digabungkan dengan mejanya. Hampir semua menu makanan dan minuman di kantin ini mereka pesan.
"Lo seriusan, Al?" tanya Arthur.
"Prank, kali," jawab Edghar menduga-duga. Sedangkan Bryan sudah menghabisi tiga piring menu makanan.
"Al, makasih kamu udah baik sama aku." Zara tersenyum senang. Akhirnya penderitaannya selama 2 tahun berakhir saat ini. Karena, baginya teman adalah hal yang berharga. Namun, terkadang kita salah mengartikan. Kita yang menganggap teman dan kenyataannya teman malah memanfaatkan.
"Gue juga makasih." Nadanya terdengar sangat dingin. Manusia spesies seperti apa ini? Mudah sekali berubah mengikuti arah angin.
"Makasih untuk apa, Al?" tanya Zara heran.
"Makasih karena lo bikin kita bisa makan enak sepuasnya," ucap Alcasta dengan senyum smirk.
Deg!
"Mungkin prank kali, ya? Karena terbesit gitu aja di otak gue saat lempar tas jelek lo!" lanjut Alcasta.
Arthur menghentikan aksi mengunyahnya lalu menatap Alcasta dan Zara secara bergantian begitu juga dengan Bryan sedangkan Edghar masih terus mengunyah menikmati keadaan tanpa ingin diganggu.
Air mata Zara kembali menggenang di pelupuk matanya. Baru saja ia bersyukur karena penderitaannya berakhir.
Ternyata takdir tidak sebercanda itu. Ia akan terus berjalan seperti air di sungai. Melewati kerikil dan menabrak bebatuan besar serta jatuh ke dasar yang lebih rendah.
Namun, akan ada saat di mana air mengalir dengan tenang dan menjadi kekaguman atas indahnya alam.
"Lo pikir gue sebagai siswa famous yang dinobatkan paling tampan ini sudi megang gadis hina kayak lo? Korban bully!" Alcasta menekankan dua kalimat terakhirnya sembari menatap tajam Zara.
"Jangan ketinggian halu lo!"
Edghar menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Tetap makan atau berhenti.
"Jangan tinggi-tinggi, Ra. Nanti jatuh siapa yang mau tangkap? Gak ada," timpa Bryan.
"Ada-ada aja lo, Al." Arthur hanya tertawa dan memilih menghabiskan makanan miliknya. Sedangkan Edghar hanya mengikuti apa yang sahabatnya lakukan. Ia segera makan yang lahap karena takut jika Alcasta menyuruhnya untuk berhenti.
Alcasta menoleh ke samping saat merasa ada seseorang yang berdiri di dekatnya. Kepalanya mendongak membuat manik mata cokelat hazelnya membulat dengan jelas. Ia mengangkat sebelah alisnya yang tebal seolah menantang.
"Ternyata populasi banci bertambah satu," celetuk seorang siswi dengan wajah datar dan nada bicara yang dingin.
Dia adalah Prisca Birgitta. Siswi yang terkenal sebagai patung yang diberi nyawa. Wajah tanpa ekspresi dan jarang sekali berbicara.
Ia merogoh sakunya, "anggap aja gue bantu orang tidak mampu yang bisanya cuma menindas orang yang lemah!" Prisca menyimpan satu lembar uang berwarna merah di meja hadapan Alcasta.
Alcasta hanya mengangkat kedua bahunya lalu mengalihkan pandangan dari wajah Prisca lalu Prisca melenggang pergi dari hadapan mereka.
"Bayarin jangan, Al?" tanya Edghar.
"Bayarin lah," jawab Alcasta dengan nada kesal menahan amarah. Pasalnya baru kali ini seorang Prisca mengajaknya berbicara, itu pun secara menghina.
"Ngapain lo masi di sini? Gak guna!" bentak Alcasta seraya menendang kursi Zara menjauh darinya bahkan hampir saja terjungkal. Zara beranjak lalu berlari sembari menutup wajahnya.
"Miskin!" seorang siswa berseragam rapi berjalan melewati kumpulan Bastard gang. "Prisca memang panutan. Sedekah kepada yang lebih MEMBUTUHKAN." Siswi ber-name tag Alpha Centauri itu menekankan kata terakhirnya.
Alcasta berdiri dari duduknya.
"Mau gue sumbang lagi, nggak? uang gue kebanyakan soalnya." Nada bicara Alpha terdengar sangat meledek membuat Alcasta langsung memberikan hantaman di pipi tirus Alpha.
Teriakan bergema di segala penjuru kantin. Pukulan demi pukulan terdengar sangat jelas saat tulang mereka beradu. Darah yang mengalir pun tidak membuat mereka menghentikan aksi setannya.
"Arthur, Bryan, Edghar! kalian lerai mereka!" teriak salah satu dari mereka.
"Mereka bukan anak ayam. Nggak perlu dilerai," jawab Edghar.
"Memang anak ayam pernah berantem?" tanya Bryan dengan polos.
Arthur berjalan mendekati Alcasta yang kalap memukuli Alpha, "lanjut nanti. Jangan di sekolah," bisik Arthur.
Alcasta menjauhkan diri dari Alpha yang terbaring.
"Miskin!" Alcasta kembali terpancing dan langsung menghabisi Alpha tanpa ampun. Dirinya sangat tersulut emosi yang menggebu.
"Alpha!" siswi berambut sebatas bahu berlari menghampiri Alcasta dan Alpha. Ia langsung mendorong Alcasta yang berada di atas Alpha.
"Alpha! ya ampun. Kak Alcasta lo apa-apaan, sih!" siswi bernama Keyla Laura itu langsung membangunkan Alpha.
"Lo bisa jalan? Kita ke UKS." Keyla mengaitkan tangan Alpha di lehernya dan membantu Alpha untuk berjalan menuju UKS.
Setelah sampai di UKS, Keyla langsung membaringkan tubuh Alpha di atas brankar. Kemudian, ia sibuk mengambil beberapa alat medis untuk mengobati luka Alpha.
Pintu UKS terbuka lebar dan menampakkan empat sosok cewek yang salah satunya berambut panjang dengan kulit putih pucat. Raut wajahnya tampak menahan kesal. Langkah kakinya mulai mendekati arah Alpha dan Keyla.
"Siapa yang ngajarin?" lontaran kata itu keluar begitu saja dari mulut Prisca membuat Alpha terkejut.
"A-apa, kak?" tanya Alpha terbata-bata.
Prisca hanya diam menatap Alpha dalam-dalam penuh arti.
"Gue ngebela lo, salah?" tanya Alpha.
"Gue nggak pernah ajarin lo kayak gitu!" nada Prisca terdengar tinggi. Terlihat matanya memerah menahan amarah.
Alpha sedikit mengangkat kepalanya, "lo cuma punya gue. Cuma gue yang bisa lindungi lo!" jawab Alpha dengan nada yang lumayan tinggi. Ia bukan marah. Ia hanya tegas agar Prisca mengerti.
"Apa gue harus diam aja saat lo diperlakukan nggak baik?" lanjut Alpha dengan nada sedikit menurun.
"Memangnya gue kenapa? gue nggak di apa-apain. Gue cuma tolong teman gue!" terang Prisca masih dengan nada yang sama.
"Anggap aja gue juga tolong teman lo."
"Jangan so' jagoan!" sungut Prisca.
"Maaf. Tapi, Alpha nggak salah. Dia benar," bela Keyla.
"Salah. Gue nggak pernah ajarin dia kayak gitu," jawab Prisca tanpa menatap Keyla.
"Dia cuma bela kaum yang lemah, Pris," timpal Aletha.
"Dengan cara menghina orang?" pungkas Prisca menatap Aletha.
"Sudah! Alpha benar, kok. Cuma cara dia aja yang salah," simpul Marva menengahi agar suasana tidak semakin panas. "Lanjut obatin Alpha," titah Marva kepada Keyla.
Saat Keyla hendak mengobati luka Alpha. Alpha menyingkirkan tangan Keyla dengan lembut lalu ia meraih ke-dua tangan Prisca, "maafin gue, kak. Gue cuma nggak mau orang yang paling berharga dihidup gue disakitin orang lain." Cairan bening yang ditahan itu tumpah membasahi pipi Alpha yang penuh luka, "gue nggak mau lo kenapa-napa."
Seketika amarahnya hilang ntah menyurut ke mana. Hati Prisca mencair begitu saja. Perlahan nafas yang memburu mulai tenang kembali. Ia mengelus punggung tangan Alpha dengan ibu jarinya, "gue nggak kenapa-napa." Prisca memberikan senyuman yang paling langka, sangat hangat dan manis.
"Gue nggak suka liat kelakuannya. Terserah mau kayak gimana. Yang penting jangan ngerugiin orang lain," jelas Alpha mengadu.
"Jangan memandang orang terlalu rendah. Karena siapa tahu yang kita anggap buruk punya sisi baik yang lebih dari kita."
Alpha mencium punggung tangan Prisca penuh kelembutan.
Keyla menelan salivanya dengan susah payah. Jantungnya seketika melemah melihat pemandangan paling buruk yang ia saksikan. Kelopak matanya menghangat siap memberikan embun luka, "kalau memang mereka pacaran. Kenapa sikap Alpha kayak beri harapan buat gue?"

Komentar Buku (1012)

  • avatar
    Robi Borent'z Namsembilan

    sip

    1d

      0
  • avatar
    Seliivanka

    bgs alur ceritanya

    5d

      0
  • avatar
    WicaksonoAkbar

    aku suka banget sama novelah aku sangat senang dengan novelah aku terkadang juga sukai juga Sukaesih film dan juga aku suka yang bagus yang bagus terima kasih ya play store play store aku sungguh kagum dengan novel hari ini aku cinta novel dan terkadang aku aku juga terkadang membaca di novel itu sangat seru sekali saya juga bukan sekali sama novira siapa Novi

    9d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru