logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5 Nanti Ayah Carikan

"Terima kasih, Sandra. Kamu udah mau luangin waktu buat nemenin saya." Gyan mengambil alih tubuh Qira yang sudah terlelap di pangkuan Sandra yang duduk di kursi bagian sampingnya. "Dan maaf, saya minta bantuan di luar jam kerja. Nanti untuk bonusnya akan saya kirimkan segera, ya."
Sandra hanya mengangguk sambil tersenyum manis. Dia keluar dari mobil milik Gyan yang sudah terparkir di depan rumahnya. Padahal Sandra sudah menolak untuk diantar sampai rumah, dia bisa pulang sendiri. Tapi, Gyan dengan segala kebaikannya malah memaksa untuk mengantarkannya pulang, karena hari juga sudah malam. Tidak baik untuk perempuan pulang sendiri, katanya.
Sandra membantu membukakan pintu belakang, ketika Gyan keluar dari mobil, memutarinya sambil menggendong Qira yang sudah tertidur dan memidahkannya di jok belakang supaya Qira tidur lebih nyaman.
"Sekali lagi terima kasih, San. Ini udah malam. Segera istirahat, besok kita punya agenda yang padat."
Lagi, Sandra hanya mengangguk sambil tersenyum, ketika Gyan mengatakannya saat menutup pintu mobil. Gyan pamit pulang, meninggalkan Sandra yang melambaikan tangan melihat mobilnya yang perlahan menjauh.
Hari yang melelahkan. Sandra segera masuk ke dalam rumah, setelah memastikan jika mobil atasannya tidak akan balik lagi. Dia senang membantu Gyan, apalagi harus mengasuh Qira. Sandra jadi punya pekerjaan lain yang menurutnya bukan beban yang berat, tapi menyenangkan.
Selama perjalanan, Qira masih tertidur dengan nyenyak. Dia sama sekali tidak terusik dengan apa pun dan malah terlihat semakin nyenyak, ketika Gyan menambah kecepatan kendaraannya untuk segera sampai di rumah mereka.
Sedangkan Gyan kini sudah sampai di depan rumahnya, memarkirkan mobil dan segera membawa masuk tuan putri yang masih saja terlelap. Acara akikahan di rumah Raharja memang cukup meriah dengan banyaknya tamu yang hadir. Mereka mengikutinya sampai acara benar-benar selesai, dari sore hingga pukul delapan saat ini, mereka baru bisa beristirahat.
"Mimpi indah, Nak. Selamat malam." Gyan menarik selimut menutupi tubuh Qira, memberikan kecupan hangat di puncak kepalanya. Sekarang giliran dia yang merebahkan badan, lalu terlelap. Karena tubuh yang terasa lelah ini, Gyan pasti langsung berbaring ketika sampai di kamarnya nanti.
"Ayah ...."
Baru saja Gyan akan beranjak keluar, Qira malah bersuara. Melihat ke arah ranjang, samar-samar Qira terlihat membuka mata dalam cahaya remang, karena lampur sudah dimatikan. Dia kembali lagi mendekat ke arah ranjang. "Kenapa, Sayang?" Sambil mengusap kepala anaknya, Gyan tersenyum. "Kenapa bangun, hm?"
Qira tidak menjawab dan malah mengambil tangan Gyan untuk dia peluk beserta selimut. Anak itu berbaring miring, sedikit menarik ayahnya untuk ikut berbaring. Gyan yang paham dengan keinginan anaknya segera melepas sepatu dengan sebelah tangan, karena sebelah lagi tidak Qira lepaskan. Dia naik ke atas ranjang, memeluk putrinya dengan penuh kehangatan.
"Tidur, ya. Udah malam." Gyan mengecup puncak kepala anaknya. Memberikan usapan halus, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena sejak tadi memakai kerudung selama acara berlangsung.
"Ayah."
"Hm?"
Mata mereka bertemu, ketika Gyan menunduk dan Qira mendongak, terlihat ingin mengatakan sesuatu padanya.
"Ayah akan memberikan hadiah yang aku mau, kan?"
Gyan terdiam, cukup terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia juga tidak tahu, apakah dia bisa mengabulkannya atau tidak. Dia bingung mencari hadiah yang Qira minta. Karena bukan perkara mudah untuk menemukan wanita yang bisa dianggap sebagai "Bunda" untuk anaknya.
"Bundanya harus punya rambut yang enggak panjang, ya."
Gyan tersenyum, menyentuh pipi Qira yang chubby. "Kalau yang panjang, kenapa?"
Anak itu tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi mungilnya. "Gak papa. Aku cuma mau yang rambutnya pendek." Tangannya kesusahan bergerak, melepaskan tangan Gyan yang dia peluk di balik selimut. Kemudian menyentuh bahunya sendiri masih sambil tersenyum. "Segini, ya, Ayah."
Bukan saatnya untuk mengomentari banyak hal. Qira masih kecil dan Gyan juga tidak bisa memaksakan pertanyaan hanya karena keinginan anaknya yang terdengar nyeleneh. Dia hanya mampu memberikan anggukan, mengajak anaknya untuk kembali terlelap. Besok Qira sekolah dan Gyan juga harus pergi ke kantor.
"Nanti ayah carikan bunda yang rambutnya sebahu, ya. Sekarang Qira bobo dulu."
"Sama yang bulu matanya lentik, Ayah."
"Iya-iya, nanti ayah carikan."
Dikira mencari bunda semudah membeli snack di supermarket. Sampai siang ini permintaan anaknya masih terngiang di telinga. Padahal Gyan sudah mengalihkan pikiran pada tumpukan berkas, juga membahas kerja sama baru bersama dengan klien. Tapi, ucapan Qira memang punya kekuatan tersendiri sampai membuatnya tidak tenang.
"Terima kasih untuk pertemuannya, Pak. Untuk kerja sama lebih lanjut, kita bisa bicarakan lagi nanti. Mungkin Bapak bisa hadir ke kantor saya. Akan lebih leluasa membahasnya di sana."
"Iya, Pak. Mudah-mudahan ada waktu lagi untuk membahas kerja sama ini lebih detailnya, ya. Kalau begitu, saya permisi duluan, tidak apa?"
"Oh, silakan! Silakan, Pak!" Gyan mengangguk hormat, tersenyum, mempersilakan kliennya untuk pulang duluan.
Helaan napasnya terdengar lega, ketika kliennya sudah pergi, tinggal dia segera kembali ke kantor setelah ini. Pertemuan di luar kantor selalu memerlukan banyak waktu. Gyan harus bolak-balik. Untung saja pertemuan kali ini diadakan di sebuah restoran yang tidak terlalu jauh dari tempat kerjanya, sehingga tidak terlalu lelah untuk menyetir nanti.
Langkahnya terhenti ketika sudah berada di parkiran restoran untuk masuk ke dalam mobil. Gyan mengambil ponsel yang berdering di dalam saku jas. Melihat siapa yang menghubunginya, dia tersenyum. Sudah lama nomor itu jarang menghubunginya. Gyan segera menerima panggilan itu dengan senyum tercetak jelas di wajahnya.
"Ya, halo, Ma?"
"Kamu di mana?"
"Di ...," Gyan melirik dulu sekitar, menggaruk alis dengan ujung telunjuk tangan kanan, sedangkan ponsel dipegang oleh tangan kiri. "lagi di luar kantor, sih, Ma. Kenapa?"
"Kebetulan, dong." Alis Gyan terangkat, entah kebetulan apa yang ibunya maksudkan. "Bisa mama minta tolong? Mama ada acara arisan hari ini. Harusnya jadwal arisan ini tuh nanti sore, tapi ada perubahan jadwal jadi satu jam lagi."
Gyan melihat dulu jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sekarang masih jam 10.13. "Lalu?"
"Nah, suguhan buat arisan nanti belum ada di rumah, karena kan jadwalnya emang nanti sore. Pasti belum dianterin sama pegawai toko kuenya. Bisa 'kan, kamu ke toko kue langganan mama buat bilangin masalah ini. Supaya mama gak bingung nanti mau nyuguhin temen mama pake apa."
Helaan napas Gyan sampai terdengar ke seberang panggilan. Di saat seperti ini, ibunya malah meminta bantuan yang menurut Gyan memang ringan, seharusnya tidak jadi masalah. Namun, bukankah dia harus kembali ke kantor sekarang? Jika malah menuruti permintaan ibunya, pasti lebih banyak membuang waktu di luar kantor untuk hari ini.
"Bisa, kan? Biar pesanan mama segera dianterin, Gyan. Biar mama gak malu nanti. Bilang aja pesanan bu Mayang. Orang sana pasti langsung paham."
"Kenapa gak hubungin pihak toko kuenya?"
"Udah. Tadi udah mama coba. Tapi, owner tokonya gak bisa mama hubungi. Mungkin lagi sibuk."
"Oh, yaudah. Aku ke sana sekarang. Aku harus ke toko kue mana, Ma?"
"Kaneish Torta."

Komentar Buku (241)

  • avatar
    Anisa Galeri

    makin penasaran, qira semangat cari bundanya,jangan lupa cariin ke ayah yang cantik dan pintar juga baik... seruu ceritanya

    30/12/2021

      0
  • avatar
    Genduk Wahyuningsih

    Ceritanya bagus banget

    6d

      0
  • avatar
    Dayat Widayat

    lanjut sudah gak sabar kak

    7d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru