logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Sweet Duda

Sweet Duda

Zhao Sinha


Bab 1 Permintaan Hadiah

Seorang gadis kecil berusia lima tahun-sebentar lagi-berdiri gelisah di samping pos satpam sekolahnya. Melihat satu teman terakhir telah mendapat jemputan, dia malah ingin menangis saat itu juga, jika tidak malu dengan pak satpam yang sejak tadi menemaninya.
Kenapa ayahnya tidak kunjung datang? Padahal siang ini, bel pulang sudah bersuara nyaring sejak satu jam yang lalu dan semua murid telah menghilangkan diri satu per satu. Entah itu dengan orangtuanya, dengan suster yang menjaganya atau dengan mobil jemputan yang sudah menjadi langganannya.
Lalu bagaimana dengan dirinya?
"Mungkin sebentar lagi ayah Qira datang. Jangan nangis, ya! Om yakin, ayah pasti masih di jalan," bujuk Pak Satpam entah untuk keberapakalinya.
Gadis kecil yang disebut Qira tersebut hanya menganggukkan kepala dengan pelan, berharap apa yang Pak Satpam katakan memang benar. Dia mencoba sabar untuk menunggu sebentar lagi. Mungkin ayahnya memang sedang dalam perjalanan, seperti ucapan Pak satpam barusan.
"Nah, itu ayahnya datang!"
Qira langsung merengut sebal melihat mobil ayahnya baru sampai di depan gerbang sekolahan. Sang ayah dengan gagahnya keluar dari dalam mobil, melambaikan tangan dan tersenyum padanya, seolah dia tidak melakukan kesalahan. Qira tidak membalas senyuman itu, terlampau kesal karena harus menunggu dalam waktu yang sangat lama.
"Maaf, ya, tadi ayah ada rapat sebentar. Terus jalanan macet, jadinya telat." Sang ayah membungkuk di hadapannya yang masih merajuk, kemudian melirik pada petugas satpam yang sejak tadi setia menemani anaknya. "Makasih, Pak, udah jagain Qira. Maaf, saya lama datangnya."
"Nggak papa, Pak Gyan. Qira aman sama saya. Cuma dari tadi udah nahan-nahan, kayaknya pengen nangis."
Sang ayah terkekeh pelan, berdiri sambil mengusap puncak kepala anaknya. Sekali lagi dia meminta maaf pada sang buah hati, karena kedatangannya sudah membuat putri tunggalnya menunggu sampai satu jam lebih.
"Mau pulang sekarang? Atau masih mau main sama Pak Satpam?"
"Pulang," cicit Qira, mendongak pada ayahnya, meskipun terlihat sangat enggan. Dia meraih tangan ayahnya yang terulur ingin menuntun, kemudian mereka pamit pada petugas keamanan sekolah.
Awalnya, Qira hanya terdiam mengikuti langkah ayahnya menuju mobil. Tapi, dia menarik tangan ayahnya tiba-tiba menunjuk gerai es krim kesukaannya yang ada di seberang sekolah. "Aku mau itu."
Sebagai ayah yang baik, Gyan tidak mungkin melakukan penolakan. Apalagi setelah membuat kesalahan yang membuat anaknya kesal. "Kamu tunggu di sini, ya. Biar ayah beli dulu ke sana."
Qira menganggukkan kepala patuh, berdiri di dekat gerbang sekolah yang masih terbuka lebar. Dia melihat ayahnya yang menyeberang dengan hati-hati, merentangkan kedua tangan ke samping saat ada kendaraan yang akan lewat. Dan ayahnya berhasil menyeberangi jalanan ramai tersebut, lalu tersenyum padanya ketika sudah berdiri di depan toko es krim yang dimaksudkan olehnya.
Qira terus memperhatikan ayahnya yang sedang berbicara dengan penjaga toko, kemudian beranjak untuk memilih es krim di etalase dan malah berbalik lagi menuju kulkas mini yang ada di bagian samping di dalam toko tersebut.
Tubuh Qira tersentak kaget, ketika ada seorang perempuan yang lewat di depan gerbang, menghalangi pandangannya. Perempuan itu memakai sepatu heels, langkahnya limbung ketika menginjak sebuah batu kecil, hingga membuatnya terjatuh.
Perempuan itu terpekik dengan ponsel yang awalnya berada didekat telinga, sekarang malah terbanting beberapa senti dari tubuhnya. Qira kaget dan merasa kasihan pada perempuan itu yang meringis, bahkan kesusahan untuk berdiri karena pakaiannya yang terlampau ribet. Dia ingin memberanikan diri untuk mendekat, berniat membantu, setelah melihat ke toko seberang memastikan ayahnya masih berada di sana.
Takut-takut, Qira hanya terdiam memperhatikan dari tempatnya berdiri sekarang, tidak jadi mendekat . Perempuan itu sangat cantik, mengenakan gaun pesta yang pendek berwarna baby blue dan tatanan rambut yang disanggul disertai kepangan di sisinya. Dia masih bersimpuh di tanah. Qira hanya diam saja, tidak bisa berkata. Lebih tepatnya dia ragu. Tapi, dia sangat kasihan melihat perempuan itu menahan sakit yang begitu kentara.
"Sialan! Nih, sepatu emang bawa sial banget perasaan!"
Lamat-lamat, Qira bisa mendengar perempuan itu bermonolog sambil mengumpati sepatunya. Dia mencoba bangun, tapi malah kembali limbung dan berakhir dengan suara gedebuk kedua kali.
"Resek banget sih, nih, sepatu!" Perempuan itu melepaskan sepatunya sambil mengumpat.
Qira melihatnya bimbang, apakah harus membantunya atau diam saja? Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Qira hanya diam dengan tampang polos, seperti kebanyakan bocah di luaran sana.
"Ah, sepatu sialan!"
Qira membuka mata lebar, ketika perempuan itu melemparkan sepatunya kasar ke tanah. Terlebih, melihat gaun yang sedikit tersingkap dari tubuh berkulit putihnya, Qira semakin terpaku di tempat. Gaun yang tersingkap naik sampai ke paha, sehingga Qira bisa melihat bagian mulusnya yang bertanda sedikit aneh berwarna hitam kecoklatan, serta lutut perempuan itu yang terluka dan mulai merembeskan darah bercampur debu tanah.
Perempuan itu bergerak dengan cepat. Berdiri, kemudian berjongkok lagi untuk mengambil ponsel yang terlempar dan tas tangan berwarna senada dengan gaun indah miliknya. Dia juga tidak lupa untuk mengambil kedua heels yang berwarna silver, sudah terlepas dari kakinya. Dia terus berkata seperti sebuah umpatan kasar dan juga omelan yang tertuju pada diri sendiri. Sampai dia melenggang pergi dengan kaki yang terpincang-pincang, tanpa alas, Qira masih memperhatikannya yang sama sekali seperti tidak melihat kehadiran gadis kecil yang berniat menolong tersebut.
"Ini es krimnya, Sayang."
Pandangan Qira teralih pada suara ayahnya yang menyapa telinga di sampingnya. Dia menoleh dengan bingung, melihat es krim yang disodorkan sang ayah padanya.
"Kenapa?" Ayah Qira terlihat bingung, karena anaknya tidak mau mengambil es krim rasa cokelat yang disodorkan. Dia mengikuti arah pandang Qira, ketika putri tunggalnya itu melirik ke arah yang berbeda. Tidak ada siapa pun di sana. Entah apa yang anaknya perhatikan. "Mau pulang sekarang? Atau es krimnya salah rasa?"
Sang anak kembali lagi melirik pada ayahnya. Dia menggelengkan kepala, meraih tangan ayahnya untuk segera masuk ke dalam mobil dan melupakan kejadian barusan. Qira hanya terdiam sambil memakan es krim selama di perjalanan. Kejadian terjatuhnya perempuan cantik tadi, bahkan sudah hilang dari ingatannya saat ini. Yang dia resapi hanyalah rasa dingin dan manis bercampur dengan toping renyah di dalam es krim yang sedang dipegang. Sampai dia tidak sadar, jika mobil ayahnya sudah terparkir di garasi rumah mereka.
"Kamu masuk duluan, ya. Ayah ada telepon sebentar."
Qira mengangguk patuh, turun dari mobil dibantu oleh ayahnya. Di bagian bibir sudah belepotan bekas noda es krim. Qira membuang wadah bekas makanan dingin tersebut pada tong sampah yang ada di dekat pagar tanaman halaman rumah. Melirik ke belakang, dia bisa melihat jika ayahnya sedang menerima panggilan lewat ponsel. Dia masuk ke dalam rumah lebih dulu, ketika ART rumahnya menyambut di depan pintu, tidak lagi menoleh pada ayahnya yang terlihat berbicara serius.
"Maaf, kalau saya ganggu waktunya, Bapak Gyan."
"Ah, enggak apa-apa, Pak. Kebetulan saya sedang senggang. Tumben, ada apa menghubungi saya, ya, Pak?"
"Saya hanya ingin mengundang secara pribadi atas acara akikahan cucu saya. Semoga Bapak berkenan hadir beserta pasangan dan anak, mungkin."
Gyan terkekeh pelan, menggaruk alis sambil memperhatikan anaknya yang baru saja tertelan pintu utama rumah mereka. "Mungkin Bapak lupa, saya duda. Jika membawa anak, mungkin bisa. Tapi, pasangan ...."
Terdengar tawa canggung di seberang sana. Ada nada tidak enak yang bisa Gyan maklumi, karena yang menelepon kali ini adalah kolega baru, yang bisa jadi lupa dengan statusnya. Atau mungkin, dia memang tidak tahu?
"Saya terima undangan privatnya, Pak. Jika ada waktu luang, saya pasti datang."
Setelah berbasa-basi ringan, sambungan selesai. Gyan segera masuk ke dalam rumah, mencari keberadaan anaknya. Dia menemukan Qira berada di kamarnya sedang memperhatikan kalender yang terdapat tanggal diberi lingkaran merah dengan begitu jelas. Itu tanggal kelahirannya.
"Ayah, kata mbak, aku akan ulang tahun."
Gyan tersenyum, menghampiri anaknya yang sudah melepas seragam bagian atas, menyisakkan rok pendek dan pakaian dalam. "Memang iya. Sebentar lagi, anak ayah genap berusia enam tahun."
"Iya?" Qira naik ke pangkuan ayahnya yang duduk di tepi ranjang, masih membawa kalender kecil yang dia ambil dari atas meja belajar. "Bakal dirayain?"
"Iya, dong." Gyan merapikan rambut putrinya yang mengembang, karena kuncirannya baru saja dilepas oleh mbak yang dia percayakan untuk mengurus rumah, sekaligus kepentingan anaknya. "Kamu mau pesta ulang tahun bertema apa? Frozen lagi atau princess yang lain?"
"Em ...," Anak manis itu menggaruk dagu, melihat ke atas, seolah sedang berpikir keras. "Aku mau tema Helo kitty!"
"Wow ...." Gyan cukup terkejut, karena anaknya sejak dulu menyukai princess, bukan tokoh boneka kucing yang imut tersebut. "Oke, nanti ayah reservasi tema Hello Kitty, ya."
Qira menganggukkan dengan antusias, senyumannya cerah dan lebar. "Apa aku boleh minta hadiah juga?"
"Apa itu?" Gyan membenarkan posisi duduk anaknya di atas pangkuan supaya lebih nyaman. "Anak ayah mau hadiah apa? Boneka besar yang bisa bernyanyi dan menari? Atau kebun bunga yang harum dan indah? Mau apa, hm? Semuanya pasti ayah berikan buat Qira Sayang. Karena kamu anak ayah yang paling cantik."
Qira terkikik, bergerak tidak beraturan menahan geli karena tangan Gyan menggelitikinya. Dia tertawa lepas, menjatuhkan kalender ke lantai dan terus meminta ampun, karena Gyan tidak berhenti jahil terhadap tubuhnya.
"Ahaha ... Aku mau hadiah Bunda, Ayah!"
Gerakan tangan Gyan terhenti di udara. Terpaku sesaat, menajamkan pendengaran supaya dirinya yakin, bahwa apa yang dia dengar bukankah angin setan. "Mau hadiah apa?"
Qira masih terengah-engah dengan sisa tawa di wajahnya. Napasnya tersenggal, dia terdiam sesaat. "Aku ... mau ... hadiah ... bunda, Ayah. Aku mau Bunda!"

Komentar Buku (241)

  • avatar
    Anisa Galeri

    makin penasaran, qira semangat cari bundanya,jangan lupa cariin ke ayah yang cantik dan pintar juga baik... seruu ceritanya

    30/12/2021

      0
  • avatar
    Genduk Wahyuningsih

    Ceritanya bagus banget

    6d

      0
  • avatar
    Dayat Widayat

    lanjut sudah gak sabar kak

    7d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru