logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 07

Leon mengikuti langkah sang ibu memasuki kamar Husni, tapi ketika tepat di depan pintu wanita itu malah berhenti.
"Kenapa kamu ngikutin ibu?" Wanita dengan daster panjang itu segera berpaling, membuat Leon terkejut dan tak mampu menyahut apa-apa.
Berbagai kata berputar di kepala, berusaha mencari-cari alasan yang tepat.
"A-anu, mau ke kamar, Bu. 'Kan searah." Tunjuk Leon pada pintu kamarnya, segera bergegas masuk menghindari tatapan tajam ibunya.
Wanda kembali meneruskan langkah memasuki kamar Husni, setelahnya pintu terkunci rapat dari dalam. Leon yang telah memasuki kamar kembali ke luar, dan mencari celah untuk mengintip apa yang dilakukan ibunya.
Namun, nihil. Tak ada satu pun lubang yang bisa menampilkan apa yang mereka lakukan. Entah kenapa kali ini dia merasakan penasaran yang begitu kuat. Terlebih gerak-gerik ibunya yang tak biasa.
"Apa ibu akan memarahi kakak lagi?" gumamnya sambil menempelkan telinga pada pintu maupun tembok kamar itu.
Terdengar percakapan dari dalam, begitu pelan dan samar hingga Leon tak mampu menerka apa yang mereka ucapkan.
Terbersit tanya, jika memang ibu tengah marah maka suaranya akan terdengar nyaring hingga ke mana-mana. Mengapa ibu memasuki kamar Husni? Padahal, melangkah ke kamarnya pun enggan. Ibu hanya selalu berdiri di depan pintu.
Terakhir memasuki kamarnya pun hanya untuk merapikan pakaian yang akan dibawa dalam tas, meski rencana liburan itu gagal.
Hampir beberapa menit lamanya, merasa tak mendapat apa-apa sebagai jawaban, Leon akhirnya menyerah dan kembali ke kamar.
Sedang di sudut kamar lain, Husni tengah duduk menatap kosong pada jendela yang terbuka.
"Husni, mau sampai kapan kamu diam dan bersikap begini? Kamu banyak berubah sekarang," ujar Wanda.
Matanya berkaca-kaca menatap putra pertamanya, wajah itu, teramat dirinduinya.
"Bukannya ibu yang berubah?" Husni akhirnya angkat suara. Setelah berkali-kali pertanyaan sang ibu diabaikannya.
"Ibu enggak pernah berubah. Siapa yang mengajarimu merokok? Kenapa kamu seperti ini?"
"Jadi ibu hanya datang untuk membahas itu? Ibu boleh ke luar sekarang." Husni menatap tajam ke arah ibunya.
"Ibu lupa sama janji ibu dulu? Ibu bilang tetap sayang sama aku, nyatanya? Ibu sama kaya ayah! Suka marah-marah! Ibu lebih sayang Leon, lebih suka perhatian sama Leon. Ibu bahkan bilang kalo jangan sampai Leon seperti aku, 'kan?"
"Selalu kalimat yang sama. Ibu 'kan yang mau aku jadi gini dengan ngomong gitu terus sama Leon? Di mana ibu saat ayah marah? Ibu malah ikutan marah! Aku bosen di rumah, Bu! Di rumah cuma jadi sasaran kemarahan ibu sama ayah. Ayah selalu ngajakin Leon jalan-jalan. Tapi aku? Ayah gak pernah mau kasih uang jajan. Aku malu, Bu! Temen-temen pada jajan, akunya cuma bisa ngeliatin."
Dada Husni bergetar hebat, napasnya turun naik tak karuan dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca.
"Mulai sekarang ayah ibu gak usah peduli. Mau aku jadi perokok, mau aku gak pulang. Bukannya ayah ibu sudah punya Leon?"
Mendengar hal itu, Wanda segera mendekap Husni erat.
"Ibu gak usah peluk aku lagi! Ibu perhatiin aja sana Leon. Kalo ibu terus gini, anggap aku bukan anak ibu lagi. Jangan pernah ngatur aku, jangan kekang aku, Bu. Percuma aku di rumah ini!" Husni melepaskan diri dari sang ibu, kemudian meraih tas sebelum ke luar meninggalkan kamar.
Wanda yang melihat hal itu hanya terpaku, bersama rasa bersalah yang perlahan-lahan membelenggu.
Rekam kembali menggambarkan saat dia berjanji untuk selalu memanjakan Husni, kemudian tergantikan dengan gambaran saat dia marah dan dengan suara tinggi. Dia hanya kecewa ketika melihat putranya menjadi perokok, tapi, bukankah itu hal wajar jika sang ayah sendiri yang mencontohkannya?
Ayah adalah role model bagi anak laki-laki, 'kan? Berarti semua ini bukan salah Husni, 'kan?
Wanda mulai menangis tergugu ketika merasa bahwa dirinyalah yang membuat Husni semakin menjauhinya.
Di luar, Leon yang melihat Husni ke luar segera menghampiri.
"Kakak?" sapanya.
Husni hanya berpaling tanpa menjawab apa-apa.
"Boleh ikut main?" Leon memandang sang kakak penuh harap.
Namun, teriakan sang ibu dari dalam membuat mereka tersentak. Wanda ke luar dengan mata yang masih basah.
"Leon! Bukannya sudah ibu bilang kamu gak boleh ke mana-mana?" Wanita itu menatapnya tajam.
Husni hanya berlalu tanpa berkata apa-apa, ada rasa yang tak dapat diartikan. Entah iri ataupun kesedihan. Ibu selalu meminta Leon tak meninggalkan rumah, sedang padanya ibu tak pernah menahan langkah.
Apa ibu lebih senang ditemani oleh Leon? Apa ibu tak ingin Leon membuat masalah hingga dimarahi ayah? Ibu seperti sangat melindungi adiknya tetapi malah mengabaikannya.
"Masuk!" bentak Wanda membuat Leon yang tadi memandang kepergian sang kakak segera beralih pada langkah menuju kamar.
Leon mengempaskan diri pada kasur kapuk, menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang tak kalah mengambang. Mengapa ibu tak pernah mengizinkannya ke luar? Mengapa kak Husni bebas bermain bahkan hingga lupa pulang?
Ibu selalu menuntutnya menjadi sempurna. Sempurna yang dia tahu harus seperti apa. Bukankah selama ini geraknya selalu salah? Harus menjadi seperti apalagi agar ibu berhenti memarahi?
Cerah di langit luar berubah mendung. Leon hanya menikmatinya di balik jendela. Sebelum akhirnya suara sang ibu kembali terdengar dari luar.
"Leon! Kalo mendung itu jemuran diangkat!" perintah Wanda.
Bergegas Leon ke luar dan mengangkat satu persatu pakaian yang tersusun di jemuran. Setelahnya membawa masuk.
Seperti biasa, dia akan memilih baju-bajunya untuk disisihkan dan dilipat di dalam kamar saja. Sang ibu mendekat dan mengambil alih sisa pakaian.
Baju-baju Husni dilipat yang paling pertama oleh wanita itu, setelahnya dimasukkan ke dalam lemari. Begitu pun kamar yang tadi berantakan, telah kembali rapi.
Gerak Leon terhenti menatap sang ibu yang dengan semangat membersihkan kamar Husni. Hal yang bahkan tak pernah dilakukan wanita itu di kamarnya sama sekali. Terkecuali ketika pertama dia diajari mengurus kamar sendiri.
Saat sang ibu melirik ke arahnya, Leon tersentak dan dengan gesit kembali ke kamar.
"Mungkin kak Husni gak sempat ngerapiin kamarnya jadi ibu yang bersihin," gumamnya sambil melipat pakaian kemudian memasukkan ke dalam lemari.
Hingga sore saat terdengar suara ayah datang, Leon mengintip dari pintu kamar yang sedikit terbuka.
Sang ibu menyambutnya, tak seperti biasa saat wanita itu mengabaikan kedatangannya karena acara-acara televisi yang tengah disiarkan.
"Aku boleh gak minta modal buat jualan sendiri?" Wanda memulai percakapannya.
Leon sedikit terkejut dengan perkataan sang ibu. Namun, tetap berusaha mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.
Hampir beberapa jam mereka berdua berdebat pelan, Furqan akhirnya membiarkan sang istri untuk mencari uang. Wanita itu begitu kecewa dengan gagalnya keberangkatan ke Jawa sebelumnya, membuat keinginan agar bisa membantu mengumpulkan uang semakin kuat.
Setelahnya Furqan kembali meninggalkan rumah untuk ke luar seperti biasa. Bedanya, dia hanya sendiri tanpa mengajak Leon lagi sekarang.
Leon hanya menatap sendu pada perginya sang ayah. Dia rindu pada ajakan jalan-jalan yang biasa didengarnya dengan begitu bersemangat.
Perut yang berbunyi membuatnya terpaksa ke dapur untuk mengambil makanan. Sepiring nasi dengan sepotong telur telah tersaji ditambahkan sedikit kecap di atasnya.
"Bu, makan bareng?" ajaknya pada sang ibu yang kembali fokus menatap televisi.
"Makan aja sendiri! Jangan ganggu ibu! Acaranya sedang seru!" sergah Wanda tanpa berpaling.
Leon akhirnya membawa piring ke dalam kamar dan memakannya sendiri. Belum sampai pada setengah dihabiskannya, kali ini terdengar suara Husni datang.
Suara televisi mendadak pelan, membuatnya jelas mendengar sambutan dan pertanyaan-pertanyaan sang ibu pada remaja yang baru datang itu.
"Sudah makan belum? Mau bareng ibu?" Suara wanita itu terdengar jelas bersamaan langkah keduanya.
"Ambilin aja, Bu. Aku makan sendiri," jawab Husni yang berdiri di depan pintu kamarnya.
Sendok yang tadi di genggaman terlepas. Lagi, rasa kecewa itu singgah. Tak ada lagi selera pada sisa nasi di hadapannya.
Saat membawa piring ke luar, Wanda yang berpapasan dengannya melirik isi piring.
"Kenapa gak dihabiskan? Cari uang itu susah, jadi makanan jangan dibuang-buang! Nafsunya aja gede mau makan banyak!" cecar wanita itu.
"Maaf, Bu." Leon berlalu begitu saja, tak berniat menjawab apa pun perkataan wanita itu.
Wanda yang sedang kesal berusaha meredam amarahnya agar tak menunjukkan emosi di depan Husni. Wajah itu kembali menampakkan senyum ketika membuka kamar remaja yang tengah menanti.
Leon yang telah kembali ke kamar, bisa mendengar tawa sang kakak dan ibu dari ruang seberang. Napas ditariknya panjang sebelum diempaskan dengan kasar.
Malam ini, rumah yang biasanya hanya terdengar suara televisi telah kembali ramai. Namun, hanya dua orang itu yang tengah menikmati hangat. Leon hanya meringkuk dengan perasaan membeku di sudut kasur. Menikmati riuh walau hanya sebagai pendengar.
Berlalu tengah malam, setelah ayah kembali pulang dan kedua orang tuanya telah terlelap. Sepasang mata itu tak jua terpejam.
Banyak hal tengah bersengketa di dalam kepala yang membuat kantuk tak jua kunjung bertandang. Untuk kali pertama, dia benar-benar terjaga dengan perasaan tak nyaman yang tak mampu diterjemahkan.
Waktu telah menunjukkan pukul 01:38, Leon ke luar dengan niat buang air. Namun, suara aneh dari kamar Husni menarik perhatiannya.
Leon menempelkan telinga pada pintu untuk memastikan suara itu. Nyatanya, pemilik kamar tiba-tiba membuka dan mendapatinya terpaku.
"Ngapain di sini?" bisik Husni.
"Suara a…." Pertanyaan Leon terhenti ketika Husni dengan cepat menutup mulutnya dengan telunjuk.
"Kamu mau ke mana?" tanya Husni.
"Mau pipis tadi," jawab Leon.
"Sudah sana. Kalau penasaran sini lagi. Tapi janji jangan ngomong sama ayah ibu." Husni berbicara setengah berbisik, sambil melirik sekitar.
Leon segera mengangguk, bergegas ke kamar mandi agar bisa cepat kembali. Perasaan sedih yang tadi singgah mendadak sirna. Ini kali pertama sang kakak berbicara banyak dengannya. Bukankah kesempatan emas tak boleh disia-siakan?
Husni telah menunggu di kamar, setelah Leon masuk, pintu segera dikunci dan lampu dimatikan.
Leon hanya mengikut ketika sang kakak mengajaknya ke kasur. Husni mengeluarkan ponsel sang ayah dari bawah bantal, membuat Leon terkejut.
"Ssst!" Husni segera menyuruh diam sebelum adiknya itu melayangkan pertanyaan.
Setelah membuka beberapa menu, Husni menunjukkan sebuah video dan menarik selimut.
Video sepasang lelaki dan perempuan tengah beradu di atas ranjang, Leon yang masih tak tahu menahu itu apa hanya meneruskan tontonannya.
Di sela-sela menonton, Leon mengamati gerak tangan sang kakak dari balik selimut. Entah apa yang dilakukan remaja itu, yang pasti beberapa kali napas diembuskannya bersamaan suara desahan pelan.
Leon mulai mengantuk ketika Husni membuka video lain dengan isi yang hampir sama meski dengan orang berbeda.
"Kak, ini film apaan sih?" Leon akhirnya mengalihkan perhatian dari rasa kantuk yang datang.
"Mau coba?" Husni melirik Leon. Berniat menjelaskan apa yang dilakukannya.
"Leon gak ngerti, Kak. Leon ngantuk mau ke kamar, boleh?" pamitnya.
Husni hanya menjawab dengan anggukan, kemudian tersenyum licik setelah Leon berpaling meninggalkan.
"Kakak aneh!" gerutu Leon ketika kembali merebahkan diri di kasur dan mulai memejamkan mata.

Komentar Buku (185)

  • avatar
    keongocep

    good

    4h

      0
  • avatar
    wulanratnasari

    good

    1d

      0
  • avatar
    Hien Ngoc

    Ok hay

    23d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru