logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 03

Angin yang bersahabat menjadi momen tepat bagi anak-anak bermain layangan. Seperti Leon, meski sendiri dia berhasil menerbangkannya tinggi. Terpaan angin sesekali membuatnya mengeratkan genggaman pada benang.
Tiba-tiba terdengar seseorang datang dengan perkataan yang tak menyenangkan.
“Leon jelek! Leon pendek! Leon gak disayang orang tua!” ejek Fazar kepada Leon.
Leon yang tadinya sibuk bermain layangan mengarahkan pandangan pada anak itu. Masih teringat jelas saat Fazar membohonginya dengan menjanjikan uang. Sekarang malah mengejek.
“Ayah ibu sayang kok sama aku!” sergah Leon.
“Buktinya tiap sekolah gak dikasih uang jajan, disuruh pulang pergi sendiri jalan kaki. Apa namanya kalau bukan gak disayang? Jangan-jangan kamu anak pungut?” Fazar mengeluarkan lidah bahkan tertawa terpingkal-pingkal seolah ucapannya adalah hal yang lucu.
Leon meletakkan kaleng yang dipakai untuk memintalkan benang layangan. Menghampiri Fazar dengan tangan mengepal. Tangan kirinya meraih kerah baju anak berambut keriting tersebut.
Fazar menendangnya kemudian lari menuju rumah. Leon tak langsung mengejar, dia memilih mencari sesuatu untuk dibawa. Setelah menemukan sebuah kayu balok yang tak terlalu besar sehingga bisa diangkat, dia berjalan menuju rumah Fazar.
Terlihat Fazar sedang bermain di ujung gang yang tak jauh dari rumahnya sendiri, Leon mendekat dengan tatapan kesal, langkahnya semakin dipercepat sebisa yang dia lakukan. Hingga dia benar-benar sampai di hadapan Fazar.
Anak itu berlari ketakutan, tapi sama sekali tak dihiraukan oleh Leon. Saat Leon telah berhasil meraihnya, dia memukulkan kayu itu ke tubuh Fazar. Tanpa dikomando tangan pun terkepal meninju wajah berkulit putih pucat itu.
Setelah puas, Leon pulang dengan hati yang lega karena telah membalaskan dendamnya. Sebelum sampai rumah, dia mengembalikan kayu balok itu ke tempat semula.
Dia pulang dan mandi untuk membersihkan badan, tak lupa segera mencuci baju dan celana yang dipakainya sesuai pesan Wanda. Kalau mulai sekarang dia harus mandiri melakukan segalanya, dia bukan anak kecil yang harus dilayani lagi setiap halnya.
Saat menjemur pakaian, Fazar datang bersama ayahnya.
“Heh! Kau apakan anakku?” tanya pria berkumis tebal itu.
Leon hanya diam dan meneruskan pekerjaannya, tanpa menghiraukan sedikit pun dua orang yang baru datang itu.
“Kau mendengar tidak?” bentaknya lagi.
Suara bentakan itu akhirnya membuat Husni yang sedang berbaring di kamar akhirnya bangkit karena merasa terganggu.
Tangan besar itu meraih Leon, tubuh kecil Leon terangkat dari lantai.
“Turunkan adikku!” perintah Husni yang memandang kejadian itu.
“Dia harus mendapatkan balasan yang serupa untuk lebam dan luka di tubuh anakku!” sahut ayah Fazar.
“Ck ... beraninya sama anak kecil. Adikku gak akan marah kalau bukan karena anakmu yang mencari masalah.” Husni menyahut dengan santai. Bahkan dia mengeluarkan sebatang rokok dari kantong kemudian menyalakannya.
“Baru SMP udah berani ngelawan, pantas aja adiknya sama jadi preman!”
Leon dilepaskannya dengan kasar begitu saja ke lantai.
“Kalau mau berkelahi lebih baik denganku, tentukan tempat yang kamu mau. Tapi jangan sekali-kali menyentuh adikku kalau kamu gak mau menderita.” Husni mengisap rokok yang terselip di tangan kirinya.
“Leon, sudah masuk sana!” perintah Husni lagi.
Ayah Fazar menatap nyalang ke arah Husni.
“Kenapa? Tak terima diancam anak kecil? Tunggu saja nanti apa yang akan kamu dapatkan!” Husni menutup pintu rumah dan menguncinya.
Dia melihat Leon yang masih mematung tepat di belakangnya.
“Untung ayah sama ibu belum pulang, kalau ada mereka, bisa habis kamu!” Husni menepuk bahu Leon kemudian kembali ke kamar dan menguncinya.
Sedang Leon hanya terpaku. Keterkejutannya bukan karena kedatangan ayah Fazar dan hal yang baru saja dialaminya. Namun, karena ini kali pertama Husni benar-benar menyebut dia sebagai adiknya.
Saat Leon melangkah mendekat ke kamar Husni, pintu yang terkunci membuat Leon harus berteriak dan memanggil.
“Kakak, buka pintu dong!” pinta Leon.
Namun, lagi-lagi tak ada sahutan. Seseorang di dalam sana telah kembali sibuk dengan dunianya.
****
“Leon! Siapa yang mengajarkanmu berkelahi seperti itu?” Wanda membuka pintu dengan kasar, hingga terdengar suara benturan keras mengenai tembok.
Leon yang tadi sibuk mengeja kata di buku seketika terkejut.
“Bagaimana ibu bisa tahu?” gumam Leon.
“Jawab ibu!” Suara bentakan memenuhi kamar, Leon semakin gemetar mendengarnya.
“Tapi, Bu. Dia yang mulai duluan.” Leon menundukkan kepala.
“Jangan pernah jadi seperti Husni! Dapat apa kamu dari berkelahi, hah! Hanya bikin malu ayah dan ibu saja!”
“Mulai sekarang kamu gak boleh main di luar lagi! Di rumah aja! Belajar sama ngerjain kerjaan rumah. Mengerti?” sambung Wanda.
“I-iya, Bu.” Leon hanya mengangguk, tapi setidaknya dia lega karena ibunya telah berlalu.
Tak lama berselang, keributan terdengar kembali di luar. Leon mengintip dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka. Husni duduk di antara kedua orang tuanya.
“Mau jadi apa kamu kalau seperti ini terus!” Furqan menggebrak lantai hingga seluruh lantai yang terbuat dari kayu itu bergetar.
“Apa salahnya berkelahi? Lelaki wajar membela diri ketika dihina, ‘kan?” Husni menjawab dengan tatapan dingin.
“Diam hanya membuat diri semakin diperlakukan semena-mena.” Husni memalingkan wajah ke arah televisi yang nyalanya terabaikan oleh persidangan kecil itu.
“Mengapa merokok! Apa kamu lupa kalau sudah dilarang? Ayah melarangmu merokok bukan hanya di depan ayah, tetapi juga di belakang!”
Husni tertawa kecil mendengarnya. “Lebih baik ayah yang mengajarkanku cara berhenti merokok terlebih dahulu. Kalau ayah saja masih menghabiskan beberapa bungkus dalam sehari kenapa melarangku? Soal uang? Aku bisa cari sendiri, ayah ibu gak usah peduli!”
Furqan bangkit dari duduknya, mendekati Husni dengan tatapan tajam. "Apa kamu bilang tadi?"
Husni hanya membalas tatapan itu dengan wajah tanpa ekspresi. Senyum sinis tampak di sudut bibirnya.
Membuat Furqan dengan ringannya melayangkan tangan untuk sebuah tamparan di pipi kanan sang anak.
"Belum besar udah pongah! Siapa yang ngajarin ngerokok! Hah!"
Wanda tersentak melihat perlakuan suaminya, segera bangkit berusaha melerai. Namun pria itu kalap memukuli dengan membabi buta. Husni tersungkur, meski begitu tatapnya tak jua berhenti menantang.
"Furqan! Kamu mau membunuh Husni?" Wanda akhirnya berdiri tepat di depan Husni, menjadi tameng dari amukan sang suami.
Furqan terhenyak ketika wanita itu dengan lantang menyebut namanya.
Setelahnya, tanpa berkata apa-apa Husni kembali melangkah menuju kamar, sebelum masuk dia menatap Leon yang sedang mengintip kejadian itu.
Leon hendak membuka pintu kamar dan mendekat, tapi dia terlebih dahulu menutup pintu kamar dan menguncinya. Dia meraih rokok yang selalu tersimpan di dalam tas sekolah dan kembali mengisapnya sambil menatap langit dari tirai jendela yang terbuka.
Sedang di luar, dua orang dewasa sedang dipenuhi amarah. Kembali meneruskan perdebatan meski hanya di antara mereka berdua.
"Kamu gila? Amukanmu bisa saja membunuh Husni!" teriak wanita itu.
"Lalu harus bagaimana lagi agar anak itu berhenti merokok? Siapa yang tahu kelakuannya di luar bagaimana!"
"Tapi bukannya bisa menegur tanpa kekerasan!"
“Ini semua salah kamu! Selalu memanjakan Husni! Semua keinginannya dituruti!” Furqan membentak Wanda.
“Kamu sendiri kapan pernah mendidiknya? Kamu saja tak pernah lepas dari rokok yang mengepul asapnya, pantas saja kalau anakmu sama!” sahut Wanda tak kalah tinggi nada suaranya.
"Satu lagi, anak kesayanganmu juga tak jauh berbeda dengan Husni. Husni melawan ayah Fazar demi membela Leon yang telah memukuli Fazar. Kau tahu?" Wanda menyambung penjelasannya.
"Pasti Husni yang mengajari Leon berkelahi! Anak kecil biasanya hanya menduplikat apa yang dilihatnya!" bela Furqan.
Perkelahian di antara mereka tak terelakkan. Wanda tak terima ketika suaminya terus saja menyalahkan Husni, bahkan sampai mengamuk seperti tadi. Selalu semua hal buruk ditimpakan padanya, padahal dia bersikap seperti itu demi membela adiknya.
Sedang Furqan merasa geram, Wanda selalu memanjakan Husni. Semua keinginannya dituruti, hal yang membuat anak itu merasa besar kepala dan susah diajari. Padahal, dia sendiri berusaha menghentikan perilaku memanjakan itu dengan sikap keras agar Husni bisa diberikan pengertian tentang hal yang boleh dan tak boleh dilakukan.
Leon memandang keduanya dengan air yang tak berhenti menetes dari sudut matanya. Lututnya gemetar, seluruh sendinya lemas.
Dia bingung harus melakukan apa sekarang. Dua orang di hadapannya berkelahi karenanya. Rasa bersalah semakin menghantui, setiap kali ayah membelanya, pertengkaran hebat akan terjadi di sana.
Bahkan ayah sampai memukuli Husni, padahal yang dia tahu sang kakak hanya membelanya saja.
Banyak hal yang semakin tak dimengerti olehnya, hal-hal yang tak bisa dipertanyakan karena hanya mendapat diam sebagai jawabannya.
Sedang di sudut kamar lain, seorang anak menutup kedua telinganya dengan guling. Rokok yang baru diisap setengahnya, ditanggalkan begitu saja di atas meja. Ingatannya jauh menjelajah, pada masa yang sudah sangat jauh berbeda.

Komentar Buku (185)

  • avatar
    keongocep

    good

    4h

      0
  • avatar
    wulanratnasari

    good

    1d

      0
  • avatar
    Hien Ngoc

    Ok hay

    23d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru