logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 02

"Kita mau ke mana, Yah?" tanya Leon.
"Jalan-jalan ke Bendungan Karang Intan," jawab Furqan.
Leon bersorak girang, sejak kecil ayahnya memang selalu mengajak ke banyak tempat jika sempat. Bahkan tak jarang beliau pulang lebih awal atau libur bekerja jika tempat yang dituju memakan waktu lama. Hampir seluruh kota Martapura hingga kota Banjarmasin dikenalkan kepada Leon.
Perjalanan yang memakan waktu hampir empat puluh menit membawa Leon pada pemandangan yang indah. Air jernih yang mengalir, gunung-gunung yang masih asri. Rerumputan hijau sepanjang mata memandang.
Tempat ini memang sunyi dan masih jarang didatangi orang. Leon memandang takjub pemandangan sekelilingnya. Tiba-tiba dia terpikir, mengapa ayah hanya mengajaknya?
Dia memberanikan diri mendekati ayah yang sedang merokok di atas sepeda motornya.
"Ayah?" panggilnya.
Furqan hanya berpaling dengan wajah ramah.
"Mengapa ayah hanya mengajak Leon? Ibu sama Kak Husni?" Leon akhirnya berani mengutarakan hal itu.
"Ibu enggak suka jalan-jalan, ibu kan sibuk di rumah. Kalau Husni ...." Furqan menggantungkan kalimatnya.
"Hm?" Leon menggumam dan memasang wajah penuh tanya.
"Kak Husni lebih suka jalan dan bermain sama teman-temannya. Cuma Leon yang bisa diajak jalan-jalan," sambung Furqan dengan senyum yang mulai menampilkan garis-garis kerutan di wajahnya.
Leon mengangguk pertanda mengerti, kemudian kembali berlari menuju pinggiran irigasi yang berpagar. Menatap arus air di sana. Pikirannya sedang melayang, berandai-andai jika bisa bermain berdua di sana dengan Kak Husni, selayaknya dua bersaudara yang sering dilihatnya selalu bersama.
Mentari mulai menuju Barat, menunjukkan senja telah siap menjadi jeda antara pergantian sore ke malam. Furqan mengajak Leon pulang. Di perjalanan, tak lupa dia mengajak singgah pada warung kecil di daerah Bincau yang memang selalu buka di malam hari.
Membeli beberapa makanan khas Banjar, sebagian untuk dibawa pulang dan sebagian dimakan langsung karena dia mengetahui Leon mulai lapar.
Leon terlelap saat menuju pulang, Furqan tak lepas dari menggenggam tangannya agar tak terjatuh begitu saja di jalan. Sesampainya di rumah pun dia enggan untuk membangunkan. Diangkatnya tubuh kecil itu menuju kasur kapuk di kamarnya.
Saat hendak merebahkan, dia mendapati buku yang terselip di bawah bantal. Dia tersenyum kecil ketika memandang buku itu. Diusapnya kepala sang anak, kemudian berlalu ke luar.
Furqan mengambil bungkusan makanan yang tadi dibeli, tapi lagi-lagi kesal kembali menghinggapi. Ketika mendapati kamar Husni yang kosong dan berantakan. Dia melirik jam dinding di sudut ruangan, sudah pukul 21:30 dan anak itu masih belum pulang.
****
Berlalu seminggu, Furqan yang pulang bekerja lebih awal menyempatkan diri untuk mengajak Leon melihat latihan trail. Kesenangannya pada sepeda motor gunung terpaksa dikubur kala mengingat telah memiliki istri juga anak.
"Ayah, motornya kok beda sama punya kita?" tanya Leon heran, memandang sepeda motor yang berbeda dengan yang biasa dilihatnya.
Belum lagi medan yang dilewati adalah tanah biasa yang tak jarang becek dengan kecepatan tinggi. Padahal, sepeda motor sang ayah saja harus sangat hati-hati jika melalui tanah biasa.
"Itu motor trail, khusus buat naik gunung sama tanah seperti ini. Dulu ayah suka, tapi kakek gak pernah kasih izin karena takut anak perjakanya kenapa-napa," jelas pria yang matanya tetap tak beralih dari motor-motor trail yang berlalu cepat di medan lumpur.
"Oh, pasti keren kalo bisa naik motornya. Bisa jalan-jalan ke gunung, tanpa takut amblas kaya motor ayah biasanya," celetuk Leon yang membuat sang ayah mengalihkan pandangan.
Senyum kecil terbit di sana, tak lama dia menyahut perkataan sang anak yang begitu polos. "Leon mau kalo besar nanti punya motor sendiri seperti itu?"
"Boleh?" tanya Leon penuh harap.
Furqan mengangguk mantap. Anak lelaki memang sewajarnya menyukai hal-hal seperti itu. Harapan mulai terbit di sana, bahwa Leon suatu saat akan bisa mewujudkan mimpinya.
Apa yang tak bisa dia raih, harus bisa dibayarkan oleh sang anak sebagai penawar kecewa. Begitulah sebuah pemikiran yang tiba-tiba terlintas di benaknya.
Mereka kembali fokus melihat lalu lalang motor trail di hadapan. Sesekali Leon bersorak girang dan begitu antusias.
Ayahnya hanya tersenyum samar, mengingat jika Husni dulu tak pernah mampu diajak menonton hal-hal seperti ini. Anak sulungnya itu akan berulah jika sedikit saja lengah. Membuatnya jera membawa, karena keberadaannya hanya membuat Furqan tak fokus menikmati tontonan trail di sana.
Tanpa terasa sore sudah menjelang, latihan para pemakai sepeda motor gunung itu pun usai. Furqan segera mengajak sang anak pulang dengan hati yang sama-sama senang.
Ada berbagai jenis jajanan di sana, keramaian seperti ini tentu saja mengundang banyak pencari nafkah untuk berjualan. Meski begitu, tak satu pun dilirik Leon. Dibawa jalan-jalan pun cukup membuatnya tak henti tersenyum. Hal yang berbanding terbalik dengan Husni di mata Furqan.
Membawa anak sulungnya itu hanya membuat isi dompetnya terkuras. Belum jua satu habis dinikmati, anak itu sudah berlari ke penjual lain dan memesan beberapa jenis makanan. Ditambah dengan permintaan berbagai mainan, yang jika ditolak akan membuatnya merajuk dan menangis keras lantas mengundang perhatian orang banyak.
Nyatanya, mengajarkan anak untuk tidak manja seperti Leon membuatnya cukup dimudahkan. Leon selalu menurut ke mana pun diajak, bahkan begitu antusias dan kompak dengan kesukaannya. Anak itu pun tak pernah cerewet meminta apa-apa, jika dibelikan sesuatu akan segera berterima kasih, kalaupun tidak diberikan dia juga tak menuntut, hal yang justru membuatnya iba.
Usai membelikan es juga beberapa cemilan, Furqan mengajak Leon pulang. Sepanjang jalan, anak kecil itu tak henti berceloteh tentang apa yang baru saja dilihatnya. Khas gambaran anak-anak yang tengah berbahagia.
Sesampainya di rumah, sang istri sudah menanti mereka dengan gelisah. "Habis dari mana aja baru pulang jam segini?"
Furqan hanya menyengir tanpa menjawab, kemudian menuntun Leon masuk menuju kamar. Meminta Leon segera mandi dan membersihkan diri sebelum azan Magrib berkumandang.
"Ayaah … oleh-oleh buat aku mana?" Husni mendekati sang ayah ketika melihat Leon menggenggam beberapa plastik makanan.
"Oleh-oleh apanya! Kamu bukannya sudah banyak minta uang dan jajan sejak pulang sekolah!" bentak Furqan.
"Ayah pelit, sama Leon aja banyak dibeliin," rajuk Husni memasuki kamar.
Wanda datang menghadap sang suami yang sedang melepas celana panjang, mengganti dengan boxer sebelum meraih handuk yang tersangkut di balik pintu kamar.
"Jangan banding-bandingin anak. Kamu sendiri juga kan yang gak kasih uang jajan buat Husni, makanya dia lebih sering minta di rumah. Leon kan sudah dikasih bekal tiap sekolah," ujar Wanda, mencoba membela anak sulung mereka.
"Aku bukannya pelit, tapi kamu tahu sendiri kan Husni kalo punya uang belinya apa? Kamu mau anak itu bablas ngerokok? Sampai kapan kamu terlalu memanjakan Husni?" tanya Furqan.
"Kamu sendiri terlalu memanjakan Leon! Sudah aku bilang kan, Leon jangan dimanjakan, nanti kalau keras kepala dan bertindak sesukanya gimana? Dia harus mandiri, kalau kamu manjain gini trus emang kamu mau Leon gak jauh beda sama Husni?" Wanita itu mulai kesal, merasa sang suami telah mencoreng perasaan anak kesayangannya.
Sejenak Furqan terdiam, meski begitu sesaat setelahnya dia menjawab dengan kata-kata yang semakin membuat panas perdebatan mereka. Teriakan demi teriakan terdengar bersahutan, Wanda yang bersikeras tak terima Leon terlalu dimanjakan, sedang Furqan sendiri merasa kalau sang istri terlalu memanjakan Husni.
Sedang Leon yang berdiri di balik pintu kamar tak lagi meneruskan menghabiskan makanannya. Ada rasa bersalah ketika kedua orang tuanya harus bertengkar karenanya. Perlahan dia ke luar, membawa beberapa makanan yang belum tersentuh sama sekali dan membawa ke kamar Husni.
"Kak, ini buat kakak. Aku sudah kenyang," ujar Leon mengetuk pintu kamar. Hal yang membuat sepasang insan itu menghentikan pertengkaran.
"Gak mau! Makan aja sendiri sana! Aku gak mau makan bekas kamu!" sahut Husni dengan pongahnya dari dalam kamar. Melihat hal itu Wanda segera mendekat.
"Setelah ayah ibu berantem aja baru sok baik! Masuk kamar sana!" bentaknya. Membuat Leon tertunduk.
Usai itu bentakan sang ibu berubah suara lembut untuk membujuk Husni yang merajuk. "Husni, ibu masakin makanan aja, ya. Mau, ya?" Setelahnya, wanita itu berlalu ke dapur.
Furqan berusaha mendekati Leon, tapi anak itu hanya tersenyum samar sebelum kembali ke kamar.
****
"Leon, kalau selesai makan piringnya dicuci, ya! Sini ibu ajarin." Wanda mengajak Leon membawa piringnya sendiri ke dapur.
Leon mengamati dengan seksama gerakan tangan Wanda, mulai dari menuang sabun, menggosokkan spons cucian ke piring, kemudian membilasnya dengan air bersih. Setelah itu ibunya mempersilakan Leon untuk mencoba.
Meski dengan gemetar, tapi pelan-pelan Leon berhasil mencuci piringnya sendiri.
"Mulai hari ini kalau selesai makan, piringnya cuci, ya!" pesan Wanda sambil tersenyum menatap Leon.
"Iya, Bu!" sahut Leon.
Belum selesai di situ, Leon pun diajarkan untuk menyapu rumah. Di awal, tubuh kecilnya sedikit kesulitan memegang sapu, tapi akhirnya lagi-lagi dia bisa mengerjakannya dengan baik.
"Bantu ibu di rumah, ya!" pinta Wanda.
Leon hanya mengangguk, selesai menyapu rumah dia kembali ke kamar untuk kembali belajar membaca. Hingga pada sebuah kata yang dia merasa kesulitan mengejanya. Dia membawa buku itu ke dapur untuk menanyakan.
Wanda terlihat sibuk memotong sayuran untuk kemudian dibersihkan, tapi Leon tetap mendekat. Dia duduk di samping ibunya yang sedang memegang pisau pemotong sayur.
"Ibu ... ini gimana membacanya?" tanyanya sambil menyodorkan buku usang itu.
"Belajar sendiri sana! Gitu aja ga bisa! Sudah sana ibu sedang sibuk, jangan mengganggu!" Wanda marah tanpa melirik sedikit pun ke arah Leon dan buku itu.
"Maaf, Bu." Leon berlalu sambil memeluk buku, dengan raut wajah yang sendu.

Komentar Buku (185)

  • avatar
    keongocep

    good

    2h

      0
  • avatar
    wulanratnasari

    good

    1d

      0
  • avatar
    Hien Ngoc

    Ok hay

    23d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru